Thursday, July 12, 2007

PERADABAN ZAKAT DAN AGENDA PENCERDASAN UMAT[1]

Menyalurkan zakat bukan sebatas berderma - yang sebagian besar masih bersifat konsumtif - tetapi harus betul-betul menyentuh dimensi pemberdayaan masyarakat sehingga mereka sadar serta mampu memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara bahkan manusia pada umumnya. Gerakan zakat, infak, dan sedekah yang sempat dicanangkan pemerintah pada bulan Oktober 2005 dirasa masih belum optimal karena sudut pandang terhadap ketiga elemennya tidak berkolerasi langsung dengan konteks struktural masyarakat. Poinnya adalah analisis gerakan organisasi-organisasi pengelola zakat harus berdasarkan pada analisis struktural; kesenjangan ekonomi, kemiskinan struktural, keterbelakangan pendidikan, dan memperjuangkan akses-akses publik untuk masyarakat miskin.

Mengkorelasikan zakat dengan permasalahan struktural tentunya bukan hal yang baru. Penulis buku mengingatkan bahwa praktek pengelolaan zakat pernah menorehkan catatan emas pada saat pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Indikator keberhasilan tersebut adalah “tidak ada lagi yang mau menerima zakat, semua rakyat merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat), bukan lagi mustahik (penerima zakat)” (draf, 7). Zakat dianggap telah berhasil mengentaskan kemiskinan pada masa itu. Tentunya keberhasilan Khalifah Umar menarik angka kemiskinan ke angka 0 tidak cukup dijelaskan dengan kaca mata tingkat kesalehan individu belaka namun juga harus dilihat secara makro serta konteks sosial-politik saat itu.

Pada dasarnya, masalah kemiskinan selalu berhimpitan dengan minimnya bahkan terkuncinya akses/kesempatan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya ekonomi. Yang harus dipentingkan dalam proses ini adalah mendongkrak kualitas ekonomi masyarakat miskin – yang sebagian besar umat Islam - dan akses mereka terhadap pendidikan. Dalam pidato iftitah di Tanwir Muhammadiyah tahun 2003, di Makasar, saya mengingatkan bahwa pilar untuk membangun bangsa yang sudah rapuh-renta karena digerogoti penyakit korupsi adalah perbaikan mentalitas dan sistem pendidikan kita yang kacau balau. Tanpa mengarusutamakan peningkatan kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat miskin dalam program-program aksi umat Islam, cita-cita untuk membangun peradaban zakat masih akan merupakan gumpalan asap gagasan.

Oleh karenanya, sebagai instrumen untuk membangun tatanan kemanusiaan-berkeadilan, reformulasi pengelolaan zakat tidak bisa tidak menyangkut permasalahan kemanusiaan yang bersifat struktural, utamanya kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kebodohan, dan pengangguran. Muhammad Akram Khan dalam An Introduction to Islamic Economics (1994) memasukkan zakat sebagai elemen penting dalam gerakan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Dalam konteks relasi masyarakat dan negara, institusi zakat bisa dianggap sebagai pranata politik kewargaan sehingga berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar warga negara, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, serta jaminan sosial.

Perkembangan Forum Organisasi Zakat (FOZ) dan Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT), seperti disinggung oleh penulis buku, merupakan harapan sekaligus modal penting untuk membangun komitmen kolektif di antara organisasi pengelola zakat pada skala luas. Jika ini terus bergulir dan diorganisir secara maksimal, zakat akan menjadi kekuatan tersendiri dalam kancah perekonomian global. Kesempatan ini sangat terbuka karena élan vital zakat adalah kepedulian terhadap domain-domain sosial-budaya marginal dan pemihakan terhadap distribusi keadilan.

Akhirnya, proyek peradaban zakat yang hendak ditawarkan tidak bisa hanya bertopang pada ketiadaan “kelas mustahik” dalam tubuh umat Islam namun juga harus disertai oleh political will dari setiap individu untuk mendistribusikan akses-akses terhadap sumber daya dan produksi yang dimilikinya secara tepat dan adil. Dengan begitu, zakat menjadi menjadi ujung tombak dalam agenda pengentasan kemiskinan dan pencerdasan umat. Di sinilah urgensi kehadiran lembaga-lembaga zakat. Semoga kehadiran buku ini mampu merangsang umat Islam secara umum untuk terus berjihad melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan ekonomi melalui pengorganisasian dan mobilisasi gerakan zakat. Wallahu`alam.




[1] Ditulis bersama Prof. Ahmad Syafii Maarif sebagai Pengantar dalam Didin Hafidhuddin dan Ahmad Juwaini, “Membangun Peradaban Zakat”, 2007.

HAMKA, SYAFII MAARIF, DAN PROBLEM PLURALISME[1]

Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, sosok Buya Hamka merupakan pribadi besar yang lahir dari tanah Minang dan eksistensinya cukup fenomenal dalam peta pemikiran Islam Indonesia. Secara pribadi, perkenalan Syafii Maarif dengan Hamka berawal ketika ia menuntut ilmu di Madrasah Mu`allimien Muhammadiyah di Lintau, Sumatera, dan di Yogyakarta (1950-1956). Ditinjau dari sejarah perkembangan Muhammadiyah, Hamka adalah salah seorang pelopor gerakan ini di bumi Minangkabau disamping Dr. H. Abdulkarim Amrullah, Jusuf Abdullah, dan A.R. Sutan Mansur.

Sehingga, tidak mengherankan jika mantan Ketua PP Muhammadiyah ini sangat mengagumi kepribadian Buya Hamka seperti tercermin dari otobiografinya. “…siapapun yang mengaku menjadi pemimpin Muhammadiyah di Ranah Minang tetapi tidak kenal dengan pribadi-pribadi besar tersebut adalah sebuah malapetaka sejarah. Meraka akan kehilangan pedoman dan acuan dalam bermuhammadiyah” (2006: 12). Suatu ketika seorang kader Muhammadiyah yang sedang menyelesaikan studi program master di Maroko mewawancarai Syafii mengenai pengaruh Hamka terhadap pembentukan kepribadiannya. Dalam wawancara tertulis itu, ia menjawab bahwa “pada usia remaja, Hamka mempengaruhi cara pikir saya mungkin melebihi yang lain, sampai suatu saat saya membaca Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, disamping pemikir-pemikir Barat yang juga saya geluti” (15 Juli 2001).

Dalam spektrum yang lebih luas, Hamka adalah pemikir modern Muslim di abad ke-20 yang sangat produktif melahirkan karya tulis, setidaknya tercatat sekitar 100 buah. John L. Esposito dalam Oxford History of Islam (2000) mensejajarkan Hamka dengan Muhammad Iqbal, Sayyid Akhmad Khan dan Muhammad Asad. Pada saat ia membandingkan Hamka dengan pemikir-pemikir modern Muslim lainnya, Syafii menilai Hamka kurang bersikap kritikal terhadap khazanah pemikiran klasik dan abad pertengahan, padahal ini penting untuk merekonstruksi masa depan Islam (2006: 226).

Meskipun begitu, seperti yang diungkapkannya dalam Resonansi “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” (21/11/2006), penafsiran Hamka dalam konteks relasi antar agama menyuarakan pandangan maju dan relevan dengan konteks sosiologis masyarakat Indonesia. Inilah alasan mengapa Buya Syafii mengajukan penafsiran Hamka ayat 62 Al-Baqarah dan 69 Al-Maidah menyikapi eskalasi konflik dan kekerasan yang melibatkan sentimen agama. Menurut Syafii, pendapat Hamka yang menolak pembatalan (mansukh) ayat 62 Al-Baqarah dan 69 Al-Maidah oleh ayat 85 Al- Imran mencerminkan sikapnya agar umat manusia dapat hidup berdampingan secara toleran, menghormati setiap perbedaan, menjaga keyakinan masing-masing, dan menjungjung tinggi kebebasan. Disini, Syafii tidak hanya membaca tekstualitas/permukaan penafsiran Hamka namun juga membaca ulang secara kritis sehingga melahirkan pembacaan yang kreatif dan dinamis.

Problem (Otoritas) Pembaca

Tulisan “Hamka dan Pluralisme Agama” oleh Adian Husaini dan “Menyelami Penafsiran Buya Hamka” oleh Syamsul Hidayat (Republika, 1/12/006), menanggapi Resonansi tersebut sebagai bentuk pengakaburan terhadap penafsiran Hamka terkait ayat 62 Al-Baqarah dan ayat 69 Al-Maidah. Menurut kedua penulis, penafsiran Hamka tidak sehaluan dengan paham pluralisme agama. Hal ini didasarkan pada pembacaan keduanya terhadap maksud kandungan kedua ayat tersebut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa pandangan Hamka sangat jauh berbeda dengan paham pluralisme agama. Lalu, mengapa perbedaan ini bisa muncul padahal berangkat dari rujukan yang sama? Mungkin kalau Hamka masih hidup akan lain ceritanya.

Bagi kalangan post strukturalisme, pengarang sudah tidak lagi memiliki otoritas terhadap karyanya ketika itu sudah menjadi teks terbuka dan dibaca orang lain. “Pengarang sudah mati”, kata Roland Barthes. Pada saat itu, makna dan tafsir teks berada sepenuhnya di tangan para pembaca. Otoritas masing-masing pembaca terhadap teks/tafsir tidak absolut sehingga makna maupun pemahaman yang diproduksinya pun bersifat relatif dan partikular. Salah satu cara untuk mendekatkan makna teks seperti yang dimaksudkan pengarang adalah masuk ke dalam jantung kesadaran intelektualnya sembari mendalami sisi-sisi personalitasnya secara komprehensif. Pada konteks ini, siapapun pembaca tidak bisa memposisikan diri sebagai penerjemah otentik, terlebih penyambung lidah, karena seperti dikatakan Clifford Geerzt bahwa realitas (teks/tafsir) pada kenyataannya perwujudan jaring-jaring makna dari proses interpretasi.

Pada sisi lain, pendekatan munasabah al ayat yang diterapkan kedua penulis tersebut mengindikasikan pemahaman yang bercorak tekstual-literal yang tidak memperhitungkan analisis historis, sosiologis, serta psikologis. Implikasinya adalah pemahaman terhadap Al Quran maupun teks tafsir bisa bersifat dangkal dan mudah terjebak ke dalam sikap sosial yang apologetik dan eksklusif (Abdullah, 2005: 11). Dengan menggunakan pendekatan ini, pemahaman yang dihasilkan cenderung tidak memberi ruang toleransi, apresiasi, dan pengakuan terhadap pihak lain, utamanya pemeluk agama lain. Tentunya hal ini dapat menyulut sikap-sikap intoleran dan fanatisme buta yang pada akhirnya akan membuat rapuh kohesivitas sosial dan rentan konflik.

Jaminan Hak Hidup

Hamka mungkin tidak pernah menyinggung permasalahan pluralisme agama secara literal namun dengan latarbelakang sosial Minangkabaunya yang egaliter dan demoktarik serta penguasaannya terhadap filsafat dan etika membuat setiap percikan gagasannya terasa kuat menyuarakan nilai-nilai moral, toleransi, dan menghormati perbedaan. Bukankah ini nilai-nilai esensial dari konsep – yang disebut Adian dan Syamsul - pluralisme agama? Jika kita memakai kerangka teori yang ada, maka sesungguhnya toleransi dan menghormati perbedaan keyakinan sudah termasuk dalam kategori ini (Eck, 2002). Terlebih, Hamka menerjemahkan Islam sebagai sistem etik dan moralitas moderen (Howell, 2002).

Namun sayang, kedua penulis mengidentikkan konsep pluralisme agama dengan premis tunggal bahwa semua agama sama. Jelas ini merupakan penyederhanaan dan hanya menampilkan satu ranah saja dari wacana pluralisme agama. Misalnya, Paul Knitter dalam One Earth Many Religions (1995) memposisikan pluralisme agama sebagai panggilan universal kepada umat manusia untuk melakukan dialog sosial (praksis) sehingga manusia dari berbagai agama dan kepercayaan dapat bekerjasama menghadapi tanggungjawab global kemanusiaan, seperti kemiskinan, diskriminasi, penindasan, konflik antar agama, terorisme, ketidakadilan. Jadi, konsep pluralisme agama tidak hanya dan semata-mata menyamakan satu agama dengan yang lain. Celakanya, pemahaman yang sepotong-potong inilah yang ditelan mentah masyarakat awam sehingga menimbulkan kerawanan konflik berbau SARA.

Hemat saya, yang lebih mendasar dalam permasalahan ini, khususnya terkait pertanyaan SMS seorang jenderal polisi kepada Buya Syafii, adalah komitmen Islam menjamin hak hidup bagi setiap anak adam yang terlahir, apapun latarbelakang sosial-agamanya. Penjaminan terhadap hak hidup berkonsekwensi terhadap penerimaan untuk hidup bersama secara toleran dan damai. Hal inilah yang dicontohkan sejarah abad pertengahan sebagaimana dicatat S.D. Goitein (1971) bahwa kaum Yahudi dan Kristen telah hidup bersama tanpa kebencian dengan kaum Muslim dalam satu kesatuan negara. Dengan demikian, nilai dasar pluralisme dalam pandangan Islam bisa dimaknai sebagai adanya jaminan hak hidup dan hak menentukan pilihan secara merdeka, egaliter, toleran, dan adil. Semoga kita bisa belajar. Wassalam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika

MUHAMMADIYAH DAN FORUM PERDAMAIAN DUNIA[1]

Prakarsa Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakann Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum), 14-16 Agustus 2006, di Jakarta, merupakan wujud peran aktif organisasi ini untuk memperjuangkan jejaring perdamaian ditengah ketidakadilan global yang mengangkangi martabat kemanusiaan. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 2005, warga Muhammadiyah mengamanatkan agar persyarikatan ini memainkan peran dalam menyikapi maupun menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan global (Berita Resmi Muhammadiyah, 2005: 182). Hal ini merupakan pengejawantahan komitmen kebangsaan dan kemanusiaan universal Muhammadiyah untuk membumikan doktrin rahmatan lil `alamin.

Penggunaan istilah “perdamaian” dalam Forum Perdamaian Dunia tersebut mencerminkan posisi, pandangan, serta sikap politik stakeholders Forum Perdamaian Dunia terhadap isu-isu kemanusiaan global, utamanya ketidakadilan global. Forum ini adalah arena dialog terbuka dengan melibatkan peserta dari beragam kalangan, yakni para pemimpin politik dunia, pemegang kebijakan, pemimpin agama, intelektual, dan aktivis. Dengan ungkapan lain, Forum Perdamain Dunia merupakan bentuk penamaan (naming) terhadap sebuah gagasan bersama untuk menemukan formulasi-formulasi kerjasama global di antara jejaring sosial dan aktor-aktor politik. Perdamaian merupakan proses politik, negosiasi kepentingan, bahkan pertarungan kekuasaan sehingga harus menyertakan semua stakeholders karena usaha-usaha mewujudkan perdamaian selalu membutuhkan perjuangan politik.

Agresi Israel ke Libanon akhir-akhir ini, yang tidak mengindahkan kecaman-kecaman dunia internasional, jelas merupakan beban politik tambahan bagi Forum Perdamaian Dunia. Daya imperatif forum ini semakin bertambah kuat karena digawangi langsung oleh organisasi keagamaan mainstream di negara mayoritas berpenduduk Muslim. Tindakan Israel merupakan bentuk vulgar ketiadakadilan global, satu kelas dengan terorisme. Membicarakan perdamaian dengan Israel bisa dikatakan merupakan hal mustahil, khususnya jika terkait dengan konflik Palestina. Adagium “peace for you, land for me” merupakan salah satu kredo zionisme yang menghalalkan tindakan-tindakan tidak manusiawi bahkan brutal sekalipun untuk merebut hak-hak Palestina. Tentunya masalah ini tidak akan luput dari perhatian Forum Perdamaian Dunia ini.

Satu Takdir, Satu Tanggungjawab

Forum yang akan dihadiri oleh puluhan aktivis perdamaian dari berbagai belahan dunia ini, dari Afrika hingga Amerika, mengangkat isu-isu kemanusiaan dan tantangannya, masa depan manusia di abab ke 21, serta format kerjasama global. Melalui tema “one destiny, one humanity, and one responsibility”, Muhammadiyah berusaha memfasilitasi lahirnya konsensus bersama untuk menggarap program-program aksi dalam rangka menyelamatkan nasib perdamaian yang kian tercabik. Pesan universal yang ingin disampaikan oleh pertemuan ini adalah kelompok-kelompok agama tidak bisa berjuang tanpa kehadiran dan kerjasama dari berbagai pihak dalam membumikan surga di bumi.

Eksplorasi kesadaran “satu takdir” di antara umat manusia secara politik menegasikan pertentangan Islam dan Barat seperti yang selama ini terbangun. Ketidakpercayaan dan kebencian yang terus tertanam di kedua belah pihak akan sangat merugikan masa depan keadilan dan manusia itu sendiri. Kemunculan teologi maut – meminjam istilah Buya Syafii – yang dibakar oleh semangat kebencian berkorelasi dengan ketidakpercayaan Barat terhadap Islam. Buya Syafii sering mengingatkan bahwa relasi Islam dan Barat selalu terjebak dalam isu-isu pinggiran yang justru melanggengkan kebencian di antara kedua pihak. Tanpa adanya komitmen untuk belajar mempercayai serta mengikis kebencian yang sudah terlanjur mengkarat, ketidakadilan dan kekerasan masih akan selalu menjadi tembong penghalang perdamaian global.

Hal lain yang penting dicatat dalam kegiatan ini adalah keyakinan bahwa memperjuangkan perdamaian sangat bergantung kepada komitmen bersama untuk toleran terhadap perbedaan sekaligus bekerja sama untuk agenda-agenda kemanusiaan seperti pengentasan kemiskinan, kesenjangan dan eksploitasi ekonomi, penegakkan HAM, dan perang terhadap terorisme. Menurut Hans Kung, masa depan manusia dan agama bergantung pada kemampuan agama itu sendiri untuk menjadi sumber kebebasan, mendorong sikap saling memahami, dan memiliki komitmen terhadap rekonsiliasi (2002: 203). Dan rekonsiliasi merupakan jembatan untuk meretas kerjasama dalam jejaring global.

Untuk menggapai rekonsialiasi dan kerjasama global, terlebih dulu harus tertanam dalam kesadaran beragama kita bahwa semua ras manusia, baik yang beragama maupun ateis, terikat oleh takdir yang sama, yaitu hidup di planet yang sama dan sedang menghadapi ketidakadilan global sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan relasional manusia yang adil, egaliter, dan beradab. Pada ranah inilah, diperlukan adanya kesadaran kolektif dan kohesivitas program aksi antar pihak di tengah pluralisme agama, budaya, dan bangsa.

Oleh karena itu, Forum Perdamaian Dunia dibangun atas dasar komitmen untuk berbagi nilai (shared values) dan berbagi pengalaman antar stakeholders. Proses pertukaran pada ranah wacana dan praksis gerakan diharapkan mendorong lahirnya norma-norma universal yang dalam istilah lain dikenal sebagai etika global. Dengan landasan ini, kerjasama atas dasar tanggungjawab bersama merupakan aliansi nyata yang bersifat global melawan ketidakadilan. Bekerja bersama dalam kerangka agenda-agenda kemanusiaan merupakan bentuk praksis dari sebuah dialog yang membebaskan. Nampaknya hal ini merupakan salah satu target utama dari kegiatan yang melibatkan peserta dari 29 negara ini.

Dalam pandangan Farid Esack, dialog yang bersifat praksis harus menyentuh aspek keberpihakan dan keadilan politik-ekonomi yang selama ini kurang mendapat tempat dalam proses-proses dialog antar agama. Mengedepankan peran agama dalam menghadapi ketidakadilan mengandaikan adanya kesadaran dan tindakan politik dari pemeluknya seperti yang diingatkan Esack. Dengan demikian, pencarian titik temu (common ground), identifikasi musuh bersama, dan rumusan program aksi bersama berpijak pada konteks struktural umat manusia, baik pada tingkat lokal maupun global, seperti keterbelakangan, ketidakadilan politik, kemiskinan, pengangguran, dan penegakkan HAM.

Bagi Muhammadiyah sendiri, menjalankan dakwah-kemanusiaan atas dasar prinsip tanggungjawab bersama untuk pencerahan peradaban sudah merupakan platform gerakannya. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana elite Muhammadiyah menjaga konsistensi dan sikap kritisnya dalam menyuarakan ketidakadilan, baik yang bersifat kultural maupun struktural. Hemat penulis, yang mendasar dari proses ini adalah adanya kesadaran untuk merekonstruksi imajinasi “musuh” dan “kita” dalam ideologi keagamaan karena ini sangat terkait dengan sosiologi dakwah umat Islam pada umumnya. Muhammadiyah dan juga organisasi keagamaan sejenisnya dituntut untuk mampu menjawabnya ditengah kompleksitas permasalahan kemanusiaan dewasa ini, khususnya meredefinisikan serta memetakan problem mendasar dakwah rahmatan lil `alamin. Wallahu`alam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika

KEMISKINAN, NEGARA, DAN PENDIDIKAN AGAMA[1]

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non Blok (GNB) ke-14 di Havana, Kuba, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa masa depan demokrasi dan perdamaian sedang terancam oleh kemiskinan. Salah satu formula yang ditawarkan untuk mengantisipasi ancaman tersebut adalah dengan masing-masing negara melaksanakan kewajibannya serta menjalin kerja-kerja kemitraan antar negara. Pernyataan Kepala Negara ini menarik untuk dicermati, khususnya dalam konteks Indonesia, mengingat polemik seputar masalah kemiskinan sempat mencuatkan tajam pasca pidato kenegaraan Presiden SBY di Dewan Perwakilan Rakyat, 16 Agustus 2006 dan Dewan Perwakilan Daerah, 18 Agustus 2006. Pada kesempatan yang hampir bersamaan, puluhan lembaga non-pemerintah (LSM/NGOs) Internasional berkumpul di Batam untuk menandingi pertemuan tahunan IMF dan Word Bank di Singapura. Mereka membahas berbagai permasalahan global yang terus menghantui negara-negara berkembang, utamanya isu kemiskinan dan penghapusan hutang.

Realitas kemiskinan telah menjadi tanggungjawab global karena berkaitan dengan harapan umat manusia yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan. Pernyataan perang terhadap kemiskinan sebagaimana dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) mewakili satu optimisme bahwa lingkaran kemiskinan bisa dientaskan dengan kehadiran komitmen dan kerja bersama. Bahkan jauh-jauh hari Piagam Hak-hak Asasi Manusia 1948 telah mengumandangkan hak dasar manusia untuk hidup dan hak bebas, termasuk bebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketakutan. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan merupakan tanggungjawab konstitusional negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945.

Pesan mendasar dari amanat konstitusi ini adalah bahwa masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesejahteraan merupakan tanggungjawab negara. Kemanusiaan tidak hanya menjadi tanggungjawab sosial masyarakat namun justru tanggungjawab struktural negara. Secara substansial, realitas kemiskinan menandai ketidakmampuan individu untuk hidup secara manusiawi. Namun faktanya, kemiskinan sudah mendarah daging bahkan adalah realitas itu sendiri di masyarakat Indonesia. Kemiskinan lebih diyakini sebagai takdir teologis dan konsekwensi kultural daripada konstruksi struktural. Ini merupakan batu sandungan paradigmatik di tengah gencarnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan.

Salah satu langkah strategis untuk mengubah cara pandang dan mental yang sudah terlanjur mengakar tersebut adalah memunculkan kesadaran serta sikap partisipatif bahwa kemiskinan adalah produk dari ketiadaan akses dan ketimpangan distribusi sosial. Dalam pandangan Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi berkebangsaan India, kemiskinan dan kelaparan sangat terkait erat dengan tidak berjalannya mekanisme demokrasi di negara-negara berkembang. Pada saat kemiskinan telah merasuki sistem nilai dan prilaku masyarakat, pendidikan merupakan media yang tepat untuk membongkar pandangan fatalistik sekaligus menanamkan kesadaran kritis bahwa kemiskinan merupakan permasalahan struktural yang menuntut tanggungjawab negara.

Pendidikan merupakan proses untuk menjadi manusia yang berlangsung dalam ruang, waktu, dan lingkungan tertentu sehingga pendidikan tidak bisa menafikan aspek budaya. Oleh karena itu, menurut H.A.R. Tilaar, pendidikan dan budaya merupakan satu kesatuan eksistensial. Lebih jauh ia menambahkan, pendidikan dalam konteks kebudayaan berhubungan dengan konsep kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan dalam hal ini adalah kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain. Berangkat dari sini, pendidikan dapat memiliki daya tawar untuk melakukan perubahan, termasuk merubah cara pandang masyarakat terhadap kemiskinan. Namun paradigma pendidikan, setidaknya tercermin dari muatan kurikulum, cenderung mengabaikan kemiskinan sebagai anomali struktural dan kultural. Yang terjadi, pendidikan tidak merefleksikan tuntutan sosiologis yang bersifat faktual dan empirik.

Pendidikan Agama Transformatif

Menilik pada paparan di atas, disamping sebagai realitas struktural, kemiskinan juga menyangkut sistem nilai dan pandangan hidup dominan dalam sebuah masyarakat. Disinilah peran pendidikan agama sangat penting untuk mendiseminasikan nilai-nilai keagamaan yang bersifat transformatif sehingga agama bisa menjadi spirit dalam gerakan-gerakan pengentasan kemiskinan. Agama harus diterjemahkan sebagai kekuatan sosial yang memperjuangkan hak-hak dasar kemanusian, baik yang bersifat universal maupun hak-hak kewargaan (citizen rights). Terlebih institusi agama seperti majelis taklim, pesantren, dan madrasah/sekolah memiliki kemampuan untuk memobilisasi masyarakat. Dengan demikian, agenda-agenda pengentasan kemiskinan tidak bisa semata mengandalkan asumsi bahwa kemiskinan merupakan tanggungjawab negara. Namun yang terpenting dalam proses ini adalah adanya kesadaran kritis dan aksi bersama dari masyarakat untuk menuntut negara menjalankan kewajibannya. Ini kunci agar negara mau serius menunaikan kewajibannya mensejahterakan warga negaranya.

Pada aras ini, pendidikan agama transformatif dituntut untuk memproduksi gagasan-gagasan keagamaan yang menyentuh permasalahan empirik-sosial. Nilai-nilai pendidikan agama hendaknya merepresentasikan kepekaan, solidaritas,dan tanggungjawab bersama yang bersumber dari sistem keagamaan. Islam memiliki sistem keagamaan yang kaya pengalaman berhadapan dengan permasalahan sosial kemanusian sejak awal kemunculannya di jazirah Arab. Menantu sekaligus sahabat Rasulullah, Ali Ibn Abu Thalib, sempat mengingatkan bahwa penyakit kemiskinan sangat rentan menjerumuskan si miskin ke dalam kekufuran. Makna kufur disini yang secara generik berarti “tertutup” ataupun “terhalang” mengimplikasikan adanya proses pengucilan, baik secara sosial dan politik, terhadap si miskin karena tidak adanya akses yang memadai sesuai kemampuan dan kebutuhannya.

Lebih jauh, kemiskinan merupakan anomali yang berpotensi menyeret individu maupun sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan ekstrem dan anarkis yang dipicu oleh rasa keterasingan, rasa marah, serta kebencian. Ketidakadilan selalu melahirkan korban dan perusakan. Oleh karenanya, jika semangat dasar kenabian Muhammad SAW adalah menyempurnakan sistem nilai dan prilaku hidup manusia maka ajaran-ajaran Islam harus menyuarakan pesan-pesan yang mendukung bahkan memperjuangkan proses-proses memanusiawikan manusia. Ini sejalan dengan satu kaidah ushul fikih yang mengatakan bahwa sesuatu yang menyebabkan kesempurnaan satu kewajiban maka sesuatu itu pun menjadi wajib sifatnya.

Dengan begitu, pendidikan agama transformatif bersifat imperatif untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial kemanusian Islam yang memperjuangkan keadilan bagi semua pencari keadilan. Dalam konteks kehidupan berbangsa, kontribusi Islam sebagai agama keadilan sangat diharapkan untuk membongkar berbagai ketidakadilan, seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan diskriminasi, pada ranah struktural dan kultural. Wallahu`alam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika

Gerakan Sub-altern; Wacana Tanding atas Hegemoni Negara dan Praksis-Liberatif Pemberdayaan Rakyat *

Panggung Sosial

Globalisasi adalah fenomena paradocs-chaotic kemanusiaan pasca zaman pencerahan. Simak saja pesimisme Michel Foucault, side dark efect dari modernisme telah mengubur kebebasan otonom manusia (the end of man)1. Lenyapnya penghargaan terhadap keragaman historisitas agama, ideologi, politik dan kreativitas lokal menandai denting lonceng kematian toleransi. Padahal prasyarat (prerequisite) tegaknya sebuah tatanan demokratis adalah tumbuh kembangnya semangat toleransi. Karena keduanya merupakan saudara kembar dari simbol kebebasan (freedom`s twin)2.

Alur cerita globalisasi terakhir dalam skenario panggung peradaban modern, telah membeberkan kepada kita semua bahwa klaim Amerika sebagai polisi dunia, Sang Wisnu Modernitas penabur dharma demokrasi dan figur Rama pencerahan penyemai perdamaian tidak lebih dari aksesoris mitos modernitas. Amerika (baca: Barat) berhasil meneguhkan wacana dominasinya diatas pluralitas suku, ras, bangsa, ideologi dan agama tanpa menyisakan ruang-ruang toleransi. Kini “mesianisme tuah” demokrasi; kebebasan berpikir dan berpendapat, pengakuan kesetaraan dan mutual understanding, serta toleransi berada dalam lubang jarum ujian menghadapi isu terorisme, mampukah negara-negara Barat menampilkan sikap toleran-santun dan demokratis dalam menangkar terorisme?. Prilaku Barat ini akan menimbulkan efek paralel terhadap masa depan transisi demokrasi di Indonesia khususnya, dan negera-negara berkembang pada umumnya3.

Kini, kawasan Asia menjadi ladang perburuan “hantu” terorisme itu. Secara bergiliran negara-negara di kawasan ini, mulai Filipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia (bahkan mungkin Thailand) menjadi sasaran tatapan liar publik Internasional. Dulu atas nama demokrasi maka sekarang atas nama terorisme, negara-negara Barat meranjah kawasan kedaulatan negara-negara Asia. Dengan begitu, terorisme menempati rangking pertama dalam urutan kepentingan (hegemoni) Barat terhadap dunia ketiga. Sadar atau tidak, isu terorisme menjadi media hegemoni baru dunia Barat.

Kebijakan-kebijakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam menyikapi berbagai gerakan protes dan oposisional terhadap pemerintah, utamanya dalam bentuk perlawanan militer daaan kekerasan, akan berkorelasi dengan kepentingan negara-negara Barat. Setidaknya ini menjadi program yang sifatnya bergaining posisition dalam kerangka konsensus bantuan/kerjasama. Adalah pemerintah Indonesia saat ini yang sulit keluar dari mata rantai asumsi kritisisme publik terhadap dominasi dan hegemoni Barat. Perlu disadari, bahwa pemerintah Indonesia dalam upaya memburu dalang terorisme di Kuta Bali, harus dihadapkan pada kuasa wacana terorisme yang telah dibangun Amerika dan negara-negara Barat pasca tragedi WTC, 12 September 2001. Meminjam tradisi Foucauldian, kuasa wacana terorisme dimaknai bahwa sterotipe, prejudice dan kecurigaan teror menjadi basis cara pandang dan kerangka dasar kebijakan-kebijakan luar negeri yang bersifat hegemonik dan dominatif dalam menyikapi dan menekan kepentingan-kepentingan negera-negara Selatan dan negara-negara berpenduduk Muslim.

Posisi dan Peran Kaum Intelektual

Dalam sosiologi pengetahuan, kaum intelektual dimasukkan sebagai kelas sosial baru (The new class) yang menguasai ilmu pengetahuan. Bagi kelas sosial baru ini, pengetahuan merupakan kapital budaya (cultural capital). Relasi-relasi kepentingan mampu mengarahkan dan membentuk cultural capital tersebut menjadi kapital uang atau kapital politik.

Persoalannya, tatkala munculnya kehidupan intelektual di negara berkembang. Lanskap sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan masyarakat dalam mencapai harkat dan martabatnya. Tidak mungkin kalau ukuran keberhasilan kaum intelektual hanya disandarkan pada etika riset dan metode yang memang biasanya jika mereka bergabung sebagai partisan atau fungsionaris partai dan kelompok kepentingan lebih memerankan diri secara profesional, apakah berfungsi sebagai seorang ideolog atau perekayasa sosial. Sementara jika berada dalam mesin pemerintahan mereka biasanya akan berbuat semaksimal mungkin dengan kemampuan ilmiahnya untuk meningkatkan technical knowledge, tanpa mempertanyakan tentang siapakah yang diuntungkan dengan perannya itu berkaitan dengan relasi kekuasaan yang adil. Padahal ciri ilmuwan yang kritis ialah yang selalu peka dan mampu berbicara dan menulis tentang ketidakadilan dalam lingkup publik, mengutarakan ketertindasan, sekaligus menjadi saksi dan dengan episteme intelektual mengadakan kritik terhadap dosa-dosa sosial demi advokasi kemanusiaan4.

Preposisi di atas, menempatkan peran kaum intelektual dalam persimpangan sejarah kemanusiaan; apakah mereka dalam upaya men-support tumbuhnya kekuatan masyarakat madani, menjadi juru bicara dirinya dalam rangka menyuarakan kebebasan mimbar atau lebih sebagai intelektual organik yang bertindak untuk mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat dalam gerakan sosial baru sebagai bagian dari counter hegemoni dalam proses transformasi sosial ?5.

Poskolonial dan Kritisisme Mahasiswa

Edward Said dalam karya provokatifnya,Orientalism, memperkenalkan cara pandang baru yang radikal-kritis terhadap fenomena hegemoni Barat. Ia membongkar citra-citra imajiner Barat dalam relasinya dengan negara-negara Timur (untuk konteks ini baca: Islam). Culture and Imperialism dan Covering Islam adalah dua karya susulan yang mengokohkan Said sebagai the founder texs of postcolonialism theory. Sebagai studi kritis ketimuran (negara-negara berkembang), perspektif poskolonial melahirkan daya kritik terhadap wacana dan asumsi-asumsi yang telah mapan yang terus dikembangkan dan wacana demikian menggurita menjadi bentuk “imperialisme” dalam memori publik negara-negara berkembang.

Wilayah kajian wacana poskolonial ini mencakup kajian nasionalitas, etnis, gender, agama, sosial, budaya, sastra dan literatur. Isu center-peripheri, dominasi-subaltern, hibriditas-kreolisasi serta mimikri-wacana tanding menjadi menu utama dalam kajian kritis humaniora baru ini (new humaniora critics)6. Pada kepentingan counter discourse hegemonik inilah penulis meraba pararelitas kritisisme pendekatan ini dengan kepentingan pemberdayaan dan pendidikan politik masyarakat yang selama ini menjadi simbol kritisisme gerakan mahasiswa.

Pemberdayaan tidak semata dimaknai mempertahankan kemandirian. Namun tidak kalah penting, gerakan pemberdayaan menjelma menjadi corong suara kelas masyarakat sub–sinten membisu, mampu menjadi mata bagi kelas masyarakat yang terbutakan dan rela menjadi telinga untuk kelas masyarakat yang ditulikan. Dengan begini, terjadi proses pengembalian hak-hak terampas masyarakat, menyalakan kembali daya kreatif dan kritis nalar masyarakat, menyadarkan kembali potensi sumber daya manusia yang sekian lama tertimbun oleh kekuatan hegemoni dan dominasi. Pemberdayaan juga berarti pengembangan identitas yang berbasis lokal-domestik, menyembuhkan retak antara konsumen dan produsen, antara kaum wanita dengan pria dan antara dunia pertama dan kedua7. Titik pandang ini meletakan gerakan kritis mahasiswa dalam kerangka gerakan Sub-altern Intellectual; gerakan intelektual yang “merongrong” otoritas tunggal dan “resmi” dalam membangun konstruksi dan memproduksi ideologi pembangunan sekaligus gerakan ini secara simultan menggalang wacana tanding terhadap discourse negara. Dalam gerakan sub-altern ini, pemberdayaaan masyarakat merupakan bentuk pembasisan dan pengkakian wacana tanding tersebut.

Meletakan pilar-pilar konstruksi gerakan sub-altern membutuhkan komitmen praksis-liberatif terhadap nilai-nilai intelektualitas dan nilai moral kemanusiaan. Secara ideal-ideologis, gerakan sub-altern berpijak kepada dua kaki, yaitu kepentingan praksis intelektualitas dan kepentingan liberatif moral kemanusiaan. Artikulasi gerakan ini dapat mengambil beragam bentuk dan jalur, mulai dari perjuangan politik nilai, sosial. Budaya, pendidikan sampai agama. Dalam spektum ini kita akan menemukan pendidikan politik Gramci dan politik pendidikan Faulo Freire, politik sub-politics-nya Ulrich Beck8.



* Tulisan di sajikan dalam Seminar Nasional Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN Purwokerto, 5 November 2002.

1 lih. Barker, 1999, Culture Studies: Theory and Practice, Sage Publication ang London.

2 Walter Homolka, 2001, The End of Tolerance, Nicholas Berkeley Publishing.

3 lih. Henk Schulte and Irwan Abdullah (ed), 2002, Indonesia in Search of Transition, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4 Moeslim Abdurrahman dalam Makalah, Masyarakat Akademis sebagai Masyarakat Madani, makalah dipresentasikan dalam rangka hari jadi 30 tahun Universitas Surabaya.

5 lih. Roger Simon, 1999, Gagasan Politik Gramci (terj), Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar; Beilhazh, 2002, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Para Filosof Terkemuka (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Mansour Fakih dalam Muhammad Hidayat (ed.), 1999, Menuju Masyarakat Terbuka, Yogyakarta: Insist dan Ashoka Indonesia.

6 lih. Leela Gandhi, 2001, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Barker, 1998, Culture Studies: Theory and Practice; Paryanto dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Muthahharun Jinan (ed), 2002, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS UMS, The Ford Foundation dan Majelis Tarjih dan PPI Muhammadiyah, hal. 61.

7 Jeremy Seabrook, 1998, Para Perintis Perubahan (terj), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 10.

8 lih. Ulrich Beck, Anthony Giddens and Scott Lash, 1994, Reflexive Modernization, Stanford University Press California, hal.13-23.

Perempuan, Radikalisme Islam, dan Kemanusiaan

Agresi militer Amerika beserta sekutu ke Irak menuai kritik dan protes dari masyarakat dunia di berbagai kawasan. Aksi protes terhadap sikap pemerintah Bush ini tidak hanya muncul dari kalangan negara-negara berpenduduk muslim, bahkan muncul dari lapisan masyarakat di negara-negara Barat. Seperti dilansir berbagai media, gelombang demonstrasi menentang invasi militer AS terus berlanjut di Amerika, Inggris, Jerman, China, Prancis, Australia dan Indonesia.

Seiring keteguhan pendirian AS dan sekutu untuk menggulingkan rejim Saddam Husein melalui jalur perang, maka semakin deras pula gerakan-gerakan demonstrasi menentang cara-cara koboi yang dipertontonkan AS. Di tanah air sendiri, gerakan mengutuk aksi militer cukup marak, mulai dari aksi demonstrasi yang diprakarsai partai, koalisi anti perang yang disokong oleh banyak tokoh nasional, sampai kalangan pelajar. Kalau kita cermati berbagai gerakan anti perang tersebut, fenomena peran serta kaum perempuan cukup menonjol. Setidaknya perangkat analisis media secara kuantitatif memperlihatkan bahwa proporsi publisitas gerakan perempuan yang memperjuangkan upaya damai bagi penyelesaian masalah Irak cukup menyedot ruang-ruang pemberitaan media. Dan yang terpenting, dalam hampir semua aliansi gerakan demonstrasi, perempuan menempati jumlah yang relatif besar bahkan mayoritas.

Sebenarnya, keterlibatan dan peran aktif kaum prempuan dalam menyikapi permasalahan kemanusiaan global, seperti masalah perang, kemiskinan, kelaparan, krisis lingkungan dan penindasan kultural maupun struktural sudah berlangsung lama dengan narasi sejarah perjuangan feminisme yang berliku. Kesadaran kaum perempuan untuk memiliki hak identitas politik warga negara yang merdeka serta memberikan kontribusi yang sama dengan kaum pria bagi masa depan kemanusiaan menjadi salah satu landasan penting intervensi kaum perempuan terhadap realitas permasalahan kemanusiaan dalam wilayah-wilayah publik.

Catatan sejarah gerakan perempuan di berbagai kawasan dunia yang mencuat pada dekade 1960-an dan 1970-an menjadi preseden historis bahwa perempuan adalah salah satu aktor penting dalam menentukan kebijakan dan arah perubahan sosial. Dalam konteks ini, kita dapat menyebut gerakan perempuan di Filipina yang menjadi mobilisator massa dalam gerakan people power meruntuhkan rejim Marcos, gerakan perempuan Chili yang mampu mendorong proses demokratisasi politik, resistensi kaum perempuan di Australia yang melawan politik rasisme dan keterlibatan kaum perempuan muslim Palestina dalam gerakan Intifada.

Akumulasi realitas kesenjangan bahkan penindasan struktural maupun kultural terhadap perempuan pada akhirnya melahirkan gerakan pembebasan perempuan (feminisme). Pergulatan feminisme dengan perbedaan lokalitas, pluralitas identitas kultur serta tantangan isu-isu global mengantarkan perluasan area concern gerakan perempuan. Dalam kerangka ini, isu penindasan bahkan kolonialisasi kaum perempuan di dunia ke tiga yang diakibatkan oleh kebijakan politik dunia pertama menjadi fokus utama feminisme global. Gerakan terakhir ini, menekankan kepedulian kepada isu kolonialisme global, ketimpangan kebijakan politik dan ekonomi serta standar ganda negara-negara dunia pertama terhadap dunia ke tiga (Jurnal Perempuan, 2000). Untuk konteks ini, kasus Palestina, Afghanistan dan Irak menjadi contoh yang kasat mata untuk dilihat.

Radikalisme Islam

Sikap keras pemerintah AS untuk melibas rejim berkuasa di Irak sekaligus upaya mendirikan pemerintah protektorat (boneka) merupakan langkah bulus untuk mengamankan dominasi kepentingan ekonomi dan politik AS di Timur Tengah. Silang pendapat AS dan Inggris di satu pihak dengan Prancis, Rusia serta dukungan Cina dalam menyikapi masalah Irak mengindikasikan adanya perpecahan suara di kalangan negara-negara dunia pertama. PBB yang diharapkan sebagai tumpuan harapan untuk bersikap objektif terhadap Irak terkesan mengalami dilema. Di satu sisi, banyak pihak yang menilai bahwa perang bukan cara yang terbaik dan manusiawi untuk menyelamatkan masa depan manusia dari “teror” sebagaimana digembar gemborkan pemerintah AS. Mereka menyakinkan negara-negara dunia pertama dan lembaga-lembaga internasional agar tidak memberikan jalan bagi penyelesaian militer. Namun di sisi lain, propaganda AS dan Inggris seakan menyuguhkan satu pilihan yang tidak bisa ditawar, yaitu perang.

Provokasi dan kampanye perang AS terhadap Irak ternyata memicu kesadaran solidaritas kemanusiaan masyarakata internasional. Unjuk rasa yang mengecam hegemoni kepentingan AS pun merebak, menjamur dan menjadi fenomena global. Puluhan ribu pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan. Ditengah kebisingan muntahan rudal, jerit rintihan anak serta tangis pilu kaum ibu yang kehilangan sanak keluarga, menyeruak kekhawatiran akan adanya kemunculan gerakan-gerakan radikal Islam dalam upaya menentang arogansi AS dan sekutunya. Sebagaimana jauh-jauh hari disinyalir PM Mahathir Mohamad, "perang di Irak akan melahirkan al-Qaidah al-Qaidah baru".

Menurut Chandra Muzafar, sinyalemen di atas bukan tanpa alasan. Tindakan agresi AS memang tidak bisa secara gegabah dinyatakan menabuh genderang perang terhadap Islam. Namun mata dunia sulit untuk dibutakan bahwa hampir 98 persen mayoritas penduduk Irak adalah muslim. Lebih jauh, sikap politik AS yang ambivalen bahkan diskriminatif dalam menyikapi senjata pemusnah massal dalam kasus Irak dan Korea Utara menyulut kecurigaan ideologis dari kalangan Islam. Berdasarkan penelitian Jamal Malik di Malaysia, kemunculan fenomena fundamentalisme maupun radikalisasi Islam vis a vis Barat terkait erat dengan dominasi kolonialisasi politik dan imperialisme budaya Barat modern pada kawasan-kawasan muslim. Untuk konteks ini, radikalisasi Islam harus baca dalam perwujudan ekpresi resistensi natural dari “sang liyan” (the other) yang mengalami subordinasi terhadap kekuatan dominan.

Dengan kerangka sosiologis ini, tidak tertutup kemungkinan premanisme kebijakan politik Bush akan mengundang (kembali) gerakan-gerakan Islam radikal di berbagai kawasan muslim. Bagaimanapun juga, pada dasarnya pilihan radikalisme beberapa kelompok Islam merupakan respon alamiah untuk mempertahankan keselamatan komunitasnya, bahkan dalam skala luas untuk melindungi harga kemanusiaan dari ancaman predator kemanusiaan itu sendiri. Narasi kerusuhan, konflik dan perang akan selalu meminta tumbal. Dan perempuan serta anak-anak adalah korban pertama. Padahal di pundak merekalah masa depan peradaban akan bersemi dan tumbuh.

Oleh karena itu, artikulasi perempuan dalam gerakan-gerakan protes anti perang memiliki genre tersendiri. Secara kritis, gerakan perlawanan kaum perempuan terhadap aneka usaha AS (dunia pertama) untuk menundukan setiap realitas otonom kepada kepentingan dominasi Barat mengimplikasikan dua hal secara paralel. Pertama, wacana tanding terhadap superioritas agensi patriakhal sebagai motor perubahan sosial. Kedua, sebagai palu godam yang merontokkan asumsi bahwa perempuan tidak memiliki hak politik berbicara dalam ruang-ruang publik.

Perang hanya akan menyisakan keterputusan mata rantai regenerasi sekaligus masa depan yang suram. Perang bukanlah pilihan yang bisa memutus tuntas permasalahan manusia yang mengaku beradab. Karena perang akan selalu mewariskan penderitaan bagi anak-anak dan kaum perempuan. Perempuan dan anak adalah dua soko utama bagi masa depan peradaban manusia. Keterlibatan kaum perempuan dari ragam etnik, bangsa bahkan agama dalam gelombang unjuk rasa menunjukan kesadaran kolektif global untuk menentang sekaligus melawan segala bentuk upaya penguasaan, kolonialisasi dan ketidakadilan kebijakan politik negara-negara dunia pertama yang terus membidik negara-negara kawasan dunia ke tiga.

MUHAMMADIYAH DAN MODERNITAS KOLONIAL[1]:

Kajian ini mengacu pada dua asumsi. Pertama, secara imaginatif, struktur sosial dan sistem kognisi publik masyarakat muslim diciptakan dalam konsfigurasi hegemoni kolonial sehingga respon dan ekspresi resistensi Muhammadiyah terhadap wacana kolonial berjalan pada latar poskolonial. Kedua, pergulatan dan pertarungan identitas religio-nasionalism Muhammadiyah dengan modernitas kolonial melahirkan respon kreatif bahkan apresiasi kritis untuk kepentingan gerakan pembebasan serta kebangsaan. Kedua asumsi ini merupakan pijakan dalam membangun pembacaan kritis interaksi Muhammadiyah dengan modernitas kolonial pada konteks pergulatan identitas kebangsaan.

Tafsir hermeneutik atas historisitas gerakan liberasi pada ranah keindonesiaan menempatkan Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan. Analisis kritik kesejarahan terhadap respon dan apresiasi kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial, disamping tradisionalisme Islam dan jawaisme, ditekankan pada siasat kebudayaan Muhammadiyah dalam proses pembentukan identitas nasionalitas dan perjuangan merebut kemerdekaan.

Gerakan kebangkitan intelektual Islam pada abad ke-20 menjadi sangat fenomenal ketika kekuatan dominasi politik negara-negara Eropa begitu melesak ke dalam jantung kesadaran masyarakat di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tidak heran, banyak para pengkaji dunia Timur (orientalis) yang merasa penting untuk mengungkap sebab, motivasi, implikasi, bahkan pararelitas kebangkitan tersebut dengan kolonialisme.[2] Tidak terkecuali fenomena kemunculan gerakan Muhammadiyah. Bagi para indonesianists maupun sejarawan domestik, menyusuri pencarian dan perdebatan identitas kebangsaan Indonesia, terutama pada masa pergerakan kolonial dan kemerdekaan, tidak bisa mengabaikan variabel Islam dan Muhammadiyah.[3]

Muhammadiyah dan Wacana Kolonial

Sepanjang abad ke-19, diskursus kolonial Hindia Belanda berusaha menaturalisasi obsesi superioritas ras beserta peranakannya di atas struktur sosial masyarakat pribumi. Sejalan dengan itu, ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan telah ditahbiskan untuk menjadi perangkat ideologis rejim kolonial yang berfungsi untuk menamakan serta mengklasifikasikan penciptaan hirarki tipologi ras. Arsitek sistem tanam paksa menciptakan pembagian universal antara orang Jawa dan ras Belanda dalam rumusan: “bahasa, warna, agama, moral, dan catatan sejarah, semua berbeda antara Belanda dan Jawa. Kita (colonial) yang mengatur, dan mereka (pribumi) yang diatur”.[4] Ekspresi diskriminasi politik ini menemukan bentuknya dalam kebijakan hukum, diskursus aktivitas misionaris, termasuk dalam topografi.

Studi sejarah pergerakan Islam di kawasan Asia Tenggara telah mencatat bahwa gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah memberikan andil penting bagi penyemaian sekaligus tumbuhnya benih-benih gerakan nasionalisme dalam proses de-kolonialisasi bangsa Indonesia. Komitmen dan kontribusi Muhammadiyah bagi pemupukan cita-cita sosial dan politik pada awal abad ke-20 di Jawa adalah satu dari sekian sumber pemikat studi ketimuran.[5] Kemunculan gerakan sosial keagamaan ini di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti penting, yaitu menandai titik balik kesadaran (the turning point of consciousness) masyarakat muslim Indonesia dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang mengunjam dunia Islam pada saat itu, dan meletakan landasan kebudayaan (cultural) sebagai basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.

Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai medium siasat dan strategi kalangan pribumi ketika dihadapkan dengan realitas pergulatan identitas, resistensi, akomodasi, dan negosiasi dengan modernitas kolonial. Preposisi ini mengukuhkan kebudayaan pada posisi penting sebagai salah satu kekuatan yang mendorong proses mobilitas politik dan solidaritas sosial organik dalam membangun jaring-jaring nasionalisme, merebut bola api kemerdekaan, serta menegakan cita-cita sosial bangsa. Dengan begitu, perjuangan kebangsaan melalui jalur kebudayaan ini memiliki lanscape pergerakan yang terbentang luas, mulai dari wilayah sosial, ekonomi, keagamaan sampai pendidikan.

Konsistensi kiprah persyarikatan Muhammadiyah dalam komitmennya sebagai gerakan kebudayaan telah menorehkan kontribusi pemikiran sekaligus peran aktif dalam proses mencerahkan kehidupan beragama, mencerdaskan dan menyadarkan harga diri umat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Latar belakang sosio-historis tersebut mendaulat Muhammadiyah sebagai salah satu medan penelitian yang eksotik. Sehingga cukup banyak sarjana baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berupaya menyingkap interaksi dan dialektika Muhammadiyah dengan realitas-realitas keindonesian yang kompleks; mulai dari James L. Peacock, Mitsuo Nakamura, Harry J. Benda, A. Mukti Ali, Deliar Noer, Alfian, Sirajudin Sjamsudin, Kuntowijoyo, Achmad Jainuri, Munir Mulkhan, Irwan Abdullah dan Alwi Shihab.

Beberapa teori dan perspektif sudah banyak dipakai untuk mengurai alasan-alasan heremeneutis yang memotivasi berdirinya gerakan Muhammadiyah. Para pakar telah mencoba untuk menjelaskan tafsir historis terhadap historical background dan historical reasoning-nya untuk menjelaskan eksistensi Muhammadiyah pada awal dekade abad ke-20. Dan tentunya setiap temuan diperkaya serta diperkuat oleh berbagai fakta yang diyakini merupakan faktor pendorong utama berdirinya Muhammadiyah.[6] Namun satu yang pasti bahwa kelahiran gerakan ini secara jelas terkait erat dengan dinamika sejumlah faktor yang kompleks dimana faktor yang terpenting masih diperdebatkan.

Perdebatan yang mengemuka, menyarikan dua pandangan besar menyangkut faktor determinan kelahiran organisasi ini. Pandangan pertama menyatakan bahwa Muhammadiyah berdiri didorong oleh kuatnya arus penyebaran gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia.[7] Pandangan ini akan diikuti oleh asumsi bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah memberi kontribusi penting dalam membidani kelahiran Muhammadiyah. Dengan demikian, jaringan intelektual Muhammadiyah memiliki relasi geneologis dengan corak pemikiran modernis di Timur Tengah.[8] Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa keberadaan Muhammadiyah merupakan respon terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Pandangan ini lebih melihat aspek domestik dalam tubuh budaya Jawa sebagai determinan utama yang memunculkan gerakan ini.[9] Meskipun kedua faktor diatas memainkan peran penting, justru Alwi Shihab melihat bahwa faktor penetrasi Kristen di negeri ini, dan ini hampir luput dari analisis para sarjana, merupakan faktor terpenting dari semua faktor yang telah mendorong K. H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan persyarikatan ini pada tahun 1912.[10]

Ada dua catatan yang harus diberikan menyangkut tesis Alwi ini, terutama dalam kerangka pergulatan state of mind identitas Islam Muhammadiyah awal dengan modernitas kolonial. Pertama, pembacaan tesis terakhir ini harus dilihat dalam kerangka gerakan protes kalangan muslim modernis terhadap konspirasi mutual kolonialisme dengan misionarisme. Dengan begitu, pembacaan geneologis ini tidak menjadi kontra produktif dengan dokumentasi awal gerakan Muhammadiyah yang dikenal toleran, inklusif, dan pluralis.[11] Kedua, agama dan gerakan misionaris telah dipakai sebagai salah satu perangkat wacana kolonial Hindia Belanda untuk menciptakan garis demarkasi identitas Belanda/Hindia Belanda dan (Islam) pribumi. Ini dapat ditelusuri pada Regeeringsreglement (Undang-undang Klasifikasi Rasial) yang disahkan pada tahun 1854.[12]

Sebagaimana dicatat Takashi Shiraisi, geliat kesadaran politik “bumiputra” mulai mengemuka pada awal abad ke-20. Fenomena gerakan rakyat dalam bentuk surat kabar, jurnal, pertemuan rakyat, serikat buruh, pemogokan, novel, sastra bahkan pemberontakan merupakan corong ekspresi dan alat perjuangan. Dengan panggung inilah, Sarekat Islam dan Muhammadiyah mengartikulasikan peran sebagai organisasi pergerakan yang bercorak Islam; Budi Utomo dan Indishe Partai adalah gerakan bercorak nasionalis; dan ISDV serta PKI menjadi pendahulu bagi gerakan-gerakan yang berhaluan komunis.[13]

Dalam kerangka pergerakan kebangsaan, basis sosial Muhammadiyah dan Sarekat Islam lebih mencerminkan aspirasi (politik) kelas menengah pribumi. Seperti halnya Budi Utomo dan organisasi priyayi lainnya, Muhammadiyah dan SI mengadopsi gagasan-gagasan kemajuan (modernitas) sebagai battle cry pergerakan. Tafsir sosial identitas Islam Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial yang ambigu merupakan akar intelektual bagi resistensi dan siasat kebudayaan Muhammadiyah. Inilah yang disebut –meminjam terminologi Amin Abdullah- sebagai social hermeneutic al Quran yang merupakan paradigma intelektual praksis sosial K.H. Ahmad Dahlan.[14]


Nasionalitas, Modernitas dan Politik Kebudayaan

Gerakan nasionalis di Hindia Belanda sepanjang tahun 1930-an mengalami intimidasi kebijakan-kebijakan kolonial, sehingga sebagian besar pemimpin gerakan pembebasan dan kebangsaan dipenjarakan. Politik kolonial ini menggiring sebagian gerakan-gerakan nasionalis untuk memilih jalur kultural sebagai alternatif gerakan. Pergeseran siasat perlawanan anti kolonialisme yang terjadi di kalangan organisasi-organisasi pribumi ini memaksa G.H. Bousquet untuk mengingatkan pemerintah Belanda yang memandang sebelah mata gerakan-gerakan keagamaan modernis. Bousquet mengatakan, “memang betul Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik namun anggota-anggotanya (memainkan peran aktif)”. Lebih dari itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah bak ladang subur bagi indoktrinisasi sentimen anti kolonialisme secara efektif.[15]

Parthe Chatterjee dalam The Nation and Its fragments mengajukan pendapat bahwa nasionalisme anti kolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri di dalam masyarakat kolonial, jauh sebelum ia memulai pertempuran politiknya dengan kekuasaan penjajah. Ini mengimplikasikan bahwa selain wilayah materi dari nasionalisme politik, terdapat juga wilayah spiritual di dalamnya, tempat identitas budaya otonom dipelihara.[16] Inilah yang mendasari pernyataan di awal bahwa identitas kebangsaan Muhammadiyah adalah nasionalisme keagamaan (religio-nasionalism).

Di sisi lain, modernitas bukan sesuatu yang dapat di hapus dari tanah jajahan, karena terjalin erat dengan kehadiran Hindia Belanda. Perusahaan Barat berusaha membuka pasar-pasar kolonial baru untuk memasarkan produk-produk industri sekaligus secara eksplisit menganjurkan gaya hidup modern. Iklan-iklan kapitalisme Barat merangsang hasrat modernisasi gaya hidup yang bersifat konsumtif. Identitas Modernitas pribumi direduksi dalam atribut-atribut industri kapitalisme. Bagi rejim kolonial, modernisasi Indonesia ada batasnya; mereka dilarang untuk membaca segala sesuatu yang ingin mereka pelajari dan ketahui.[17] Pada titik ini, modernitas kolonial ditangkap sebagai bagian dari westernisasi. Lebih dari itu, pemerintah Hindia Belanda mengajarkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa diimbangi dengan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan pemerintah. Kolonialisasi pada aras state of mind inilah yang akan memenjarakan kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpendapat, lebih dari sekedar merdeka secara simbolik. Dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan oleh Muhammadiyah merupakan jawaban kreatif dalam menangkal gerakan imperialime budaya Barat.

Kebijakan penguasa kolonial Belanda yang tidak netral terhadap Islam dan perlakuan istimewa menyangkut bantuan finansial pendidikan terhadap misionaris Kristen membuat berang kalangan Muslim. Secara terang, sikap diskriminatif rejim kolonial mengarah pada rasialisme identitas keagamaan karena pihak kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa Pemerintah Hindia Timur merupakan representasi sebuah negara Kristen.[18] Terlebih secara politis, masyarakat Islam dikategorikan dalam kasta “bumiputra”; sebuah klasifikasi politik kolonial yang memasung hak politik warga pribumi serta mengubur identitas kebangsaan. Pemerintah kolonial membatasi mobilitas sosial dengan memberi kualifi kasi tertentu pada orangtua calon pelajar untuk memperoleh pendidikan. Politik pendidikan kolonial ini mengakibatkan kemandulan mobilitas sosial yang hanya menghasilkan kaum terpelajar yang elitis.[19]

Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan ini berdampak pada peningkatan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan Kristen sekaligus berbanding terbalik dengan nasib pendidikan Islam yang sekarat. Kepentingan mendasar untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan masyarakat muslim pribumi, sekaligus membangun kekuatan perlawanan yang bersifat kultural merupakan alasan mengapa Muhammadiyah berorientasi pada pembaharuan sosial, reformasi sikap keberagamaan dan me-reformasi sistem pendidikan Islam. Secara substansial, inilah semangat dasar gagasan sosial Muhammadiyah. Menjadi tidak berlebihan bila lembaran sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa mencatat nama organisasi ini sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan yang terlibat dalam proses perumusan identitas nasionalitas dan kemerdekaan hak politik warga bangsa yang berdaulat.

Nomenklatur historis tersebut menyebabkan Alfian mengambil kesimpulan bahwa peran-peran Muhammadiyah dalam proses pembaharuan, setidaknya pada kurun kolonialisme, membawa dampak positif pada tiga wilayah, yaitu wilayah pembaharuan keagamaan, perubahan sosial dan politik.[20] Maka tidak mengejutkan jika Alwi Shihab berpendapat bahwa secara luas gerakan pembaharuan Muhammadiyah berdampak politis meskipun pada aras konsep strategi gerakan berada pada jalur pendidikan yang merupakan salah satu soko guru gerakan kebudayaan Muhammadiyah.

Dalam kaca mata posmodernisme dan cultural studies, relasi gerakan kebudayaan dengan politik tidak semata bersifat implikatif namun juga bersifat mutual karena kebudayaan memiliki muatan politis sehingga disebut cultural politics; yaitu budaya merepresentasikan kekuatan yang menegasikan ancaman dan hegemoni sekaligus mengafirmasi dimensi penguatan dan opoposional. Dengan kata lain, kebudayaan bukan merupakan praktek yang otentik sebuah masyarakat ataupun bagian dari manipulasi kepentingan kapitalisme, jutru ia menjadi locus perjuangan kelompok-kelompok lokal dan marjinal. [21]

Dan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dengan memasuki wilayah budaya menjadi salah satu tema penting dalam gagasan Amircal Cabral. Pemikiran Cabral mengenai teori nasionalisme revolusioner dan gerakan pembebasan nasional telah memberikan kontribusi yang berharga bagi gerakan-gerakan anti kolonialisme di Dunia Ketiga. Secara umum, ada empat gagasan terpenting Cabral bagi perkembangan teori kolonialisme/poskolonialime, yaitu konsepsi mengenai kolonialisme dan imperialisme; konsep sejarah yang menempatkan perjuangan kelas sebagai kekuatan menentukan; konseps borjuasi kecil yang dipandang menentukan transformasi hubungan-hubungan produk dan prilaku politik revolusi di Afrika; dan gerakan kebudayaan merupakan siasat perlawanan terhadap dominasi asing.[22]

Dalam konteks tesisnya yang terakhir, ia mensinyalir bahwa realitas kolonial ditentukan oleh kondisi keterbelakangan ekonomi kita. Hubungan antara kebudayaan dan kondisi ekonomi menghasilkan pembebasan nasional sebagai tindakan kebudayaan. Dengan begitu, kebudayaan berfungsi sebagai sarana untuk melawan dominasi kolonialisme. Kebudayaan merupakan manisfestasi yang sangat mengakar, baik pada tingkat ideologi maupun idealisme, dari realitas material dan historis masyarakat yang didominasi.[23]

Tesis Cabral tidak sepenuhnya tepat dalam frame dialektika Muhammadiyah dengan modernitas kolonial Belanda. Faktor kemiskinan dan keterbelakangan memang banyak disebabkan oleh kebangkrutan sistem ekonomi pribumi namun faktor kebodohan mendorong Muhammadiyah menggarap pendidikan sebagai lahan krusial bagi penanaman kesadaran akan cita-cita sosial masyakat pribumi yang berdaulat. Dekolonisasi tatanan politik kolonialisme dan imperialisme Eropa tidak hanya sebatas pada upaya dekonstruksi pada ranah perjuangan politik namun harus dibarengi dekonstruksi pemikiran (state of mind) muslim yang selama ini dihegemoni oleh paradigma Barat. Karenanya, menurut Abdel Kadir Khatibi, kolonialisme Barat tidak semata menciptakan penjajahan politik, bahkan lebih jauh menanamkan pandangan subversif terhadap state of mind masyarakat terjajah.[24]

Sejalan dengan reformasi pada aras state of mind, tafsir sosial Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial menampilkan wajah baru komunitas pribumi yang lebih dinamis, dimana urbanisme dan etos ekonomi menjadi ciri yang melekat, sebagaimana tesis Kuntowijoyo.[25] Fenomena sosial ini tentunya mematahkan asumsi wacana kolonial bahwa komunitas pribumi yang terjajah identik dengan sifat primitif, barbar, dan tidak berperadaban sehingga kolonialisme menjadi tindakan legal.[26] Secara paralel, Ernst Gellner meyakini bahwa kemunculan nasionalisme terkait erat dengan perubahan dari ekonomi praindustri ke ekonomi industri. Karena bentuk-bentuk organisasi sosial semakin konfleks sehingga merangsang kebutuhan mendasar terhadap negara dan daya kerja yang lebih kooperatif. Jadi masyarakat industri melahirkan kondisi ekonomis untuk kesadaran nasional.[27] Menarik benang merah gagasan yang terdapat dalam kedua tesis di atas mengukuhkan asumsi bahwa gerakan Muhammadiyah adalah gerakan nasionalis keagamaan modern yang berbasis pada gerakan kebudayaan dengan bertumpu pada etos ekonomi urban yang dinamis dan kosmopolit.

Fase generasi Muhammadiyah awal, yaitu 1912–1923, merupakan tonggak landasan Muhammadiyah sebagai organisasi keindonesiaan yang memperjuangkan cita-cita sosial warga bangsa pribumi. Periode ini menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai gerakan religio-nasionalism sekaligus mulai tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap masa depan bangsa ditengah–tengah suasana kolonial. Peletakan landasan gerak yang kokoh disertai pewarisan tradisi keilmuan yang mapan mendorong Muhammadiyah memasuki pusaran arus bangsa, yaitu fase 1923 – 1945. Hal ini ditandai dengan bertaburnya kader– kader persyarikatan yang berkiprah dalam pentas nasional. Prestasi kebangsaan tersebut merupakan buah dari konsistensi Muhammadiyah memilih dan menerapkan siasat politik kebudayaan yang kritis, akomodatif, kosmopolit, hibrid, dan inovatif ketika berhadapan dengan tantangan realitas modernitas kolonial.

Paparan ini ingin menunjukan bahwa nasionalisme Muhammadiyah yang berporos pada gerakan sosial keagamaan lahir dari rahim siasat politik kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial. Dengan demikian, resistensi tidak dirmaknai sebagai tindakan apriori, memendam sikap apresiatif, dan mengunci pintu dialog, tapi justru sebaliknya. Ini merupakan jejak kesejarahan Muhammadiyah awal yang harus dibaca secara hermeneutis serta direkonstruksi untuk ditransformasikan pada konteks tantangan Muhammadiyah kekinian.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation. 2000

Achmad Jainuri. Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000

Alfian. The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1989

Alwi Shihab. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (terj). Bandung : Mizan. 1998

Amin Abdullah. Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11–12 Agustus 2001

Ahmad Syafi`i Ma`arif. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES. 1996

Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996

Chris Barker. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. 2000

Cristian W. Troll. Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology. New Delhi: Vikas Publishing House. 1978

Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. 1985

Edward Said. Orientalism. London: Routledge. 1978

Henk S. Nordholt. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002

Kuntowijoyo. Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya. Surakarta: PSB-PS UMS & MTPPI Muhammadiyah. 2003

Kuntowijoyo. Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu. http//www.kmnu.org

Leela Gandhi. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terj). Yogyakarta: Qalam. 2001

Leong Yew. On Categorizing Postcolonial Theorists. http//www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists

Mitsuo Nakamura. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1983

MT. Arifin. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta : Bumi Aksara. 1987

Muhammad Hisyam. Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942. Jakarta: INIS. 2001

Nikki R. Keddie. An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani. Barkeley: University of California Press. 1968

Ronald H. Chilcote. Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj). Jakarta: Sahe Study Club dan Yayasan HAK Dili. 1999

Simon Philpott. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme (terj). Yogyakarta: LkiS. 2003

Takashi Shiraisi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj). Jakarta: Grafiti. 1997



[1] Tulisan pernah dimuat di Jurnal Arus Tengah MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2003

[2] Untuk sekedar menyebut, Nikki R. Keddie, An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani, Barkeley: University of California Press, 1968; Cristian W. Troll, Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology, New Delhi: Vikas Publishing House, 1978.

[3] Beberapa karya yang terkait, Mukti Ali (1957) memaparkan introduksi bibliografi bagi studi Muhammadiyah; Alfian (1969) memberi gambaran detail menyangkut keterlibatan gerakan Islam Modern Muhammadiyah dalam percaturan politik; Noer (1973) melakukan studi survey terhadap gerakan-gerakan Islam modern, termasuk Muhammadiyah, sampai akhir kolonial Belanda; Palmier (1954) melaporkan proses awal rekonstruksi Muhammadiyah pasca kemerdekaan; Federspiel (1970) menyodorkan ikhtisar seputar ideologi Muhammadiyah; Peacock (1978) meneropong gerak Muhammadiyah dalam perspektif Weber; Benda (1958) menyajikan laporan luas kedudukan politik Islam pada masa kolonial Jepang, lih. Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983, footnote hlm. 4. Dan secara khusus, Jainuri ( 1997) menyusuri proses pembentukan ideologi Muhammadiyah serta Alwi Shihab (1995) memperlihatkan pola resistensi gerakan ini terhadap Kristenisasi, lih. Jainuri, Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000.

[4] Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 67.

[5] Untuk konteks ini, penulis membedakan studi ketimuran dengan orientalisme karena istilah terakhir bernada peyoratif dan mengandung bias superiority complex Barat vis as vis imperiority complex Timur. lihat, Said, Orientalism, 1978, London : Routledge; sebagai wacana tanding Hassan Hanafi mengkampanyekan Oksidentalisme sebagi kritik nalar kesadaran Barat. Walaupun mendapat sorotan kritis karena tawarannya dinilai belum sampai pada landasan dan konstruksi epistemologi yang jelas.

[6] Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan, 1998, hlm. 125.

[7] Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 –1942, Jakarta : LP3ES, 1985, hlm.17.

[8] Arbiyah Lubis dalam penelitian disertasinya membandingkan pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa persamaan corak pemikiran namun juga memiliki sisi corak pemkiran yang berbeda.

[9] Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta : Bumi Aksara, 1987,hal: 73.

[10] Shihab, 1998, hal. 143; bandingkan dengan pernyataan Amry Vandenbosch yang melihat kebangkitan Muhammadiyah buka semata reaksi terhadap arus misi Kristen yang progresif di Jawa Tengah, lih. Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 66.

[11] Indegenousitas karakteristik Muhammadiyah diatas dapat dikaji dalam Alwi Shihab, 1998; Hisyam, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942, Jakarta: INIS, 2001; Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation, 2000.

[12] Lih. Philpott, 2003, hlm. 260.

[13] Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj), Jakarta: Grafiti, 1997, hlm. xii.

[14] Abdullah, Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah dalam The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11 – 12 Agustus, 2001.

[15] Ma`arif, 1996, hlm. 65.

[16] Nordholt, Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 218-219

[17] ibid., hlm. 254

[18] Shihab, 1998, hlm.142.

[19] lih. Kuntowijoyo, Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu, http//www.kmnu.org

[20] Alfian, The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989, hlm. 178

[21] Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London Sage Publication, 2000, hlm. 312

[22] Chilcote, Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj), Jakarta: Sahe Study Club dan Yayasan HAK Dili, 1999, hlm. 69.

[23] Cabral, 1999, hlm.74

[24] Azra, Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 92

[25] Kuntowijoyo, Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS UMS dan MTPPI PP Muhammadiyah, 2003, hlm 16-17.

[26] Leong Yew, On Categorizing Postcolonial Theorists, www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists

[27] Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 139