Sunday, March 8, 2009

Tafsir Multikultural: Jihad Melawan Kejumudan Teks

Fajar Riza Ul Haq
Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Staf Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS Solo
(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di www.islamlib.com, 04/04/04)

Agama semitik meyakini diyakini teks merupakan fakta historis untuk pewujudan kalam suci ilahi yang otentik. Secara paralel, sikap hormat masyarakat muslim semakin meneguhkan akar tekstualitas dalam tradisi Islam. Untuk membangun keberagamaan yang multikultural --sembari tetap berakar pada tradisi teks-- kita perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran.

Dalam tradisi agama semitik, teks mendapat tempat dan perlakuan sangat istimewa. Teks diyakini merupakan fakta historis untuk pewujudan kalam suci ilahi yang otentik. Melalui mushaf suci Tuhan sebagai pencipta, maharaja aras mayapada, mengundangkan norma-norma bagi tata sosial kemanusian. Dan Islam adalah salah satu agama yang menempatkan kitab suci Alquran dalam posisi tertinggi dalam sistem hukumnya. Sepanjang sejarah, Islam dikenal agama yang paling gigih menjaga otentisitas kitab sucinya. Masyarakat Islam sangat fanatik mensakralkan keberadaannya, menghapal ayat-ayatnya, serta menjungjung tinggi kandungan maknanya.

Secara paralel, sikap hormat masyarakat muslim untuk menjaga dan mengabadikan perkataan-perkataan Muhammad Rasulullah (hadis) semakin meneguhkan akar tekstualitas dalam tradisi Islam. Kokohnya tradisi penghormatan dan ketatnya sistem seleksi teks telah menstimulasi sejarah perkembangan Islam dalam kerangka peradaban teks. Teks–teks Alquran dan hadis dijadikan rujukan legitimasi dan alat justifikasi dalam pelbagai wacana ilmiah maupun politik. Fenomena ini menyebabkan absurditas, bahkan distorsi atas pesan-pesan moral-kemanusian Islam, utamanya ketika batasan-batasan antara interpretasi, kepentingan kelompok (manipulasi teks), dan sikap transendensi terhadap kitab suci menjadi kabur. Pada konteks inilah, pemahaman yang tepat atas eksistensi teks, konstruksi sosial, dan identitas penafsir menjadi kunci hermeneutik untuk membuka oase tafsir sosial masyarakat muslim terhadap Alquran dan hadis di tengah tantangan modernitas dan globalisasi.

Selamanya ini terdapat kesan yang kuat menghinggapi mayoritas pemikir-pemikir Islam, bahwa tradisi keberagamaan yang berbasis pada teks merupakan faktor determinan yang memasung kreativitas nalar dan membelenggu ekspresi masyarakat Islam. Realitas sosial Islam terpenjara dalam konstruksi teks yang statis. Dampaknya, dunia Islam mengalami alienasi terhadap modernitas dan gagap menghadapi globalisasi budaya Barat. Asumsi ini berujung pada dakwaan bahwa tradisi teks Islam kontraproduktif dengan raison d`etre kehadiran Islam itu sendiri. Hemat penulis, asumsi ini mendapat bantahan sekaligus pembenaran secara sosiologis-historis.

Wajah Paradoks Sejarah Islam

Produktivitas khazanah keilmuan Islam yang melimpah, sejak zaman klasik sampai menjelang abad pertengahan, dan keberagaman budaya Islam dari semenanjung Arab sampai daratan Afrika dan Asia merupakan nomenklatur sosiologis keberadaan peradaban Islam. Fakta ini juga menunjukan bahwa Islam adalah agama yang memberi tempat sekaligus memayungi kemajemukan budaya. Pengakuan akan tradisi ikhtilaf (berbeda pamahaman) dalam tradisi Islam juga mengindikasikan atmosfir demokratis dalam relasi-relasi keberagamaan Islam awal. Makanya, sampai sekarang kita dengan mudah menjumpai pelbagai karya tafsir dan syarah hadist yang memakai pendekatan yang berbeda-beda. Ini karena pemuka Islam awal relatif berhasil melahirkan pemaknaan-pemaknaan teks dalam lanskap sosial historis yang plural, dengan berporos pada tafsir sosial Islam (interpretasi) yang dinamis, inklusif, dan plural.

Di sisi lain, iklim demokratis dalam pemahaman dan ekspresi keberagamaan berpengaruh kuat pada apresiasi dan interaksi Islam dengan realitas demografis dan kultural non-Arab yang unik seiring perluasan wilayah Islam. Pada ranah kebudayaan, tradisi teks yang berpijak pada pola-pola interpretasi yang dinamis, ternyata sukses merangkai apa yang dikatakan Sayyed Hossein Nasr sebagai “keragaman budaya dalam kesatuan spiritual”. Dalam terminologi budaya kontemporer, kita dapat mengungkapkan bahwa bahwa tradisi teks (selalu) memiliki ruang untuk merajut peradaban dalam semangat multikulturalisme. Dengan begitu, wajah peradaban Islam merepresentasikan keragaman budaya (lintas etnik). Geo-politik multikulturalisme Islam ketika itu dapat dipetakan pada lima kawasan, yaitu Arab, Iran, Turki, Melayu, dan Afrika Hitam.

Tapi sayang, tergusurnya paradigma penalaran (burhani) dalam pola interpretasi teks-teks agama telah mengukuhkan dominasi paradigma analogi-tekstual (qiyas-bayani). Paradigma ini berusaha menundukan realitas yang terus berubah di dalam dunia teks tanpa mempertimbangkan konstruksi-konstruksi sosialnya. Setiap kebenaran diderivasi dari tekstualitas teks dan bersifat tunggal. Monopoli pemahaman keagamaan seperti ini telah menyeret ekspresi dan pengalaman Islam dalam wajah yang tunggal, di samping aksentusi kebudayaan yang homogen. Pasca kemunduran Islam yang diikuti kemajuan Barat, masyarakat Islam secara kultural seakan mengisolasi diri dalam dunia teks yang terpisah dari dinamika sosial. Pada saat itulah, asumsi bahwa tradisi teks telah memasung kebebasan bernalar dan pluralitas mendapat pembenaran sosiologis.

Multikulturalisme dan Tantangan Beragama

Kini, gelombang modernitas dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, ideologi, dan agama. Mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik, menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keberagamaan. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang bisa konsisten memproteksi diri agar tetap menjadi kelompok sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras, etnik, jender, kelas, dan agama sampai pilihan gaya hidup. Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial, semua kelompok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdampingan bersama. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu, wawasan tentang multikulturalisme perlu dikukuhkan (juga) dalam soal keberagamaan.

Maka, untuk membangun keberagamaan yang multikultural --sembari tetap berakar pada tradisi teks-- kita perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran. Dengan begitu, dunia teks dan realitas sosial-empirik dapat berelasi secara mutual dan kritis, tanpa saling mensubordinasi yang lain. Paradigma hermeneutik sosial akan memicu pluralitas pemaknaan atas relasi antara teks dan konstruksi sosial.

Wawasan pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif, toleran, dan non-sektarian itu kini perlu dikembangkan lebih giat lagi untuk menggeser politik uniformitas agama yang dipaksakan melalui dominasi sistem sosial-politik. Pandangan ini penting disosialisasikan untuk menepis anggapan yang mempertentangkan antara tradisi teks Islam dengan realitas multikulturalisme. Sebagai ideologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-prinsip keragaman, kesetaraan, dan penghargaan atas yang lain, sebagaimana bunyi pesan-pesan moral Islam untuk memperjuangkan kemanusiaan secara total. Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa proses menafsir dan mendesain Islam sebagai tenda peradaban, baik dalam cita terlebih dalam fakta sosiologis merupakan jihad peradaban kita yang paling besar. []

No comments: