Sunday, March 8, 2009

Menakar PKS sebagai Partai Terbuka

Fajar Riza Ul Haq

Direktur Program MAARIF Institute for Culture and Humanity
(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di HU Koran Sindo, 05/02/080


Dalam satu perbincangan penulis dengan seorang Indonesianis dari East-West Center,Hawai`i,di Hiroshima,akhir 2007,muncul satu pertanyaan, apakah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) betul-betul sedang berkembang pesat seperti yang dia dengar dari seorang temannya? Saya jawab,memang PKS merupakan sedikit partai yang roda organisasinya berjalan baik dan solid.Kader-kader partai terus bekerja penuh ghirrah,tidak hanya pada masa-masa menjelang hajatan pemilu, pilpres,dan pilkada.Mereka bergerak dari pintu ke pintu,menawarkan diri sebagai partai alternatif,dan melakukan aksi-aksi sosial yang dekat dengan masyarakat.

Satu partai Islam politik yang memiliki masa depan saat partai Islam yang lain masih mencari langgam baru. Mungkin pengamatan sepintas belum cukup menggambarkan totalitas kinerja PKS selama ini.Namun,sebagai sebuah partai Islam,PKS relatif berhasil tampil beda dengan dukungan militansi kader-kadernya.Tidak sedikit orang yang menjatuhkan pilihan politiknya pada PKS lebih karena alasan simpati bahkan pragmatis,jauh dari argumentasi ideologis.Di masyarakat bawah, akan dengan mudah ditemukan atribut-atribut kepartaian seperti kalender di pasang di rumah-rumah yang menunjukkan eksistensi atau setidaknya pengakuan mereka terhadap PKS di samping tentunya atribut-atribut partai lain.

Yang menarik,fenomena ini tidak hanya terjadi di kelas menengah muslim modernis seperti diasumsikan banyak pihak,juga merambah di kelas bawah yang selama ini secara variatif didominasi konstituen PDIP dan Golkar. Raihan suara PKS yang melonjak signifikan pada Pemilu 2004 sebesar 7,34% diikuti peta pilkada hingga 2007 yang memperlihatkan kemenangan partai dakwah ini di banyak tempat (sekitar 22%,berdasarkan klaim PKS) merupakan momentum politik partai menuju kejayaan pada Pemilu 2009.PKS, Road to Victory 2009,sudah pasti memperluas basis konstituen pemilih merupakan syarat sekaligus pilihan strategi partai.

Hal lain yang tampaknya sedang diatasi adalah meruntuhkan tembok antara kaum Islamis yang diidentikkan dengan partai-partai Islam dan kaum nasionalis sebagai basis utama partai nasionalis dan sekuler.Kalau kita cermati proses Pilgub DKI,kemunculan isu kemajemukan/pluralisme yang diusung pasangan Fauzi Bowo-Priyanto diyakini banyak pihak sebagai kritik tidak langsung terhadap ideologi PKS yang mendukung pasangan Adang-Dani.

Kotak Pandora Islam Politik

Kepentingan di ataslah yang mendorong PKS berani mendeklarasikan diri sebagai partai Islam terbuka,pluralis, dalam musyawarah kerja nasional (mukernas) di Bali pada 1–3 Februari.Pernyataan resmi secara terbuka partai ini sebagai partai pluralis bisa dibilang langkah ’’liberal”.Sebuah lompatan yang tidak hanya radikal kalau melihat sejarah dan ideologi partai,juga sangat berisiko. Sebab,itu akan menguji ketebalan loyalitas kader-kader aktivis di lingkaran inti yang menjadi tulang punggung gerakan sekaligus mempertaruhkan dukungan partisan dari kelompok-kelompok Islam. Salah satunya,tidak sedikit pemilih dari kalangan muslim modernis,misalnya warga Muhammadiyah,mencoblos PKS dengan alasan partai ini lebih ’’Islami” dibanding yang lain. Di antara pertanyaan krusial yang muncul,akankah kelompok-kelompok Islam yang mendukung ataupun simpati terhadap corak Islam politik PKS selama ini tidak mengalihkan dukungannya jika PKS betul-betul memutuskan diri dan konsekuen sebagai partai pluralis? Pengalaman Amin Rais bersama Partai Amanat Nasional (PAN),yang sejak awal mengaku partai terbuka saat Pemilu dan Pilpres 2004 patut dijadikan cermin. Amin mencoba memperluas basis dukungan dengan merambah kantong-kantong muslim tradisionalis dan abangan.

Pada kenyataannya,terobosan PAN sebagai partai pluralis tidak banyak membantu dalam meraup dukungan.Bahkan, disinyalir cukup banyak pemilih dari warga Muhammadiyah maupun kelompok muslim modernis yang menjatuhkan pilihan pada partai lain lebih karena alasan platform partai ataupun pragmatis,mungkin dengan mengecualikan saat pilpres putaran pertama.Sirkulasi dukungan terhadap partai politik pada Pemilu 2004 memperlihatkan bahwa arus sirkulasi (perpindahan/peralihan dukungan) suara masih sebatas lintas partai dalam satu kelompok ideologi politik (Baswedan,2004). Pada tahap ini,perkembangan terbaru itu di tubuh PKS mengonfirmasi temuan Anis Baswedan bahwa Islam politik di Indonesia telah mengalami transformasi dan diferensiasi.Kondisi yang berbeda dengan masa Demokrasi Liberal pada era 1950-an dan Orde Baru (Asean Survey, Vo 44,2004).Fenomena pendirian Baitul Muslimin Indonesia (Bamuis) di lingkungan PDIP dan geliat ataupun revitalisasi sayap-sayap Islam di tubuh partai nasional- sekuler lain membuktikan aspek pilihan berdasarkan pertimbangan ideologis masih mendapat tempat dalam wacana politik Indonesia meski secara umum politik aliran sudah pudar sebagaimana dilontarkan Lance Castle,Bill Lidde,dan Saiful Mujani.

Membuka diri tidak cukup dengan melakukan koalisi dengan partai-partai non- Islam dan kesediaan mencalonkan anggota DPRD dari kalangan nonmuslim. Lebih dari itu,yang lebih substantif adalah sikap itu menjiwai garis kebijakan partai serta berdampak pada posisi politik yang jelas baik di parlemen maupun pemerintah.Apakah kader-kader partai berani memilih nonmuslim sebagai pengurus sekaligus menempatkan hak politiknya sejajar dengan pengurus muslim? Apakah PKS mempunyai political will merekonstruksi konsep fikih politik Islam (fiqh al siyasah) yang selama ini menomorduakan warga nonmuslim? Akankah putusan PKS nanti berkorelasi positif dengan mengalirnya arus dukungan dari pemilih lintas kelompok sosial dan agama atau sebaliknya,pangkal titik balik defisit dukungan dari massa tradisionalnya selama ini?

Sejauh ini,pengakuan para petinggi partai seperti tercermin di beberapa media masih dangkal,keterbukaan adalah pluralitas budaya sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW melalui Piagam Madinah.Padahal,konsepsi ummah (masyarakat) dalam piagam ini mengacu pada pengertian yang kita kenal sekarang sebagai pluralisme. Pada akhirnya,keterbukaan partai melahirkan peluang sekaligus dilema bagi kepentingan PKS.Keterbukaan akan membuatnya memiliki peluang meraih basis dukungan massa yang lebih luas. Tidak sebatas kalangan muslim puritanmodernis, juga kelompok-kelompok sosial yang tertekan maupun terpinggirkan. Saat yang sama,langkah ini akan sangat berisiko membuat pendukung utamanya kecewa dan lari.Sebuah langkah yang mempertaruhkan reputasi sekaligus masa depan partai dakwah ini di mata konstituen fanatiknya yang selama ini dikenal eksklusif dan mayoritas berbasis gerakan salafi-tarbiyah.Tidak banyak partai politik berbasis Islam yang berhasil mulus melewati ujian kotak pandora bagi Islam politik ini.(*)

No comments: