(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di www.Islamlib.com, 04/08/03)
Selama ini, doktrin iman dan Islam diyakini bersifat aksiomatik-dogmatik, bahkan ahistoris; steril dari debu-debu kepentingan kelompok dan percikan konflik golongan. Dengan begitu, konstruksi identitas iman dan Islam merupakan upaya penentuan, pembatasan, sekaligus pembentengan terhadap otentisitas bangunan keyakinan yang bersifat
Selama ini, doktrin iman dan Islam diyakini bersifat aksiomatik-dogmatik, bahkan ahistoris; steril dari debu-debu kepentingan kelompok dan percikan konflik golongan. Dengan begitu, konstruksi identitas iman dan Islam merupakan upaya penentuan, pembatasan, sekaligus pembentengan terhadap otentisitas bangunan keyakinan yang bersifat
Penelusuran akar tradisi intelektualisme Arab-Islam yang dilakukan Muhammad Abid al-Jabiri “berhasil” menelanjangi konflik kepentingan yang berkecamuk di antara golongan-golongan kalam yang dibalut wacana agama. Aqidah ahl sunnah wal jama`ah yang dipegangi secara teguh kalangan tekstualis-skripturalis, pada kenyataannya merupakan konstruksi generasi salafi dalam ruang pertarungan kepentingan kekuasaan negara dan ideologi golongan kalam. Konstruksi iman justru terlahir dalam atmosfir konflik dan pertarungan antar golongan kalam yang sarat dengan muatan-muatan politik.
Iman yang didefinisikan sebagai bentuk pengakuan dan pembenaran hati, dinyatakan secara lisan, dan dimanifestasikan dalam kerangka kerja sosial telah dipegang secara pakem. Definisi ini berubah menjadi postulasi yang hegemonik ketika wacana agama yang mengusung tekstualisme Islam dipergunakan sebagai tameng kepentingan politik. Akibatnya, pemahaman iman tersebut menyingkirkan pendefinisian iman yang lain. Adalah Ahmad ibn Hanbal yang meletakan definisi iman itu dalam konstruksi akidah ahl sunnah wal jama`ah. Sebagaimana dijelaskan dalam Thabaqat al Hanabilah, inspirator gerakan Islam murni ini memaparkan identitas Islam sunni ahl sunnah wal jama`ah yang berbanding terbalik dengan pemahaman aliran kalam Khawarij, Mu`tazilah, Hanafiah, Syiah, dan kelompok-kelompok oposisi pemerintah kala itu, yaitu rezim Bani Umayyah. Dengan begitu, definisi iman dan konstruksi identitas akidah sunni ahl sunnah mendapat legitimasi dan justifikasi politik dari penguasa.
Dialektika politik dan agama inilah yang melandasi sekaligus mengurai akar mihnah (inkuisisi) oleh penguasa Abasiyyah (al-Makmun, al-Mu`tashim, dan al-Wastiq) terhadap pemuka fikih, ahl hadis, hakim dan pejabat negara yang meyakini “keabadian al-Quran”. Dan Ahmad ibn Hanbal adalah salah seorang korban intimidasi politik yang berbaju wacana agama tersebut. Perspektif ini akan melihat bahwa kebijakan mihnah yang menimpa Ibn Hanbal serta kalangan yang menentang paham “kemakhlukan al-Quran” yang menjadi pegangan birokrasi penguasa Abasiyyah menjadi tidak bisa dilepaskan dari buah pemihakan Hanabilah terhadap rezim Umayyah ketika berkuasa, di mana kala itu bani Abasiyyah dan kalangan opisisi Umayyah mengalami tekanan politik.
Sesungguhnya, pertarungan politik dan wacana agama di atas menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya pemaknaan-pemaknaan prinsip keagamaan yang bersifat ganda bahkan majemuk. Begitupun definisi iman Ahmad Ibn Hanbal yang sudah terpahat dalam kesadaran keberagamaan masyarakat muslim bukan merupakan pemaknaan yang bersifat tunggal. Jauh sebelum tragedi mihnah, Abu Hanifah memberikan definisi iman yang menyiratkan toleransi dan legalitas kebebasan manusia. Bagi peletak dasar Islam rasional ini, iman merupakan komitmen untuk meyakini keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terikat dengan pembatasan ruang artikulasi gerak yang bersifat indrawi dan kasat mata. Menurut al-Jabiri, definisi yang bersifat toleran dan liberal ini berdampak pada keabsahan kebebasan berpendapat dan berbuat manusia beriman. Secara teologis, tafsir liberal terhadap keimanan tersebut berbeda dengan pemahaman Hanabilah/tekstualis yang sudah membatu menjadi doktrin.
Kini, doktrin iman dan Islam yang digariskan kalangan salafi di atas mengalami gugatan. Ini penting dikemukakan untuk meruntuhkan asumsi keterikatan kata dan perbuatan manusia dengan komitmen keimanan seseorang. Dalam asumsi ini, ekspresi ucap, dan perilaku akan berdampak paralel dengan keimanan seseorang. Asumsi ini menundukkan dunia ekspresi dan aktualisasi potensi kebebasan manusia pada kepatuhan teologis semata tanpa memiliki sandaran tanggung jawab sosial yang humanis.
Nampaknya, semangat liberal dan toleransi yang diwariskan Abu Hanifah di atas mendapat apresiasi dan elaborasi gagasan dari Muhammad Shahrur dalam al-Iman wa al-Islam Pemikir asal
Iman taklifi sendiri berisi beban dan kewajiban yang sifatnya praktis-partikular. Diktum-diktum yang termuat dalam iman taklifi ini berbentuk hukum dan aturan tata hidup dalam relasi sosial orang beriman dengan sesama manusia. Reformasi Shahrur terhadap formulasi dogmatik ini menyuarakan langkah revolusioner-transformatif bila bandingkan dengan konsep ihsan konvensional. Rumusan ini menempatkan konsep ihsan pada aras pertama yang bersifat universal sekaligus menjadikannya sebagai barometer sosial pada wilayah sosial yang partikular dan plural.
Sebagai agama yang memiliki karakter dasar fitrah dan hanif, hendaknya ketaatan transendental tidak mendorong marjinalisasi dan sikap diskriminatif dalam berbuat kebajikan kepada sesama manusia. Justru dimensi ini menjadi prioritas utama dalam diktum-diktum iman taklifi. Konsepsi ihsan mendorong manusia beriman untuk senantiasa berbuat kebajikan tanpa terjebak kepada patron dan penghambaan (`ubudiyyah/slavery) kepada manusia. Preposisi ini mementahkan vonis bahwa agama sumber ilusi yang menyebabkan manusia teralienasi. Sebagaimana diulas Erich Fromm ketika menganalisis Marx dalam Beyond the Chains of Illusion, alienasi disebabkan oleh penghambaan terhadap berhala-berhala yang misterius. Tingkat penghambaan ini menguras energi manusia yang pada akhirnya menjebloskannya kepada penjara alienasi yang suram. Iapun sulit untuk bangkit seperti halnya orang yang sudah jatuh ke dalam lautan candu.
Pada aras normativitas, Islam menutup rapat lubang alienasi bagi pemeluknya. Ini jelas terlihat dari konsistensi Islam terhadap dimensi ihsan. Berbuat kebajikan kepada sesama berimplikasi paralel pada etos dan kesalehan sosial. Kerangka dasar ini akan membantah tesis agama sebagai biang keladi alienasi sosial. Dimensi ihsan (berbuat kebajikan tanpa terkotak-kotak dalam sekat suku, ras, bangsa, ideologi, agama) dalam konstruksi masyarakat Islam merupakan pondasi sekaligus tiang yang kokoh sehingga Islam mampu mengangkat tinggi derajat dan kemuliaan manusia tanpa harus melakukan kolonialisasi terhadap kelompok lain yang dipandang berbeda.
Hemat penulis, inilah substansi ungkapan sebuah hadis, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang melampauinya”. Rekonstruksi ini akan mencerminkan bahwa Islam adalah risalah suci yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. []