Tuesday, February 20, 2007

MELACAK AKAR IDEOLOGI PEMIKIRAN AHMAD DAHLAN*

Fajar Riza Ul Haq **

Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa kajiannya tentang geneologi intelektualitas Ahmad Dahlan mencatat adanya korelasi ideologis dalam beberapa pemikiran pendiri gerakan Muhammadiyah ini dengan pemikiran Ibn Taimiyah. Pokok-pokok pandangan Ibn Taimiyah yang dinilai mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika gerakan pembaharuan di dunia Islam, dan Ahmad Dahlan pada khususnya ialah:
1. Satu–satunya kunci untuk memahami Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul.
2. Ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumber primer (al Quran dan sunnah) merupakan proses tidak pernah selesai.
3. Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah.
4. Usaha yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan kemampuan akal dan kecerdasan berpikirnya semata–mata untuk menemukan dan mencapai kebenaran mutlak, adalah suatu usaha yang mustahil.
5. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap al Quran dan sunnah, perlu mempergunakan pendekatan dan contoh yang dilakukan oleh golongan salaf yang merupakan generasi pertama ummat Islam.[1]
Pasca kebangkitan simbolik Ibn Taimiyah, bermunculan sarjana-sarjana Muslim yang konsisten memperjuangkan ketinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Gerakan reformasi Islam dalam dunia Arab modern dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam gerakan pembaharuan Muhammad 'Abduh. Dan `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam, yaitu menjadi fundamentalis.
Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd al-Raziq, kemudian Muhammad Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Dinamika tantangan mendorong konstruksi-konstruksi pemikirannya semakin kiri, sehingga semakin jauh dari kerangka berpikir awal sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan mata-rantainya: dari 'Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb).[2] Di kawasan Asia sendiri bermunculan tokoh–tokoh Islam yang memiliki latar belakang dan corak pemikiran yang beragam, seperti Syah Waliyullah, Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah (India dan Pakistan) serta KH. Ahmad Dahlan, KH. Ahmad Syurkati dan KH. Hasyim Asy `ari di Indonesia.

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu pertama di Indonesia. Melalui organisasi ini Dahlan berkenalan Ahmad Syurkati yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar belakangi ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair.[3] Bersamaan dengan itu, Dahlan ikut bergabung dalam pergerakan Budi Utomo. Kedua organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern.

Dapat kita cermati, bahwa Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian Dahlan tersebut sebagai berikut:
Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”.[4]

Wawasan keberagamaan Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal.

Mengingat kedudukan sentral pemikiran Kyai dalam gerak perkembangan Muhammadiyah maka menjadi sangat penting untuk memahami pokok–pokok pikiran pemikiran Kyai Dahlan seperti yang terdapat dalam karyanya. Amin Abdullah (2001) menyatakan bahwa Kyai Dahlan memiliki tipikal yang berbeda dengan para pembaharu lain yang banyak meninggalkan karya tulis. Kyai Dahlan merupakan tipe pembaharu a man of action dan bukan a man of tought. Beliau menafsirkan Islam sebagai realitas yang dinamis dan hidup. Tafsir sosial Islam yang dilakukan Dahlan menyuarakan kepentingan pemihakan kepada konstruksi-konstruksi sosial yang marjinal, terjajah, dan tertindas oleh sebuah sistem otoritas/struktur sosial yang opresif.

Maka tidak mengejutkan bila dalam pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, Dahlan menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato Kyai Dahlan tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life”.[5]

Menurut Munir Mulkhan, kesatuan kemanusiaan di atas merupakan dasar berbagai gagasan KH. Dahlan tentang sikap kritis terhadap kebenaran yang selama ini diyakini pemeluk agama dan pemimpin agama. Begitu pula pemikiran tentang pentingnya sikap terbuka dan kesediaan untuk belajar kepada orang lain, walaupun kepada orang yang berbeda agama. Tampak jelas bahwa bagi KH. Dahlan Islam merupakan ajaran untuk pencapaian kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat manusia.

Untuk itu, gerakan pembaharuan Muhammadiyah bertujuan melawan otoritas-otoritas (tiran) kolonial/neo-kolonial yang jutru melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan bahkan mengancam hakekat manusia itu sendiri. Disinilah, Muhammadiyah ikut andil bagian dalam mengusung nasionalisme dengan berbasis pada identitas Islam.

Bila dilihat secara komparatif, epistemologi Kyai Dahlan terbangun dari dua aksioma, yaitu aksioma dasar dan aksioma operasional.[6] Al Quran dan Sunnah Rasul merupakan aksioma dasar yang dijadikan acuan dalam melakukan domestifikasi Islam dalam ranah historis empirik. Nalar yang berbasis kepada logika, kritisisme dan berdimensi praksis menjadi pilar utama dalam operasionalisasi aksioma dasar diatas. Struktur epistemologi ini menyiratkan bahwa kepastian (qath`iah) menjadi dasar utama epistemologi sebagaimana ditekankan asy Syatibi.[7]

Dalam falsafah ajaran Kyai Dahlan[8] dan pokok-pokok pikiran yang dipubliksikan oleh Hoofbestuur Taman Pustaka, Kyai hanya menyebut akal suci sebagai metode dalam melaksanakan ajaran agama. Sumber komplemanter untuk memahami agama terdiri dari hadits, ijma dan qiyas sebagaimana tercantum dalam Verslaag Moehammadijah di Hindia Timoer tahun IX Januari-Desember 1922.[9] Inovasi untuk memasukkan ilmu–ilmu filosofis rasional, baik yang bersifat sosial-humaniora sciences maupun natural sciences, dalam kurikulum pendidikan Muhammadiyah telah mengecualikan gerakan ini dari tesis Robert N. Bellah (2000), generalisasi Arkoun (1994) serta analisis Amin Abdullah (1996) yang mensinyalir telah hilangnya tradisi filosofis rasionalistik dalam tradisi dunia Muslim pasca masa kodifikasi atau sejak abad pertengahan-skolastik.

Kepiawaian Kyai dalam ilmu falaq (astronomi) dengan memakai pendekatan hisa`b, kisah surat al Ma`un serta pendirian berbagai institusi sosial menjadi fakta otentik yang monumental pada masa itu. Proyek nalar modern yang dicanangkan Arkoun sudah menjadi komitmen sosial Kyai Dahlan untuk memancangkan semangat rasionalitas dan kritisisme sebagai aksioma operasional epistemologi Muhammadiyah.

Dominasi dan hegemoni nalar Bayani selama ini terhadap peradaban (Arab) Islam yang menjadi tesis al Jabiri melahirkan varian tersendiri bagi Muhammadiyah. Seperti diakui Syamsul Anwar[10] dan Hamim Ilyas[11], bahwa sejak awal Muhammadiyah memang telah mempraktekkan pendekatan bayani yang di konprontasikan dengan realitas empirik. Sehingga yang terjadi adalah dialektika dinamis antara teks dan konteks, dimensi normativitas dan historisitas. Menurut penulis, eksistensi nalar Bayani dalam Muhammadiyah pada masa ini relatif berada pada relasi sinergis–kritis dengan nalar Burhani (akal suci) dan nalar Irfani (hati suci). Dalam kerangka teori al Jabiri, Muhammadiyah pada masa Islam (sejati) Kyai Dahlan ini berada dalam tahapan al tadakhul al takwini; fase subalternasi genetis atau dalam istilah Alfian, the formative years.[12]

Namun dalam perkembangan fase Muhammadiyah, pendekatan bayani/teks mengeras secara dominan. Fenomena ini dapat dirujuk pada kentalnya dominasi teks dalam semangat ijtiha`diah Muhammadiyah yang secara eksplisit terkodifikasi dalam Pokok–pokok Manhaj Majlis Tarjih. Katagorisasi ijtihad bayani, ijtiha^d qiyasi dan ijtihad istishlahy dalam konteks ini hanyalah klasifikasi intensitas dan eksplisitas otoritas teks terhadap nalar. Skema nalar syafi`iah ini menempatkan nalar manusia dalam struktur subordinatif–dominatif terhadap wahyu. Karena deduksi analogi harus bertitik tolak pada prinsip–prinsip yang diakui oleh al Quran dan Sunnah.[13] Pada dasarnya, wilayah ijtihadiah Muhammadiyah hanya terbentang sebatas garis demarkasi otoritas teks. Pada proses ini terjadi transformasi wilayah non-teks menjadi otoritas wilayah teks.[14]

Pendekatan teks (nalar bayani) yang sangat dominan dalam Muhammadiyah pasca Kyai Dahlan dengan basis nalar qiyasi (qiyas bayani) telah mentahbiskan lahirnya “Nalar Islam Muhammadiyah” yang mengalami reifikasi. Nalar ini dibentuk dan menyatu dalam struktur memori kebudayaan Muhammadiyah secara tidak sadar. Langkah–langkah kodifikasi yang dilakukan pada fase kepemimpinan 1923–1985 telah memunculkan dominasi qiyas bayani (nalar qiyasi). Dominasi ini mengartikulasikan kepemimpinan elite syariah formalistik dalam gerakan Muhammadiyah pasca Kyai Dahlan. Maka gerakan pemikiran di Muhammadiyah lebih menampakan background fiqhiyyah–nya dibanding dimensi gerakan pembaharuan sosial yang dinamis. Dengan demikian, metodologi hermeneutik sosial yang diwariskan Kyai Dahlan tidak saja tidak mendapat ruang apresiasi bahkan pada akhirnya harus tersingkir dari epistemologi penalaran sosial keagamaan di Muhammadiyah.

Ketersingkiran paradigma hermeneutik sosial dari konstruksi tafsir sosial Muhammadiyah telah menimbulkan akibat yang fatal bagi landasan identitas (politik) Muhammadiyah, yaitu kebudayaan. Nampaknya, kebudayaan dipahami tidak memiliki garis relasional dengan cita-cita sosial serta kepentingan pemihakan Muhammadiyah. Justru kebudayaan merupakan medan bagi proses perebutan pemaknaan. Oleh karena itu, artikulasi gerakan Muhammadiyah akan selalu dibingkai dalam kerangka kebudayaan yang bermuatan politis; keberpihakan pada kelompok-kelompok sosial yang ditundukan/dilemahkan oleh sistem maupun oleh konstruksi-konstruksi sosial dominan.

* Tulisan sebagai pengantar Materi 1 (akar historis-ideologis pemikiran Ahmad Dahlan) pada DAM DPD IMM Jawa Tengah, 24 September 2003. Sumber tulisan diambil dari skripsi penulis, Nalar Islam Muhammadiyah: Perspektif Kritik Nalar Muhammad Abid Al Jabiri dan Mohamed Arkoun, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), 2002.
** Ketua Kader DPD IMM Jawa Tengah periode 2002-2004, pasca Muktamar IMM 2003 di Bali terpilih sebagai Ketua Kader DPP IMM periode 2003-2005; sehari-hari bergiat di PSB-PS UMS

[1] Lih. Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Usaha, Yogyakarta: Percetakan Persatuan, hlm. 37-38.
[2] Lih. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer dalam Jurnal Paramadina, 2/4/2000
[3] Alwi Shihab, 1998, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, terj. Ali Ihsan Fauzi, Bandung: Mizan, hlm. 112; Muhammad Hisyam, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882–1942, Jakarta: INIS, 2001, hlm. 167
[4] Hisyam, 2001, hlm. 174
[5] Lih. Mulkhan, dalam Asykuri dkk. Purifikasi dan Reproduksi Budaya di Pantai Utara Jawa, Surakarta: PSB-PS UMS, 2003, hlm. xix
[6] Mulkhan, 1990, hlm. 101
[7] Wael B. Hallaq, 2000, Sejarah Teori Hukum Islam, terj. , Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 243
[8] Untuk lebih detail lih. KHR. Hadjid, 1996, Ajaran K. H. Ahmad Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat–ayat al Quran, PWM Jawa Tengah.
[9] Catatan kaki dalam MT. Arifin, 1987, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Bumi Aksara, .hlm. 109
[10] Lih. Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas (ed.), 2000, Pengembagan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI UMY, hlm. 19
[11] Zakiyuddin dan M. Jinan, 2002, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta
[12] Lih. Alfian, 1989, The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press hlm. 135
[13] Lih. Noel J. Coulson`s, 1983, Hukum Islam dalam persfektif Sejarah, Jakarta: P3M
[14] Nasr Hamid Abu Zaed,, 1997, Imam Syafi` : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS. hlm. 6

MUHAMMADIYAH DAN MODERNITAS KOLONIAL

Oleh : Fajar Riza Ul Haq *

Kajian ini mengacu pada dua asumsi. Pertama, secara imaginatif, struktur sosial dan sistem kognisi publik masyarakat muslim diciptakan dalam konsfigurasi hegemoni kolonial sehingga respon dan ekspresi resistensi Muhammadiyah terhadap wacana kolonial berjalan pada latar poskolonial. Kedua, pergulatan dan pertarungan identitas religio-nasionalism Muhammadiyah dengan modernitas kolonial melahirkan respon kreatif bahkan apresiasi kritis untuk kepentingan gerakan pembebasan serta kebangsaan. Kedua asumsi ini merupakan pijakan dalam membangun pembacaan kritis interaksi Muhammadiyah dengan modernitas kolonial pada konteks pergulatan identitas kebangsaan.

Tafsir hermeneutik atas historisitas gerakan liberasi pada ranah keindonesiaan menempatkan Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan. Analisis kritik kesejarahan terhadap respon dan apresiasi kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial, disamping tradisionalisme Islam dan jawaisme, ditekankan pada siasat kebudayaan Muhammadiyah dalam proses pembentukan identitas nasionalitas dan perjuangan merebut kemerdekaan.

Gerakan kebangkitan intelektual Islam pada abad ke-20 menjadi sangat fenomenal ketika kekuatan dominasi politik negara-negara Eropa begitu melesak ke dalam jantung kesadaran masyarakat di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tidak heran, banyak para pengkaji dunia Timur (orientalis) yang merasa penting untuk mengungkap sebab, motivasi, implikasi, bahkan pararelitas kebangkitan tersebut dengan kolonialisme.[1] Tidak terkecuali fenomena kemunculan gerakan Muhammadiyah. Bagi para indonesianists maupun sejarawan domestik, menyusuri pencarian dan perdebatan identitas kebangsaan Indonesia, terutama pada masa pergerakan kolonial dan kemerdekaan, tidak bisa mengabaikan variabel Islam dan Muhammadiyah.[2]

Muhammadiyah dan Wacana Kolonial
Sepanjang abad ke-19, diskursus kolonial Hindia Belanda berusaha menaturalisasi obsesi superioritas ras beserta peranakannya di atas struktur sosial masyarakat pribumi. Sejalan dengan itu, ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan telah ditahbiskan untuk menjadi perangkat ideologis rejim kolonial yang berfungsi untuk menamakan serta mengklasifikasikan penciptaan hirarki tipologi ras. Arsitek sistem tanam paksa menciptakan pembagian universal antara orang Jawa dan ras Belanda dalam rumusan: “bahasa, warna, agama, moral, dan catatan sejarah, semua berbeda antara Belanda dan Jawa. Kita (colonial) yang mengatur, dan mereka (pribumi) yang diatur”.[3] Ekspresi diskriminasi politik ini menemukan bentuknya dalam kebijakan hukum, diskursus aktivitas misionaris, termasuk dalam topografi.
Studi sejarah pergerakan Islam di kawasan Asia Tenggara telah mencatat bahwa gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah memberikan andil penting bagi penyemaian sekaligus tumbuhnya benih-benih gerakan nasionalisme dalam proses de-kolonialisasi bangsa Indonesia. Komitmen dan kontribusi Muhammadiyah bagi pemupukan cita-cita sosial dan politik pada awal abad ke-20 di Jawa adalah satu dari sekian sumber pemikat studi ketimuran.[4] Kemunculan gerakan sosial keagamaan ini di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti penting, yaitu menandai titik balik kesadaran (the turning point of consciousness) masyarakat muslim Indonesia dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang mengunjam dunia Islam pada saat itu, dan meletakan landasan kebudayaan (cultural) sebagai basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.
Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai medium siasat dan strategi kalangan pribumi ketika dihadapkan dengan realitas pergulatan identitas, resistensi, akomodasi, dan negosiasi dengan modernitas kolonial. Preposisi ini mengukuhkan kebudayaan pada posisi penting sebagai salah satu kekuatan yang mendorong proses mobilitas politik dan solidaritas sosial organik dalam membangun jaring-jaring nasionalisme, merebut bola api kemerdekaan, serta menegakan cita-cita sosial bangsa. Dengan begitu, perjuangan kebangsaan melalui jalur kebudayaan ini memiliki lanscape pergerakan yang terbentang luas, mulai dari wilayah sosial, ekonomi, keagamaan sampai pendidikan.
Konsistensi kiprah persyarikatan Muhammadiyah dalam komitmennya sebagai gerakan kebudayaan telah menorehkan kontribusi pemikiran sekaligus peran aktif dalam proses mencerahkan kehidupan beragama, mencerdaskan dan menyadarkan harga diri umat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Latar belakang sosio-historis tersebut mendaulat Muhammadiyah sebagai salah satu medan penelitian yang eksotik. Sehingga cukup banyak sarjana baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berupaya menyingkap interaksi dan dialektika Muhammadiyah dengan realitas-realitas keindonesian yang kompleks; mulai dari James L. Peacock, Mitsuo Nakamura, Harry J. Benda, A. Mukti Ali, Deliar Noer, Alfian, Sirajudin Sjamsudin, Kuntowijoyo, Achmad Jainuri, Munir Mulkhan, Irwan Abdullah dan Alwi Shihab.

Beberapa teori dan perspektif sudah banyak dipakai untuk mengurai alasan-alasan heremeneutis yang memotivasi berdirinya gerakan Muhammadiyah. Para pakar telah mencoba untuk menjelaskan tafsir historis terhadap historical background dan historical reasoning-nya untuk menjelaskan eksistensi Muhammadiyah pada awal dekade abad ke-20. Dan tentunya setiap temuan diperkaya serta diperkuat oleh berbagai fakta yang diyakini merupakan faktor pendorong utama berdirinya Muhammadiyah.[5] Namun satu yang pasti bahwa kelahiran gerakan ini secara jelas terkait erat dengan dinamika sejumlah faktor yang kompleks dimana faktor yang terpenting masih diperdebatkan.

Perdebatan yang mengemuka, menyarikan dua pandangan besar menyangkut faktor determinan kelahiran organisasi ini. Pandangan pertama menyatakan bahwa Muhammadiyah berdiri didorong oleh kuatnya arus penyebaran gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia.[6] Pandangan ini akan diikuti oleh asumsi bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah memberi kontribusi penting dalam membidani kelahiran Muhammadiyah. Dengan demikian, jaringan intelektual Muhammadiyah memiliki relasi geneologis dengan corak pemikiran modernis di Timur Tengah.[7] Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa keberadaan Muhammadiyah merupakan respon terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Pandangan ini lebih melihat aspek domestik dalam tubuh budaya Jawa sebagai determinan utama yang memunculkan gerakan ini.[8] Meskipun kedua faktor diatas memainkan peran penting, justru Alwi Shihab melihat bahwa faktor penetrasi Kristen di negeri ini, dan ini hampir luput dari analisis para sarjana, merupakan faktor terpenting dari semua faktor yang telah mendorong K. H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan persyarikatan ini pada tahun 1912.[9]

Ada dua catatan yang harus diberikan menyangkut tesis Alwi ini, terutama dalam kerangka pergulatan state of mind identitas Islam Muhammadiyah awal dengan modernitas kolonial. Pertama, pembacaan tesis terakhir ini harus dilihat dalam kerangka gerakan protes kalangan muslim modernis terhadap konspirasi mutual kolonialisme dengan misionarisme. Dengan begitu, pembacaan geneologis ini tidak menjadi kontra produktif dengan dokumentasi awal gerakan Muhammadiyah yang dikenal toleran, inklusif, dan pluralis.[10] Kedua, agama dan gerakan misionaris telah dipakai sebagai salah satu perangkat wacana kolonial Hindia Belanda untuk menciptakan garis demarkasi identitas Belanda/Hindia Belanda dan (Islam) pribumi. Ini dapat ditelusuri pada Regeeringsreglement (Undang-undang Klasifikasi Rasial) yang disahkan pada tahun 1854.[11]
Sebagaimana dicatat Takashi Shiraisi, geliat kesadaran politik “bumiputra” mulai mengemuka pada awal abad ke-20. Fenomena gerakan rakyat dalam bentuk surat kabar, jurnal, pertemuan rakyat, serikat buruh, pemogokan, novel, sastra bahkan pemberontakan merupakan corong ekspresi dan alat perjuangan. Dengan panggung inilah, Sarekat Islam dan Muhammadiyah mengartikulasikan peran sebagai organisasi pergerakan yang bercorak Islam; Budi Utomo dan Indishe Partai adalah gerakan bercorak nasionalis; dan ISDV serta PKI menjadi pendahulu bagi gerakan-gerakan yang berhaluan komunis.[12]
Dalam kerangka pergerakan kebangsaan, basis sosial Muhammadiyah dan Sarekat Islam lebih mencerminkan aspirasi (politik) kelas menengah pribumi. Seperti halnya Budi Utomo dan organisasi priyayi lainnya, Muhammadiyah dan SI mengadopsi gagasan-gagasan kemajuan (modernitas) sebagai battle cry pergerakan. Tafsir sosial identitas Islam Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial yang ambigu merupakan akar intelektual bagi resistensi dan siasat kebudayaan Muhammadiyah. Inilah yang disebut –meminjam terminologi Amin Abdullah- sebagai social hermeneutic al Quran yang merupakan paradigma intelektual praksis sosial K.H. Ahmad Dahlan.[13]

Nasionalitas, Modernitas dan Politik Kebudayaan
Gerakan nasionalis di Hindia Belanda sepanjang tahun 1930-an mengalami intimidasi kebijakan-kebijakan kolonial, sehingga sebagian besar pemimpin gerakan pembebasan dan kebangsaan dipenjarakan. Politik kolonial ini menggiring sebagian gerakan-gerakan nasionalis untuk memilih jalur kultural sebagai alternatif gerakan. Pergeseran siasat perlawanan anti kolonialisme yang terjadi di kalangan organisasi-organisasi pribumi ini memaksa G.H. Bousquet untuk mengingatkan pemerintah Belanda yang memandang sebelah mata gerakan-gerakan keagamaan modernis. Bousquet mengatakan, “memang betul Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik namun anggota-anggotanya (memainkan peran aktif)”. Lebih dari itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah bak ladang subur bagi indoktrinisasi sentimen anti kolonialisme secara efektif.[14]

Parthe Chatterjee dalam The Nation and Its fragments mengajukan pendapat bahwa nasionalisme anti kolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri di dalam masyarakat kolonial, jauh sebelum ia memulai pertempuran politiknya dengan kekuasaan penjajah. Ini mengimplikasikan bahwa selain wilayah materi dari nasionalisme politik, terdapat juga wilayah spiritual di dalamnya, tempat identitas budaya otonom dipelihara.[15] Inilah yang mendasari pernyataan di awal bahwa identitas kebangsaan Muhammadiyah adalah nasionalisme keagamaan (religio-nasionalism).

Di sisi lain, modernitas bukan sesuatu yang dapat di hapus dari tanah jajahan, karena terjalin erat dengan kehadiran Hindia Belanda. Perusahaan Barat berusaha membuka pasar-pasar kolonial baru untuk memasarkan produk-produk industri sekaligus secara eksplisit menganjurkan gaya hidup modern. Iklan-iklan kapitalisme Barat merangsang hasrat modernisasi gaya hidup yang bersifat konsumtif. Identitas Modernitas pribumi direduksi dalam atribut-atribut industri kapitalisme. Bagi rejim kolonial, modernisasi Indonesia ada batasnya; mereka dilarang untuk membaca segala sesuatu yang ingin mereka pelajari dan ketahui.[16] Pada titik ini, modernitas kolonial ditangkap sebagai bagian dari westernisasi. Lebih dari itu, pemerintah Hindia Belanda mengajarkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa diimbangi dengan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan pemerintah. Kolonialisasi pada aras state of mind inilah yang akan memenjarakan kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpendapat, lebih dari sekedar merdeka secara simbolik. Dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan oleh Muhammadiyah merupakan jawaban kreatif dalam menangkal gerakan imperialime budaya Barat.
Kebijakan penguasa kolonial Belanda yang tidak netral terhadap Islam dan perlakuan istimewa menyangkut bantuan finansial pendidikan terhadap misionaris Kristen membuat berang kalangan Muslim. Secara terang, sikap diskriminatif rejim kolonial mengarah pada rasialisme identitas keagamaan karena pihak kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa Pemerintah Hindia Timur merupakan representasi sebuah negara Kristen.[17] Terlebih secara politis, masyarakat Islam dikategorikan dalam kasta “bumiputra”; sebuah klasifikasi politik kolonial yang memasung hak politik warga pribumi serta mengubur identitas kebangsaan. Pemerintah kolonial membatasi mobilitas sosial dengan memberi kualifi kasi tertentu pada orangtua calon pelajar untuk memperoleh pendidikan. Politik pendidikan kolonial ini mengakibatkan kemandulan mobilitas sosial yang hanya menghasilkan kaum terpelajar yang elitis.[18]
Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan ini berdampak pada peningkatan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan Kristen sekaligus berbanding terbalik dengan nasib pendidikan Islam yang sekarat. Kepentingan mendasar untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan masyarakat muslim pribumi, sekaligus membangun kekuatan perlawanan yang bersifat kultural merupakan alasan mengapa Muhammadiyah berorientasi pada pembaharuan sosial, reformasi sikap keberagamaan dan me-reformasi sistem pendidikan Islam. Secara substansial, inilah semangat dasar gagasan sosial Muhammadiyah. Menjadi tidak berlebihan bila lembaran sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa mencatat nama organisasi ini sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan yang terlibat dalam proses perumusan identitas nasionalitas dan kemerdekaan hak politik warga bangsa yang berdaulat.
Nomenklatur historis tersebut menyebabkan Alfian mengambil kesimpulan bahwa peran-peran Muhammadiyah dalam proses pembaharuan, setidaknya pada kurun kolonialisme, membawa dampak positif pada tiga wilayah, yaitu wilayah pembaharuan keagamaan, perubahan sosial dan politik.[19] Maka tidak mengejutkan jika Alwi Shihab berpendapat bahwa secara luas gerakan pembaharuan Muhammadiyah berdampak politis meskipun pada aras konsep strategi gerakan berada pada jalur pendidikan yang merupakan salah satu soko guru gerakan kebudayaan Muhammadiyah.

Dalam kaca mata posmodernisme dan cultural studies, relasi gerakan kebudayaan dengan politik tidak semata bersifat implikatif namun juga bersifat mutual karena kebudayaan memiliki muatan politis sehingga disebut cultural politics; yaitu budaya merepresentasikan kekuatan yang menegasikan ancaman dan hegemoni sekaligus mengafirmasi dimensi penguatan dan opoposional. Dengan kata lain, kebudayaan bukan merupakan praktek yang otentik sebuah masyarakat ataupun bagian dari manipulasi kepentingan kapitalisme, jutru ia menjadi locus perjuangan kelompok-kelompok lokal dan marjinal. [20]

Dan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dengan memasuki wilayah budaya menjadi salah satu tema penting dalam gagasan Amircal Cabral. Pemikiran Cabral mengenai teori nasionalisme revolusioner dan gerakan pembebasan nasional telah memberikan kontribusi yang berharga bagi gerakan-gerakan anti kolonialisme di Dunia Ketiga. Secara umum, ada empat gagasan terpenting Cabral bagi perkembangan teori kolonialisme/poskolonialime, yaitu konsepsi mengenai kolonialisme dan imperialisme; konsep sejarah yang menempatkan perjuangan kelas sebagai kekuatan menentukan; konseps borjuasi kecil yang dipandang menentukan transformasi hubungan-hubungan produk dan prilaku politik revolusi di Afrika; dan gerakan kebudayaan merupakan siasat perlawanan terhadap dominasi asing.[21]

Dalam konteks tesisnya yang terakhir, ia mensinyalir bahwa realitas kolonial ditentukan oleh kondisi keterbelakangan ekonomi kita. Hubungan antara kebudayaan dan kondisi ekonomi menghasilkan pembebasan nasional sebagai tindakan kebudayaan. Dengan begitu, kebudayaan berfungsi sebagai sarana untuk melawan dominasi kolonialisme. Kebudayaan merupakan manisfestasi yang sangat mengakar, baik pada tingkat ideologi maupun idealisme, dari realitas material dan historis masyarakat yang didominasi.[22]

Tesis Cabral tidak sepenuhnya tepat dalam frame dialektika Muhammadiyah dengan modernitas kolonial Belanda. Faktor kemiskinan dan keterbelakangan memang banyak disebabkan oleh kebangkrutan sistem ekonomi pribumi namun faktor kebodohan mendorong Muhammadiyah menggarap pendidikan sebagai lahan krusial bagi penanaman kesadaran akan cita-cita sosial masyakat pribumi yang berdaulat. Dekolonisasi tatanan politik kolonialisme dan imperialisme Eropa tidak hanya sebatas pada upaya dekonstruksi pada ranah perjuangan politik namun harus dibarengi dekonstruksi pemikiran (state of mind) muslim yang selama ini dihegemoni oleh paradigma Barat. Karenanya, menurut Abdel Kadir Khatibi, kolonialisme Barat tidak semata menciptakan penjajahan politik, bahkan lebih jauh menanamkan pandangan subversif terhadap state of mind masyarakat terjajah.[23]

Sejalan dengan reformasi pada aras state of mind, tafsir sosial Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial menampilkan wajah baru komunitas pribumi yang lebih dinamis, dimana urbanisme dan etos ekonomi menjadi ciri yang melekat, sebagaimana tesis Kuntowijoyo.[24] Fenomena sosial ini tentunya mematahkan asumsi wacana kolonial bahwa komunitas pribumi yang terjajah identik dengan sifat primitif, barbar, dan tidak berperadaban sehingga kolonialisme menjadi tindakan legal.[25] Secara paralel, Ernst Gellner meyakini bahwa kemunculan nasionalisme terkait erat dengan perubahan dari ekonomi praindustri ke ekonomi industri. Karena bentuk-bentuk organisasi sosial semakin konfleks sehingga merangsang kebutuhan mendasar terhadap negara dan daya kerja yang lebih kooperatif. Jadi masyarakat industri melahirkan kondisi ekonomis untuk kesadaran nasional.[26] Menarik benang merah gagasan yang terdapat dalam kedua tesis di atas mengukuhkan asumsi bahwa gerakan Muhammadiyah adalah gerakan nasionalis keagamaan modern yang berbasis pada gerakan kebudayaan dengan bertumpu pada etos ekonomi urban yang dinamis dan kosmopolit.

Fase generasi Muhammadiyah awal, yaitu 1912–1923, merupakan tonggak landasan Muhammadiyah sebagai organisasi keindonesiaan yang memperjuangkan cita-cita sosial warga bangsa pribumi. Periode ini menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai gerakan religio-nasionalism sekaligus mulai tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap masa depan bangsa ditengah–tengah suasana kolonial. Peletakan landasan gerak yang kokoh disertai pewarisan tradisi keilmuan yang mapan mendorong Muhammadiyah memasuki pusaran arus bangsa, yaitu fase 1923 – 1945. Hal ini ditandai dengan bertaburnya kader– kader persyarikatan yang berkiprah dalam pentas nasional. Prestasi kebangsaan tersebut merupakan buah dari konsistensi Muhammadiyah memilih dan menerapkan siasat politik kebudayaan yang kritis, akomodatif, kosmopolit, hibrid, dan inovatif ketika berhadapan dengan tantangan realitas modernitas kolonial.

Paparan ini ingin menunjukan bahwa nasionalisme Muhammadiyah yang berporos pada gerakan sosial keagamaan lahir dari rahim siasat politik kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial. Dengan demikian, resistensi tidak dirmaknai sebagai tindakan apriori, memendam sikap apresiatif, dan mengunci pintu dialog, tapi justru sebaliknya. Ini merupakan jejak kesejarahan Muhammadiyah awal yang harus dibaca secara hermeneutis serta direkonstruksi untuk ditransformasikan pada konteks tantangan Muhammadiyah kekinian.

* Penulis adalah Staf Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Ketua DPD IMM Jawa Tengah


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation. 2000
Achmad Jainuri. Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000
Alfian. The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1989
Alwi Shihab. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (terj). Bandung : Mizan. 1998
Amin Abdullah. Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11–12 Agustus 2001
Ahmad Syafi`i Ma`arif. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES. 1996
Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996
Chris Barker. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. 2000
Cristian W. Troll. Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology. New Delhi: Vikas Publishing House. 1978
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. 1985
Edward Said. Orientalism. London: Routledge. 1978
Henk S. Nordholt. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002
Kuntowijoyo. Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya. Surakarta: PSB-PS UMS & MTPPI Muhammadiyah. 2003
Kuntowijoyo. Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu. http//www.kmnu.org
Leela Gandhi. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terj). Yogyakarta: Qalam. 2001
Leong Yew. On Categorizing Postcolonial Theorists. http//www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists
Mitsuo Nakamura. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1983
MT. Arifin. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta : Bumi Aksara. 1987
Muhammad Hisyam. Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942. Jakarta: INIS. 2001
Nikki R. Keddie. An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani. Barkeley: University of California Press. 1968
Ronald H. Chilcote. Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj). Jakarta: Sahe Study Club dan Yayasan HAK Dili. 1999
Simon Philpott. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme (terj). Yogyakarta: LkiS. 2003
Takashi Shiraisi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj). Jakarta: Grafiti. 1997



[1] Untuk sekedar menyebut, Nikki R. Keddie, An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani, Barkeley: University of California Press, 1968; Cristian W. Troll, Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology, New Delhi: Vikas Publishing House, 1978.
[2] Beberapa karya yang terkait, Mukti Ali (1957) memaparkan introduksi bibliografi bagi studi Muhammadiyah; Alfian (1969) memberi gambaran detail menyangkut keterlibatan gerakan Islam Modern Muhammadiyah dalam percaturan politik; Noer (1973) melakukan studi survey terhadap gerakan-gerakan Islam modern, termasuk Muhammadiyah, sampai akhir kolonial Belanda; Palmier (1954) melaporkan proses awal rekonstruksi Muhammadiyah pasca kemerdekaan; Federspiel (1970) menyodorkan ikhtisar seputar ideologi Muhammadiyah; Peacock (1978) meneropong gerak Muhammadiyah dalam perspektif Weber; Benda (1958) menyajikan laporan luas kedudukan politik Islam pada masa kolonial Jepang, lih. Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983, footnote hlm. 4. Dan secara khusus, Jainuri ( 1997) menyusuri proses pembentukan ideologi Muhammadiyah serta Alwi Shihab (1995) memperlihatkan pola resistensi gerakan ini terhadap Kristenisasi, lih. Jainuri, Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000.
[3] Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 67.
[4] Untuk konteks ini, penulis membedakan studi ketimuran dengan orientalisme karena istilah terakhir bernada peyoratif dan mengandung bias superiority complex Barat vis as vis imperiority complex Timur. lihat, Said, Orientalism, 1978, London : Routledge; sebagai wacana tanding Hassan Hanafi mengkampanyekan Oksidentalisme sebagi kritik nalar kesadaran Barat. Walaupun mendapat sorotan kritis karena tawarannya dinilai belum sampai pada landasan dan konstruksi epistemologi yang jelas.
[5] Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan, 1998, hlm. 125.
[6] Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 –1942, Jakarta : LP3ES, 1985, hlm.17.
[7] Arbiyah Lubis dalam penelitian disertasinya membandingkan pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa persamaan corak pemikiran namun juga memiliki sisi corak pemkiran yang berbeda.
[8] Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta : Bumi Aksara, 1987,hal: 73.
[9] Shihab, 1998, hal. 143; bandingkan dengan pernyataan Amry Vandenbosch yang melihat kebangkitan Muhammadiyah buka semata reaksi terhadap arus misi Kristen yang progresif di Jawa Tengah, lih. Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 66.
[10] Indegenousitas karakteristik Muhammadiyah diatas dapat dikaji dalam Alwi Shihab, 1998; Hisyam, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942, Jakarta: INIS, 2001; Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation, 2000.
[11] Lih. Philpott, 2003, hlm. 260.
[12] Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj), Jakarta: Grafiti, 1997, hlm. xii.
[13] Abdullah, Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah dalam The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11 – 12 Agustus, 2001.
[14] Ma`arif, 1996, hlm. 65.
[15] Nordholt, Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 218-219
[16] ibid., hlm. 254
[17] Shihab, 1998, hlm.142.
[18] lih. Kuntowijoyo, Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu, http//www.kmnu.org
[19] Alfian, The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989, hlm. 178
[20] Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London Sage Publication, 2000, hlm. 312
[21] Chilcote, Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj), Jakarta: Sahe Study Club dan Yayasan HAK Dili, 1999, hlm. 69.
[22] Cabral, 1999, hlm.74
[23] Azra, Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 92
[24] Kuntowijoyo, Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS UMS dan MTPPI PP Muhammadiyah, 2003, hlm 16-17.
[25] Leong Yew, On Categorizing Postcolonial Theorists, www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists
[26] Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 139

Politik Pemaknaan: Membangun Teologi Subversif

Oleh: Fajar Riza Ul Haq *

“Bacakanlah nama-nama Tuhan atas nama kidung pemberontakan dan keadilan"

Terminologi imajinasi mengacu pada beberapa karakteristik dasar seperti potensi, keajaiban, kekuatan tertentu, dan keindahan yang misterius. Imajinasi tumbuh mekar dalam labirin feeling of hope manusia untuk menyingkap dimensi kreativitas dan wilayah-wilayah kemungkinan yang tidak terbatas. Imajinasi merupakan miniatur bakal realitas masa depan yang belum tersentuh oleh rekayasa perencanaan. Menurut Katrechko, imajinasi merupakan struktur fundamental fakultas kesadaran. Karenanya, imajinasi mempunyai peran mendasar dalam menyokong aktivitas-aktvitas penyadaran sekaligus ikut mempengaruhi fakultas-fakultas lain manusia. Adapun kesadaran imajinatif tersebut termanifestasi dalam kajian filosofis (wacana rasionalitas).[1] Potensi kekuatan luar biasa imajinasi mampu menstimulasi proses transformasi imajinasi menjadi sebuah gerakan imajinasi sosial.


Kemungkinan ini memancing sebuah pertanyaan bernada verifikatif, dapatkah kekuatan imajinasi diandalkan untuk melakukan perubahan sosial mendasar?. Adalah Robert Desnos, seorang penyair surrealist, yang begitu yakin akan kemampuan imajinasi untuk mentransformasikan masyarakat. Sehingga iapun dikenal sebagai orang yang begitu percaya dengan imajinasi.[2] Secara faktual historis, Richard Kearney dalam The Wake of Imagination (1988) menunjukan bahwa sesungguhnya budaya Barat berasal dari peradaban imajinasi.[3] Menurut temuan Kearney, konsep formatif imajinasi dapat dilacak pada peradaban Yunani dan tradisi biblikal, sebelum kemudian berkembang melalui zaman pertengahan, modern, dan periode posmodern dalam sejarah kebudayaan.[4] Secara jelas Kearney menyatakan bahwa ia "sengaja" tidak menempatkan peradaban imajinatif Islam dalam lintasan orbit peradaban Barat karena kontribusi peradaban Islam bersifat marjinal dalam pembangunan mainstream tradisi Barat.


Dalam pandangan filsafat Barat, peradaban Yunani melalui metafisika Plato dan Aristatoles dan tradisi Judeo-Christian merupakan fondasi dominan peradaban imajinatif Barat.[5] Menurut penulis, ini merupakan contoh betapa kita tidak mudah menemukan (pengakuan) eksistensi dan sumbangan Islam dalam orbitasi peradaban-peradaban Judeo-Christian. Mungkin kritik radikal kalangan poskolonial terhadap konstruksi hegemoni pengetahuan Barat patut menjadi renungan penting bahwa bagaimana kita bisa menumbuhkan imajinasi peradaban Islam dalam atmosfere kearifan global yang mengakui kontribusi kemajemukan peradaban.
Signifikansi Imajinasi Sosial


Sebagai inspirasi gerakan kritik sosial dan perubahan, imajinasi sosiologis yang dikenalkan C. Wright Mills menjadi sangat membantu untuk mengabstraksikan gerakan imajinasi sosial. Menurut C. Mills, imajinasi sosiologis memberdayakan sensitivitas kita untuk menemukan keterhubungan antara kesusahan-kesusahan yang bersifat pribadi (personal troubles) dan isu-isu publik (public issues) dalam struktur sosial, atau dalam istilah lain masalah-masalah sosial. Kesusahan/kesukaran pribadi biasanya bersifat lokal dan temporal. Untuk memperjelas, Mills mengatakan bahwa troubles dapat ditemukan dalam karakter individu dan dalam tata relasi-relasinya dengan yang lain. Konteks temporalitas personal troubles adalah tempat pribadi ataupun lingkungan sosial. Secara kontras, isu-isu sosial bersifat impersonal, struktural, institusional, dan merupakan proses masyarakat. Beban isu-isu publik melampaui kekuatan setiap individu untuk merubahnya sehingga upaya-upaya advokasi maupun pembelaannya harus melalui aksi-aksi kolektif atau gerakan sosial. Ini tentunya berbeda dengan jalur penyelesaian personal troubles yang melalui langkah-langkah politik.[6]


Yang terpenting dari imajinasi sosiologis ialah kecerdasan untuk mengurai bagaimana kesusahan pribadi (troubles) dan isu-isu sosial saling berhubungan; bagaimana kesusahan yang berakar pada pengalaman personal bisa dihubungkan dengan isu-isu publik yang berbasis struktural.[7] Kasus yang biasa diangkat adalah nasib kaum kulit hitam di Amerika. Meski secara statistik, tingkat pendidikan kaum kulit hitam meningkat bahkan pada tingkat tertentu sejajar dengan kaum kulit putih namun kesenjangan keduannya justru semakin melebar. Akar tunjang anomali sosial itu dapat dirujuk pada rasialisasi struktur sosial (politik rasisme) dan sejarah perbudakan, segregasi dan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Dengan demikian, keterpinggiran kaum kulit hitam harus dibaca sebagai korban dari relasi kuasa politik rasis white supremacy.[8]


Secara sosiologis-historis, genetik gerakan imajinasi intelektual dapat dirunut pada beberapa tradisi intelektual dan gerakan sosial. Pertama, dalam dunia Islam kajian intelektual imajinatif banyak ditemukan dalam studi-studi filsafat Islam yang mereferensi pada tokoh rasionalisme Islam, yakni Ibn Rusdy. Rasionalisme Islam merupakan kritik sekaligus perlawanan terhadap kebekuan teks yang menyebabkan tumbuhnya ortodoksi Islam. Paralel dengan filsafat Islam, tradisi tasawuf mampu memperkaya pergulatan Islam dengan gagasan imajinatif untuk tujuan pengimbangan bahkan counter style terhadap dunia materialistik. Doktrin tasawuf Ibn Araby yang menekankan kesejatian dunia imajinatif yang abadi dan jalan yang ditempuh mistikus Jalaluddin Rumi sering dirujuk sebagai simbol kritik atas kegilaan duniawi pada zamannya.


Kedua, dalam literatur counter movements modern-kontemporer bermunculan gerakan-gerakan sosial yang mengusung wacana resisten terhadap kolonialisme dan hegemoni kapitalisme global. Lebih jauh, diskursus gerakan kritis, seperti new left dan new social movement, mengimajinasikan tatanan global poskapitalisme dan postwestercentric. Kepeloporan Aime Ceseire dalam Negritute Movement di Afrika dan Imagination Movement di Eropa yang membangun wacana anti kapitalisme serta anti globalisasi merupakan respon atas politik diskriminasi dan ketidakadilan global. Mereka bersatu padu memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan. Ilustrasi ini memberi gambaran bahwa ada titik singgung kepentingan yang paralel dari semua fenomena kesejarahan itu, yaitu etos perlawanan dan semangat liberasi yang diinspirasi oleh imajinasi sosial untuk merebut kebebasan, kemerdekaan, dan keadilan sosial. Tentunya, imajinasi sosial tersebut bersumber dari sistem penalaran yang dinamis serta progresif dimana artikulasi pemaknaannya bercorak subversif.


Politik Pemaknaan Nalar Progresif
Sebagaimana dikemukan di awal, imajinasi memiliki kaitan penting dengan aktivitas filosofis yang pada dasarnya merupakan proses rasionalitas nalar. Kalau berkaca pada pengalaman pergumulan pemikiran modern-Barat, tradisi keagamaan pra modern ditundukan pada kebenaran final dalam bentuk teks illahi, sedang tradisi filsafat ditempatkan sebagai pengalaman manusia dimana proses pencapaian kebenaran tersebut melalui pergulatan intelektual dalam dunia realitas manusia itu sendiri. Konstruksi intelektual masa pencerahan ini berdampak kuat pada sikap kaum intelektual Barat untuk menyingkirkan sistem keyakinan beragama.[9] Ini terjadi karena paradigma modernisme telah menyeret pemutllakan kebenaran rasionalitas sehingga mengalami reifikasi. Ekstrimisme nalar tersebut lambat namun pasti akan menggusur kesadaran beragama dan eksistensi imajinasi itu sendiri. Lalu bagaimanakah meresolusi otoritas kesadaran nalar imajinatif ketika dikonfrontasikan dengan teks dan kepentingan pemihakan penafsir.?


Menurut penulis, hakekat pemaknaan Islam untuk zamannya disamping proses memahami kembali (reunderstand) juga yang tidak kalah penting adalah mengimajinasikan kembali (reimagine) Islam sebagai sumber inspirasi pembebasan (liberation), kebebasan (freedom), dan keadilan (justice). Ini patut ditegaskan disaat kekerasan struktural atas nama hegemoni negara tidak pernah surut, kekerasan dan teror atas nama agama semakin menemukan pemicunya, kerusakan alam yang semakin menggila, imperialisme baru berbendera hibah kemanusiaan yang menjadi wajar, hingga kekacaun tata sosial global yang menusuk hati. Sebagai basis kesadaran, imajinasi memiliki kekuatan penggerak untuk membangun konstruksi penalaran yang dinamis dan progresif. Nampaknya menjadi sangat beralasan jika Abdolkarim Soroush memetakan visi nalar ke dalam dua bagian, yaitu nalar sebagai sumber dan ranah kebenaran-kebenaran (reason as destination) dan nalar sebagai kekuatan kritik yang dinamis sehingga mekanisme pencarian kebenaran melalui proses negosiasi.[10] Pemetaan ini menunjukan bahwa imajinasi nalar progresif adalah nalar yang memiliki visi pemikiran dinamis, terbuka, dan kritis terhadap teks ketika dikonfrontasikan dengan penindasan struktural, ketidakadilan sosial, dan hegemoni atas nama agama.


Nalar progresif merupakan penggerak kesadaran liberatif untuk "memahami" ketimpangan-ketimpangan realitas sosial sekaligus "mengimajinasikan kembali" tata sosial baru. Meminjam penjelasan Farid Esack, hermeneutik memahami disini ialah komitmen untuk memperjuangkan keadilan dalam berbagai wilayah sosial-ekonomi dibandingkan sekedar selebrasi pemikiran kritis demi kepuasan dirinya. Memahami dipandang sebagai produk imajinasi yang mengawinkan gagasan keadilan sosial dengan refleksi, lebih dari sekedar produk penjelmaan kritik. Keadilan sosial, ekonomi, gender, dan lingkungan (harus) lahir dari proses memahami tersebut.[11] Adapun proyeksi mengimajinasikan merupakan tahapan tak terpisahkan dari proses memahami di atas. Pada tahapan ini, imajinasi merupakan proses transformasi radikal dari peradaban kapitalisme yang hegemonik menuju tata sosial global poskapitalisme yang memihak keadilan ekonomi dan egalitarianisme politik.[12]


Kepentingan fundamental gerakan Islam ialah menginisiasi sekaligus memobilisasi massa untuk memperjuangkan pembebasan dan kebebasan dari segala bentuk dominasi, imperialisme, dan tindakan agresi yang mengancam hak-hak dasar kemanusiaan. Postulasi ini membentuk satu komitmen muslim bahwa misi gerakan Islam adalah untuk pencerahan pemikiran, kebebasan, dan keadilan.[13] Kebebasan dalam konteks sosial berbeda makna dengan kebebasan spiritual. Menurut Soroush, sifat kebebasan sosial berorientasi pada dua hal, yaitu "freedom for" dan "freedom from"; Kebebasan pertama merupakan tindakan positif (aktif) sedangkan yang kedua mencerminkan tindakan negatif (pasif). Kebebasan pada ranah sosial menentang perbudakan, penguasa tiran, otoritanianisme diskursus keagamaaan dan subordinasi struktur.


Raison d`entre gerakan pembebasan sosial Islam adalah pemberontakan terhadap segala bentuk subordinasi manusia karena hal demikian akan menyeret pada bentuk kemusyrikan sosial. Sehingga esensi identitas dari gerakan tersebut adalah memperjuangkan keadilan yang memihak dan kebebasan sosial.[14] Teologi pembebasan di Amerika Latin berhasil menjelmakan pesan-pesan Bible dalam bentuk gerakan kolektif meruntuhkan elitisme wacana agama yang otoriter dan ketidakadilan politik. Maka, progresivitas nalar subversif Islam menerjemahkan pesan-pesan Islam dalam frame kepentingan meluruhkan politik otoritarianisme wacana keagamaan dan menggusur imperialisme ideologi pasar. Politik pemaknaan ini mendaulat Islam sebagai ideologi pemihakan dimana jangkar sosialnya adalah pergulatan sejarah komunitas-komunitas kelas bawah dan marjinal. Hermeneutika pembebasan Islam mendorong lahirnya wacana maupun sejarah alternatif terhadap narasi globalisme.[15]


Ortodoksi Globalisasi: Kritik Studi Poskolonial
Menurut Anthoni Giddens, pada dasarnya globalisasi merupakan proses intensifikasi relasi-relasi sosial dalam dunia yang semakin terbuka yang menghubungkan lokalitas-lokalitas dalam satu sistem komunikasi global. Sebuah aras dunia baru yang menjebol tapal-tapal batas tradisional. Namun dalam perkembangannya, kepentingan kapitalisme telah memaknai globalisasi sebagai alat ideologis untuk mengeksploitasi dan menghegemoni kelas-kelas pekerja/buruh yang sebenarnya under class dalam struktur sosial masyarakat global. Akar resesi perekonomian global dimana yang menjadi korban pertama adalah negara-negara Dunia Ketiga dapat dilacak pada anomali globalisasi itu sendiri.


Joseph E. Stiglitz dalam Globalization and Its Discontent (2002) menjabarkan bahwa globalisasi memberi dampak yang ambigu untuk kasus negara-negara berkembang, terutama kawasan Asia. Secara kontras, globalisasi membawa angin surga bagi pertumbuhan perekonomian namun disisi lain, globalisasi tidak lebih merupakan rejim kolonial baru yang mengontrol dan mengarahkan pemulihan perekomian dan tata sosial lainnya. Lembaga keuangan dunia, seperti IMF dan World Bank telah melakukan manajemen penyehatan ekonomi secara tidak fair. Lembaga-lembaga keuangan dunia praktis menjadi kaki ideologi kapitalisme untuk menundukan ideologi-ideologi di luar jangkauan otoritas politik Gedung Putih. Pesan penting Stiglitz yang harus diwaspadai adalah sinyaleman bahwa globalisasi mengidap sisi gelap bagi keberlangsungan narasi peradaban manusia yang beradab dan demokratis.


Beranjak dari realitas paradoks ini, Ismet Azca menyodorkan analisis bahwa globalisasi mengalami ortodoksi. Dengan ungkapan lain, Tariq Ali dalam The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads, and Modernity (2002) menyebutnya sebagai fundamentalisme kapitalisme. Menurut Ali, kemenangan kapitalisme telah menumpuk hampir semua kekayaan dunia di tangan segelintir pemilik modal. Elit-elit di negara-negara berkembangpun memerankan diri sebagai agen kapitalisme domestik mengikuti jejak tuan besar kapitalisme global. Konstruski-konstruski dominan kapitalisme melahirkan penyakit-penyakit sosial modern seperti ketidakadilan sosial, diskriminasi politik, kemiskinan global dan ketergantungan ekonomi. Kemunculan fundamentalisme kelompok-kelompok yang menginisiasi pada agama harus dilihat dalam kaca mata ungkapan frustasi, perlawanan dan pemberontakan terhadap hegemoni tata sosial yang ada. Logika ini melahirkan premis penting Tariq Ali bahwa pengerasan gerakan-gerakan keagamaan (fundamentalisme Islam) dibidani oleh fundamentalisme imperialisme kapitalisme.


Dalam studi poskolonial, kapitalisme dan globalisasi merupakan dua wacana penting dalam pembongkaran struktur fundamental ketergantungan mental dan nalar di negara-negara pasca kolonial. Hubungan studi kritik globalisasi dan studi poskolonial sangatlah kompleks bahkan bersifat ekstrim. Kedua konsep tersebut berinterseksi dengan imperialisme, kapitalisme dan modernitas. Disamping itu, keduanya memiliki kesamaan dalam memandang efek dan konsekwensi dari ketimpangan relasi-relasi kekuasaan di antara tempat-tempat berbeda dalam konteks satu dunia, baik itu teraksentuasi secara ekonomi, politik dan khususnya kebudayaan. Bentuk-bentuk budaya merupakan pusat locus untuk memahami karakter realitas kontemporer untuk alasan-alasan tertentu. Jika globalisasi dikarakteristikan oleh berbagai macam koneksitas, maka melalui budaya koneksitas tersebut disimbolisasi, dikonsepsi dan dipahami. Koneksitas ini bersifat refleks ketika terjadi kontestansi antara kepentingan lokal dan global. Meskipun globalisasi dan studi poskolonial memiliki keterkaitan, namun tidak sampai pada generalisasi untuk menggolongkan globalisasi masuk pada studi poskolonial, ataupun sebaliknya, menyederhanakan globalisasi sebagai alternatif bagi terminologi poskolonialisme.[16]


Mengenai imperialisme kapitalisme, Nkrumah berpandangan bahwa imperialisme tidak dengan sendirinya ada karena semata proses kontinuitas power. Namun lebih dari itu, fenomena demikian terbentuk oleh logika kapitalisme yang terus berputar tanpa mengenal titik jenuh akumulasi kebutuhan dan produksi. Sejalan dengan kritiknya, Nkrumah dalam Neocolonialism: The Last Stage of Imperialism menyerukan pan-African untuk menghadang laju neo-kolonialisme. Berbeda dengan Nkrumah, ide neo-kolonialisme juga dipakai dalam konteks lain. Robert Young memandang kebermulaan neo-kolonialisme dapat dilacak pada teori pembangunan dan ketergantungan (development and dependency theory) serta teori kritik pembangunan (critical development theory). Isu-isu dalam kerangka teori pembangunan dan ketergantungan dalam Dunia Ketiga sulit untuk menghindar dari anotasi pembangunanisme Barat.[17] Akar ketimpangan dan ketidakadilan politik pembangunan tersebut melahirkan anakronisme globalisasi.


Untuk menangkar efek pandora globalisasi, Nasr Hamid Abu Zayd menyeru kepada semua pemuka agama untuk menggalang solidaritas moral melawan hukum pasar globalisme. Nasr mengingatkan, secara tersembunyi globalisme ekonomi menyertakan globalisme politik dan budaya. Globalisme politik ini terkait erat dengan tesis akhir sejarah Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992) bahwa sejarah ideologi modern berpuncak pada kapitalisme dan demokrasi. Agenda globalisme budaya berkorelasi dengan tesis Samuel Huntington (1996) yang menyatakan bahwa supremasi peradaban Barat akan mendapat wacana tanding dari peradaban Islam dan Timur Jauh. Dengan demikian, globalisme berupaya mentahbiskan peradaban global Barat sebagai sistem sosial dunia yang tunggal tanpa menyisakan ruang hidup untuk pandangan kultural lain, “the other”.[18]


Memaknai Anomali Sosial Sebagai Kemusyrikan Sosial
Pada satu sisi, gagasan budaya dan peradaban berawal dari imajinasi menciptakan ruang-ruang kreativitas baru ketika dihadapkan pada kejumudan sosial. Kemunculan gerakan-gerakan kontra hegemoni terkait erat dengan gerakan imajinasi sosial. Di sisi lain, Ortodoksi globalisasi yang berjalan iring dengan fundamentalisme imperialisme pasar menjebloskan tatanan sosial ke dalam kerangkeng otoritarianisme politik kapitalisme global. Dewasa ini, di daratan Eropa tumbuh komunitas-komunitas non mainstream yang mengusung ideologi perlawanan terhadap hegemoni globalisasi. Mereka menyerukan gerakan anti kapitalisme menuju tata peradaban pos kapitalisme.[19]


Islam sebagai salah satu pilar kekuatan peradaban (powerless?) dunia mesti beranjak untuk merevolusi diri sehingga berada di garda depan gerakan penggugatan rejim imperialisme kapitalisme global. Langkah radikal untuk menjangkau cita-cita pembebasan sosial tersebut ialah tafsir keberislaman harus dimaknai sebagai manifestasi ideologi pemihakan. Ketika ketidakadilan dikamuflase sebagai keadilan sejati, maka visi hermeneutika Islam adalah politik pemihakan yang berorientasi pada pembebasan kultural dan pencerahan. Dalam konteks ini, peringatan Abdul al Kabir Al Khatibi patut dicermati. Menurut Al Khatibi, kapitalisme imperialis Barat memaksakan pandangan-pandangannya melalui konstruksi-konstruksi sosial-politik dan menyebarkannya melalui ekspansi kolonial dengan aksentuasi modern.[20] Diinspirasi wacana anti kolonialisme Franz Fanon, Al Khatibi dalam Maghreb Pluriel (1983) memaklumatkan bahwa "allons, comrades, the European game is definitively over, We've got to find something else." [21]


Frase “Something else” dalam ungkapan di atas mengisyaratkan teori kritik ganda (theory of double critique) yang gagas Al Khatibi, yaitu kritik terhadap dekolonisasi dan dekonstruksi. Dekolonisasi dimaksudkan untuk membebaskan state of mind keberislaman dari hegemoni wacana-wacana keagamaan yang opresif Ini terkait dengan dua strategi untuk melepaskan ketergantungan kultural sedang dekonstruksi merupakan agenda kolektif untuk membongkar jangkar kolonialisme politik kapitalisme. Senada dengan Al Khatibi, Annour Majid dalam Unveiling Traditions (2000) mengingatkan bahwa agenda penting kalangan muslim modern adalah mengimajinasikan tatanan sosial tandingan terhadap peradaban Eurocentrisme sekaligus meruntuhkan praktek-praktek keagamaan yang bias ideologi patriakhal. Salah satu visi fundamental yang menggerakkan imajinasi-imajinasi poskolonial adalah wacana subversif sebagai bentuk artikulasi resisten terhadap kemapanan wacana patriakhal yang memonopoli otoritas keagamaan + dehumanisasi peradaban yang lahir dari fundamentalisme ideologi kapitalisme.


Memadukan gagasan imajinasi sosiologis (Wright Mills) dan wacana subversif dalam imajinasi poskolonial akan merubah visi politik pemaknaan keberislaman di tengah konstalasi peradaban global. Memang, realitas politik maupun kondisi sosial masyarakat muslim kontemporer belum bisa mendapatkan pengakuan politik sebagai salah aktor dalam pusaran perubahan dan percaturan kebijakan global. Namun, ketidakadilan dan sejumlah anomali sosial seperti kemiskinan, penganguran, tergusurnya kalangan petani tradisional, otoritarianisme politik serta politik diskrimasi, yang berakar pada intervensi struktural (birokrasi/ideologi aparatus negara) justru merupakan referensi historis kita dalam memaknai "Islam berbasis kepentingan pembebasan menurut zamannya". Dengan begitu, imajinasi intelektual Islam melampaui kebekuan normativitas dan moralitas teks. Sesungguhnya fenomena ketidakadilan dan berbagai ketimpangan merupakan teks yang hidup bahkan menyatu dalam lanskap kesejarahan manusia.
Logika ini akan mengantar pada satu asumsi hermeneutis bahwa proses membaca, menerjemahkan dan menafsir Islam harus diberi napas oleh kesadaran memihak kelompok-kelompok sosial (berbasis etnisitas) termarjinalkan untuk kemudian menggerakkan kesadaran kolektif untuk menggalang aliansi gerakan perlawanan. Pada akhirnya, sumber imajinasi sosial tidak lagi bertumpu pada otoritas teks yang mudah tergelincir pada status quo tafsir teks. Justru imajinasi sosial dihidupkan oleh oleh kesadaran untuk menciptakan dan menggerakkan perubahan-perubahan yang bersifat subversif. Wacana subversif merupakan artikulasi kolektif yang menegasikan realitas-realitas anomali sosial yang dikonstruksi oleh kepentingan hegemoni wacana keagamaan patriakhal, otoritarianisme ideologi aparatus negara dan kepentingan ekploitasi pasar.


Jika selama ini teks (al Quran dan Sunnah) dibaca atas nama Tuhan yang sebenarnya sarat dengan kepentingan pemapanan otoritas wacana tertentu, maka dalam frame mengimajinasikan (reimagine) wacana subversif yang berlaku adalah teks dibaca atas nama pengingkaran dan pemberontakan terhadap penindasan struktural, perbudakan sosial, imperialisme budaya dan ketidakadilan global. Kalau tiada seorang muslimpun yang menolak bahwa musuh besar tauhid adalah kemusyrikan, maka pengeksploitasian (manusia maupun lingkungan) dan realitas-realitas ketidakadilan merupakan bentuk kemusyrikan juga; kemusyrikan yang pertama bersifat transendental-illahiah sedangkan yang kedua merupakan kemusyrikan yang bersifat sosial-empirik. Basis teologis politik pemihakan pemaknaan keberislaman demikian itu adalah teologi subversif. Sebuah teologi minor yang berbasis kepentingan sejarah kelas marjinal dan kelompok-kelompok pariah sosial (under class).


Teologi subversif berangkat dari logika hukum peniadaan (حكم نفي ) terhadap semua eksistensi konstruksional yang merampas otoritas kebebasan/otonom manusia dan untuk kemudian mengklaim diri sebagai supremasi entitas tunggal yang hegemonik. Penegasian teologi subversif terhadap anomali-anomali sosial mengantarkannya pada pendeklarasian bahwa ortodoksi globalisasi (globalisme) dan fundamentalisme ideologi kapitalisme merupakan akar kemusyrikan sosial yang harus diperangi, dan diberantas bersama. Kemusyrikan sosial merupakan metafora dari tindak penyekutuan eksistensi Tuhan secara sosial dimana ideologi pasar telah menjadi tuhan baru dengan sistem kapitalisme sebagai agamanya. Pada kondisi ini, orientasi visi dakwah mengalami pergeseran radikal, dari prinsip amar ma`ruf dan nahi munkar menjadi nahi munkar untuk amar ma`ruf.


Politik tafsir keagamaan yang memihak berusaha menghadirkan Tuhan sebagai kesadaran yang menggerakan pembebasan dan membangun pencerahan sosial. Teologi subversif meyakini bahwa Tuhan tidak hanya hadir bersemayam di dalam atribusi ritus-ritus formal-simbolik namun juga "bertahta" di dalam realitas kemiskinan, kelaparan dan ketidakadilan. Senandung syahdu al Quran atas nama keagungan Tuhan tidak akan mampu meluruhkan ketimpangan sosial, namun kidungkanlah al Quran atas nama pemberontakan, pembebasan, dan keadilan niscaya kuasa membendung arus kemusyrikan sosial. Wallahu `alam

* Makalah disajikan dalam Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke Al Quran, Menafsir Memaknai Zaman, Universitas Muhammadiyah Malang dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, 18-20 November 2003
** Ketua Bidang Kader Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah; Staf Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta; Aktifis JIMM




DAFTAR PUSTAKA


Austin. Time Line Assignment: The Intersection of Biography and History, http//www.uwgb.edu/Austin/course/rm/imagination
Adams. Writing With Sociological Imagination: A Time Line Assignment for Introductory Sociology, Teaching Sociology, 1986
Abdolkarim Soroush. Reason, Freedom, and Democracy in Islam, Oxford University,
2000
Annour Majid. Unveiling Traditions: Postcolonial Islam in a Polycentric World, Durham & London: Duke University Press, 2000
Farid Esack. In Search of Progressive Islam Beyond 9/11 dalam Omid Safi (ed), Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism, Oneworld Publication, 2003
Fajar Riza Ul Haq. Islam dan Wacana Kritik: Apresiasi Kritis Poskolonial Islam, Jurnal Profetika, Vol.5 No.1 Januari 2003
Imre Szimen. Globalization, dalam John Hawley (ed.), Encyclopedia of Postcolonial Studies, Westport, CT: Greenwood Press, 2001
Issa J Boullata. Dekonstruksi Tradisi (terj), Yogyakarta: LkiS, 2001
Leong Yew. Neocolonialism, Postcolonial and Transnational Theories, National University of Singapore. http://www.wsu.edu/~amerstu/tm/poco.html#TOP
Louay Safi. Reason, Authority, and The Text, http//home.att.net/`louaysafi/articles/editorials/reason.htm, winter 2001
Muhammad Hasan. To The Defense of Islamic Movement and The Pioneers of Islamic Renaissance, Maret 1999, http://www.iol.ie/~afifi/BICNews/Hamdan/hamdan22.htm
Mohamed Jouay. http://www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/casablanca/jouay1.html
Richard Kearney. The wake of imagination: toward a postmodern culture, Minnepolis: University of Minnesota Press, 1988SL Katrechko. Imagination as fundamental faculty of consciousness, http//www.philosophy.ru/libray/ksl/kate007.htm
Susan Griffin. To love the marigold: The politics of imagination, http//www.twinoaks.org/members-exmembers/members/center/griffin.htm
Sohail Inayatullah. Islamic Civilization in Globalization: From Islamic Futures to Postwestren Civilization, http://www.metafuture.org/Articles/Islamic_civilization_in_globalization_ published_version.htm
Tariq Ali. The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads, and Modernity, London & New York: Verso, 2002

[1] Katrechko, Imagination as fundamental faculty of consciousness, http//www.philosophy.ru/libray/ksl/kate007.htm
[2] Griffin, To love the marigold: The politics of imagination, http//www.twinoaks.org/members-exmembers/members/center/griffin.htm
[3] Kearney, The wake of imagination: toward a postmodern culture, Minnepolis: University of Minnesota Press, 1988, hlm.1
[4] Ibid., hlm.14
[5] Ibid., hlm.15
[6] Austin, Time Line Assignment: The Intersection of Biography and History, http//www.uwgb.edu/Austin/course/rm/imagination
[7] Adams, Writing With Sociological Imagination: A Time Line Assignment for Introductory Sociology, Teaching Sociology, 1986, hlm.200-203
[8] Lih. Austin,…….
[9] Louay Safi, Reason, Authority, and The Text, http//home.att.net/`louaysafi/articles/editorials/reason.htm, winter 2001
[10] Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, Oxford University, 2000, hlm.89-90
[11] Esack, In Search of Progressive Islam Beyond 9/11 dalam Omid Safi (ed), Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism, Oneworld Publication, 2003, hlm.80
[12] Lih. Majid, Unveiling Traditions: Postcolonial Islam in a Polycentric World, Durham&London: Duke University Press, 2000, hlm. viii
[13] Hasan, To The Defense of Islamic Movement and The Pioneers of Islamic Renaissance, Maret 1999, http://www.iol.ie/~afifi/BICNews/Hamdan/hamdan22.htm
[14] Lih. Soroush, hlm.89
[15] ٍInayatullah, Islamic Civilization in Globalization: From Islamic Futures to Postwestren Civilization, http://www.metafuture.org/Articles/Islamic_civilization_in_globalization_published_version.htm
[16] Szimen, Globalization, dalam John Hawley (ed.), Encyclopedia of Postcolonial Studies, Westport, CT: Greenwood Press, 2001: 209-217
[17] Yew, Neocolonialism, Postcolonial and Transnational Theories, National University of Singapore. http://www.wsu.edu/~amerstu/tm/poco.html#TOP
[18] Riza, Islam dan Wacana Kritik: Apresiasi Kritis Poskolonial Islam, Jurnal Profetika, Vol.5 No.1 Januari 2003, hlm. 70
[19] Komunitas tersebut dapat dilacak di www.movementofimagination. org
[20] Lih. Boullata, Dekonstruksi Tradisi (terj), Yogyakarta: LkiS, 2001, hlm.165
[21] Lih. http://www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/casablanca/jouay1.html

LIBERASI ISLAM:Dialektika Identitas Islam dan Sejarah

Oleh : Fajar Riza Ul Haq *

“The Quran must be re-read and re-interpeted in today`s contex as the classical jurists read and interpreted it in their own context. No reformation possibel without such re-reading and re-interpreting the Quranic verses”
(Ashgar Ali Engineer, 2002).


Memasuki abad ke-20 fenomena modernitas merupakan akselerasi global. Gejala ini membawa dampak multidimensional dalam sendi-sendi kehidupan. Tidak terkecuali tradisi agama-agama. Respon yang mencuat ke permukaan, gejala modernitas dan globalisasi ini dsikapi secara ambivalen oleh kalangan agamawan. Isu demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penegakan HAM, egalitarianisme, perdamaian global, non-violence, emansifasi dan gender serta pemisahan otoritas agama dan kedaulatan negara menjadi bahan utama perdebatan di kalangan pemeluk agama-agama. Ambivalensi ini mengemuka seiring adanya struktur dan pola pandang yang berbeda dalam menyikapi relasi tradisi (teks/nash keagamaan) dan modernitas.1 Satu sisi ada sekelompok agamawan yang tanpa sungkan memetik dan menikmati “buah” modernitas diatas disertai proses kontektualisasi tradisi dalam masa kini, dan disisi lain muncul kelompok agamawan yang menghadirkan tradisi demi masa lalu dalam masa kini disertai resistensi terhadap segala bentuk produk modernitas Barat-sekular. Belakangan ini kelompok pertama banyak diidentifikasi sebagai gerakan modernis/liberal yang terlanjur (direkayasa) dihadapkan dengan kelompok kedua, revivalis/fundamentalis. Yang pasti, Islam tidak bisa luput dari gelombang pergumulan dengan isu-isu kontemporer tersebut.2

Dalam kerangka tantangan modernitas ini, Hasan Hanafi merintis jalan setapak oksidentalisme (al mustaghrab) sebagai counter discourse dan kritik terhadap orientalisme yang dirasa telah menghegemoni budaya dan state of mind umat Islam. Hanafi berupaya agar “the other” (Islam) berada pada posisi psikologis yang sama dengan “ego” (Barat).3

Muhammadiyah dan NU: Gerakan Pemikiran, Quo Vadis ?
Pergulatan pemikiran keislaman dalam wacana keindonesiaan sendiri memiliki irama cukup rancak. Ketegangan kreatif (creative tension) ini tidak jarang menimbulkan suhu yang memanas dalam percaturan isu-isu sosial keagamaan. Dikotomi Islam tradisionalis dan Islam modernis seperti yang disinyalir Deliar Noer (1985) merepresentasikan dua kutub pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada dekade 1940-an.4 Perkembangan sosio-politik dan wacana kebangsaan di tanah air, khususnya dasawarsa terakhir ini, menyeret konstruksi masyarakat muslim Indonesia diatas kedepan meja pertanggungjawaban sejarah. Karena konstruksi itu sedikit banyak berimbas pada pasang surutnya harmonisasi hubungan kedua paham keagamaan tersebut. NU yang mengidentifikasi diri sebagai cagar tradisi selalu diperhadapkan secara diametral dengan organisasi Islam modernis seperti Persis, al Irsyad dan Muhammadiyah. Namun pada aras sosio-politis nampaknya yang terakhir menjadi pasangan oposisi biner yang tepat bagi NU.5

Namun tarik ulur kedua organisasi diatas tidak banyak melahirkan dampak yang positif bagi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia kedepan. Bahkan pada tingkat tertentu menjadi faktor yang dapt mengikis kekebalan jaring-jaring sosio-kultural masyarakat sehingga menjadi rentan ketika dihadapkan dengan isu-isu politik daan kenegaraan. Kasus penggusuran K. H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kedua organisasi ini dalam menata hubungan kedepan. Refleksi kritis atas peran dan kiprah kedua organisasi Islam tersebut dalam wacana keindonesia memunculkan pandangan-pandangan rekonsiliatif, inklusiv dan akomodatif dalam menyikapi relasi tradisi dan modernitas. Perkembangan menggembirakan ini pada tingkat tertentu mulai memudarkan garis demarkasi Islam tradisionalis dan Islam modernis. Dan nampaknya dominasi isu-isu sosial keagamaan kedua gerakan Islam ini dalam pentas keislaman lndonesia (untuk sementara) tergeser oleh dua mainstream pemikiran keagamaan (baca: Islam) global; yaitu fundamentalisme Islam dan Islam liberal.6 Setidaknya pada tingkat isu-isu Islam kontemporer dalam konteks lokal maupun global.

Fundamentalisme Islam vis a vis Islam Liberal
Gejala modernitas yang menyeret umat manusia dalam dunia impian yang hampa dan penuh disorientasi serta tumbuh suburnya “masyarakat sekular” telah merangsang lahirnya fundamentalisme keagamaan. Bagi Karen Armrstrong, fundamentalisme adalah bentuk kesalehan yang militan yang muncul di semua kepercayaan atau agama besar di abad 20. Fenomena tersebut merepsresentasikan menyebarluasnya penolakan terhadap modernitas sekuler.7 Di seluruh dunia, orang ingin melihat hukum Tuhan terefleksikan dengan jelas dalam pemerintahan atau negara. Mereka khawatir masyarakat yang yang liberal dan sekuler akan menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Sehingga mereka ganti “menyerang’ dan menciptakan budaya tandingan (counter cultur).
Ketidakpuasan sebagian masyarakat Muslim Indonesia terhadap pemerintah dan ormas-ormas Islam formal yang ada dalam menyikapi masalah sosial keagamaan, khususnya masalah keumatan, memunculkan fundamentalisme Islam yang mewujud dalam harakah-harakah alternatif. Seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (Surakarta) dan Majelis Mujahidin Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak gerakan Islam alternatif di Indonensia. Penegakan syariat Islam, solidaritas Muslim Internasional, memerangi segala bentuk pemurtadan dan anti Barat menjadi bagian isu-isu penting dalam perjuangannya.
Di sisi lain berbanding berbalik, muncul gerakan Islam liberal yang tanpa ragu mengambil buah modernitas Barat seperti demokrasi, HAM, egalitarianisme dan emansifasi gender . Gerakan ini meletakan Islam dalam ranah historis yang tidak lepas dari intervensi manusia. Kritik dan kontekstualisasi doktrin-doktrin agama adalah mata tombak dari gerakan ini dalam membedah otentisitas Islam. Islam liberal komitmen terhadap perjuangan Islam yang toleran, ramah, anti kekerasan, demokratis, emansipatoris, humanitarianistik, egaliter dan pluralis. Charles Kurzman memdudukan wacana Islam liberal (liberal Islam) ini dalam akar tradisi intelektual Muslim8. Sehingga Islam liberal bukan saja lahir secara sah dari rahim tradisi intelektual Muslim klasik namun juga berhak hidup dan berkembang bersama tradisi keagamaan Muslim klasik lainnya9. Dalam hal ini fundamentalisme Islam.

Dalam bingkai mutual understanding dan tasammuh adalah urgen untuk memberi ruang publik pendapat (public sphere opinion) terhadap salah satu pihak, dalam kontek ini Islam liberal, untuk membeberkan hujjah-nya sehingga menjadi accountable di hadapan masyarakat banyak.

Islam Liberal, a Contradiction in Terms ?
Istilah liberal pada mulanya dipakai dalam dunia politik. Doktrin politik liberal mengajarkan bahwa kesepakatan demi kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunakan wacana rasional. Liberalitas politik mengasumsikan adanya komunitas yang majemuk, keanggotaan yang tidak permanen dan kepedulian terhadap penetapan kebaikan bersama.10 Haru biru perkembangan sosial mendorong istilah liberal untuk merambah wilayah-wilayah sosial budaya, termasuk agama. Untuk memahami adjective ataupun label liberal dalam wilayah sosial keagamaan harus dipahami dalam ruang waktu dan konteknya tersendiri. Konsekwensinya, ketika kita membicarakan liberalisme pada saat ini menjadi tidak mungkin kita memakai terminologi yang berlaku pada abad ke-19 ataupun dekade 50-an. Kita juga tidak bijak untuk memahami terms tersebut menurut aliran ekonomi ala Smith dan Keynes, ataupun konsep partai liberal bahkan konsep filsafat Sartre. Justru konsep tersebut harus dipahami sebagai suatu yang lahir dari proses perjalanan sejarah yang tumbuh menjadi fenomena dalam dunia pemikiran.11
Bagi Binder, liberalisme dalam konteks Islam (Timur Tengah) identik dengan wacana rasional, keragaman pendapat, toleransi, agama sebagai pemahaman dan meyakini bahwa al Quran tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan maka diperlukan interpretasi berdasarkan kata-kata, namun yang tidak terbatasi oleh kata-kata dan mencari apa yang sesungguhnya hendak diungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa.12 Menurut Aliya Harb, liberalisme tidak dapat dilihat sebagai kriteria dalam satu bangunan masyarakat tertentu, satu masyarakat tertentu, atau perkembangan budaya tertentu. Seperti halnya dalam masyarakat modern terdapat model struktur sebagaimana dalam masyarakat tradisional. Yang terpenting dalam liberalisme bukanlah dahsyatnya pencetusan beribu gagasan, melainkan bagaimana gagasan itu diungkapkan dengan tepat serta bagaimana ia diterapkan untuk menghasilkan sesuatu. Inilah perubahan terpenting dalam dunia pemikiran.13

Pada view point inilah penulis menarik hipotesis bahwa substansi liberasi Islam adalah liberalisasi pemikiran yang memadukan secara seimbang dimensi pemikiran dan metodologi. Dengan begitu adjective liberal dalam kata Islam bukan suatu kerancuan karena pertama, secara akademik ekspresi kebebasan memahami serta berpendapatnya ditopang oleh sebuah bangunan metodologi yang mapan. Kedua, secara sosiologis itu menjadi ekspresi natural dari pergulatan Islam dengan modernitas;isu-isu kontemporer. Sehingga liberal Islam bukan semata-mata a contradicton in terms.

Jaringan Transmisi Intelektual Islam Liberal di Indonesia
Senyatanya kita tidak bisa melahirkan sebuah pemikiran dalam ruang hampa yang imune dari segala bentuk kontaminasi dan intervensi kemanusiaan namun justru sebuah pemikiran lahir dibidani oleh intervensi kesejarahan manusia dan dibentuk oleh ragam corak kepentingan sosial kultural komunitas tertentu. Setumpuk ajektivitas Islam mulai Islam tradisional dan Islam modernis, Islam neo-revivalis dan Islam neo-modernis, Islam radikal dan Islam sekuler sampai Islam Fundamentalis dan Islam liberal merupakan rujukan faktual preposisi diatas. Hemat penulis, ajektivitas aliran pemikiran tertentu terbangun oleh dua hal, yaitu karaktristik artikulasi gerakan pemikiran tersebut dan penilaian subjektif dari komunitas masyarakat yang tidak jarang memiliki keterkaitan kepentingan dengan gerakan pemikiran diatas.

Dalam khazanah sejarah pemikiran Islam, liberasi Islam bukanlah anak haram ataupun lahir prematur dari rahim wacana pergulatan pemikiran keislaman dalam realitas kesejarahan. Sebaliknya, liberasi Islam tumbuh kembang dalam tempaan historitas yang establish. Secara historis afinitas the moral values and spirit resources14 gerakan ini dapat kita temukan benih dan akarnya dalam tradisi jurisprudensi hukum Islam.15 Penulis tidak bermaksud memaparkan sejarah dan jaringan intelektual (isnad) Islam liberal secara deskriptif, dari Timur Tengah hingga nusantara16. Namun penulis akan menekankan asfek heritage of the moral values and spirit resources dalam tradisi liberasi Islam ini.

Geneologi gerakan liberasi Islam ini dapat dilacak pada gerakan pembaharuan Islam. Mulai Rifa`ah at Tahtawi, M. Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd. Raziq, sampai Hasan Hanafi, M. Arkoun dan Fazlur Rahman adalah avent gard gerakan pembaharuan/liberasi Islam ini. Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge memetakan sejarah pembaharuan Islam dalam rentang dua abad mutaakhir dalam empat klasifikasi. Pertama, gerakan revivalis diakhir abad ke-18 dan awal abd ke-19 dalam representasi gerakan Sanusiyah di Afrika utara. Kedua, gerakan modernis. Di Timur Tengah gerakan ini dimotori Jalaludin Al Afghani dan M. Abduh, dan di India di motori Ahmad Khan. Ketiga, neo-revivalis, gerakan relatif modern ini diimami Maududi dengan Jama`ah Islam-nya di Pakistan. Keempat, neo-modernisme dimana Rahman dikelompokan kedalamnya. Gerakan ini membangun sintesa progresifitas modernitas dengan tradisi melalui ijtihad.

Spirit dan moral ijtihad aktivitas pembaharuan pemikiran Islam di tanah air yang mulai berdenyut pada dekade 70-an menyiratkan adanya relasi ideologis-historis dengan gerakan neo-modernisme Islam. Bahkan secara personal relasi geneologi intelektual ini diwakili oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi`i Ma`arif dan Amien Rais. Karena ketiga pemuka intelektuktal ini pernah merasakan bimbingan langsung Rahman di Chicago University. Pendekatan khas gerakan ini memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Substansi gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia merupakan gerakan intelektual yang progresif dan pluralistik. Dengan menggunakan paradigma Fazlur Rahman, gerakan ini mempriortaskan perhatian pada pembentukan metodologi yang univesal dan permanen terhadap tafsir al Quran; tafsir rasional yang peka terhadap kontek historitas dan budaya.17

Adalah bukan suatu keraguan lagi, gerakan pemikiran ini pada akhirnya menginspirasi munculnya gerakan Islam liberal secara kolektif.18 Sehingga Islam liberal di Indoensia dewasa ini merupakan metaformosa atau transformasi dari gerakan neo-modernisme Islam. Seperti sudah dikemukakan diatas, liberalisasi harus ditopang oleh metodologi yang mapan. Tanpa itu liberalisasi pemikiran akan dianggap sebagai racauan di siang bolong. Dalam perspektif filsafat ilmu, metodologi ataupun kerangka teoritik merupakan unsur terpenting dalam wilayah kerja keilmuan/ijtihad karena basis rasionalitas keilmuan terletak di situ. Gejala sosial kontemporer yang makin sulit diterka dan pesatnya perkembangan.social saences dan social humanities memaksa dirasah islamiyah / islamic studies untuk mengkaji ulang bangunan epistemologi keilmuannya sekaligus membangun metodologi pemikiran Islam yang integrated19. Pada tahap inilah kalangan intelektual Islam harus melakukan refleksi-kritis terhadap bangunan metodologi yang ada. Kreativitas dan kreasi para pemikir Islam kontemporer, seperti Arkoun yang menyajikan Kritik Nalar Islam, Al Jabiri yang meretas kebangkitan Islam Arab melalui Kritik Nalar Arab, Rahman dan Farid Esack yang menawarkan hermeneutika Al Quran dan Amin Abdullah yang meramu At Ta`wiil Al Ilmi sebagai paradigma baru merupakan aktualisasi jihad intelektual untuk membangun metodologi pemikiran Islam yang acceptable, compatible dan integrated.20
Islam Liberal, Ditengah Badai Kritik
Beberapa media massa melansir secara besar-besaran bahkan secara intens sebuah komunitas Islam yang mengusung wacana liberasi Islam. Mereka di tuding berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Kampanye kelompok ini baik melalui media cetak maupun elektronik (internet) yang pada isu-isu tertentu berseberangan dengan kelompok Islam tertentu cukup membuat gerah. Akibatnya, intelektual-intelektual yang mengusung wacana liberasi Islam menjadi sasaran tembak berbagai kritik pedas dari kelompok terakhir ini. Mereka divonis sebagai dari agen-agen imperialis-zionis yang menusuk jantung umat Islam dan berkonspirasi untuk meruntuhkn aqidah Islam.
Pergumulan kedua mainstream wacana Islam diatas dalam ruang keberagamaan (baca: fastabiqul khairat/excel each other in good deeds) adalah suatu yang sah. Bahkan ini bisa menjadi modalitas sosial dalam membangun masyarakat otonom. Ini terkait dengan perbedaan mendasar dari kedua mainstream ini. Keduanya bertemu pada keyakinan akan otentisitas dan sakralitas makna pewahyuan. Faktor manusiawilah, dalam hal ini pemahaman dan interpretasi serta kondisi sosial-politik-ekonomi yang beragam, yang memaksa mereka mengambil jalan dan sikap yang berbeda. Bijak penulis disamping sense of mutual understanding dan rasa tasammuh yang harus ditanamkan dalam benak kita semua, tidak kalah penting adanya pengakuan terhadap prinsip agree in disagreement (meminjam bahasa Mukti Ali). Anak-anak sungai yang berasal dari pancaran mata air kaki gunungpun akan sampai jua bermuara di laut.


* Penulis Ketua Kader DPD IMM Jawa tengah periode 2002-2004 dan Staf Pusat Studi Budaya & Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta
1 Tarik ulur tradisi dan modernitas selayaknya ditempatkan dalam relasi simbiotik;menempatkan tradisi dalam perspektif modernitas dan modernitas dalam perspektif tradisi, lih. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Mizan, 1999.
2 Lih. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (terj), Jakarta: Paramadina, 2001; Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan (The Battle for God), Bandung: Mizan, Jakarta: Serambi, 2001; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (terj), Jakarta: Paramadina, 2000; Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.
3 Lih. Hasan Hanafi, Oksidentalisme : Sebuah Pengantar (al mustaghrab), Jakarta:Paramadina, 2000; untuk elaborasi kritik struktur dominasi-subordinasi lih. Leela Gandhi, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Qalam, 2001.
4 Lih. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985. Dewasa ini konstruksi ini mendapat gugatan dan kritikan karena dirasa kurang relevan dengan perkembangan realitas kontemporer, lih. Nur Kholik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar:Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002. Hemat penulis, buku ini juga bias dan sarat dengan nuansa “kolonial” (poscolonial theory perspectif) yang merupakan tujuan awal penulisan buku tersebut.
5 Rekaman seputar ini di era Orde Baru dan Orde Reformasi (masa transisi) dapat dilihat dalam Robert Hefner, Civil Islam (terj), Jakarta: ISAI dan Ford Foundation, 2001.
6 Trauma global atas tragedi World Trade Center 11 September 2001 yang dikaitkan dengan kelompok militan agama tertentu ikut menyulut friksi-friksi diantara kedua mainstream baru gerakan keagamaan tersebut.
7 http//www. info@mizan.com; Karen Armstrong, 2001.
8 Lih. Charles Kurzman, 2001. Sikap Kurzman ini berbeda dengan Binder yang menilai Islam dalam frame liberalisme Barat kaitannya dengan liberalisme politik, lih. Leonard Binder, Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies, Chicago:University of Chicago Press, 1988.
9 Ini penting ditegaskan ditengah derasnya gugatan bahkan intimidasi psikis terhadap Islam liberal, fenomena ini dapat dibaca dalam pemberitaan beberapa media seperti Tabloid Sabili, Majalah Media Dakwah, Tabloid Laskar Jihad dan Majalah Bunyan.
10 Lih. Leonard Binder, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, pp. 4.
11 Lih. Aliya Harb, Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog (terj), Yogyakarta:IRSiSoD, 2001,pp. 188.
12 Lih. op. cit. Pp.6. Pada konteks wahyu apa yang diungkapkan Binder paralel dengan pemikiran beberapa intelektual muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman dan Arkoun.
13 Lih. Aliya Harb, 2001, pp. 199.
14 Istilah ini dipinjam dari Mahmoud M. Ayoub, lih. Religious Pluralism and the Challenges of Inclusivism, Exclusivisma and Gobalism : An Islamic Perspektif dalam Commitment of Faiths: Identity, Plurality and Gender, T.H. Sumartana dkk (ed), Yogyakarta: Dian/Interpidei, 2002, pp.153.
15 Lih. Ashgar Ali Engineer, Islam, Women and Gender Justice dalam T.H. Sumartana dkk (ed), 2002, pp. 224-234.
16 Untuk mengetahui detail isnad liberasi Islam dapat diikuti dalam Leonard Binder, 1988; David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme, Yogyakarta: LKiS, 1997; Albert Hourani, Arabic Thought in Liberal Age 1798-1939, London:Oxford University Press, 1962; juga karya Charles Kurzman dan Greg Barton (sda).
17 Untuk lebih lengkap dapat ditelusuri dalam Greg Barton, 2000.
18 Kalangan muda Islam yang segaris dengan spirit liberasi Islam ini membangun jaringan dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), lih. Sukidi, Metodologi Islam Liberal, Harian Republika, 6 April 2002.
19 Lebih rinci, lih. Amin Abdullah, Al Ta`wil Al Ilmu : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, dalam Jurnal Media Inovasi, No. 2 Th. XI/2002.
20 Lih. Arkoun, Al Fikr al Islami: Naqd wa Ijtihad, Beirut: Markaz al Inha al Qaumi, 1990; Muhammad Al Jabiri, Bunyah al Aql al Araby, Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, 1993.