Sunday, March 8, 2009

Menggugat Hegemoni Tafsir Iman dan Islam

Fajar Riza Ul Haq

(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di www.Islamlib.com, 04/08/03)


Selama ini, doktrin iman dan Islam diyakini bersifat aksiomatik-dogmatik, bahkan ahistoris; steril dari debu-debu kepentingan kelompok dan percikan konflik golongan. Dengan begitu, konstruksi identitas iman dan Islam merupakan upaya penentuan, pembatasan, sekaligus pembentengan terhadap otentisitas bangunan keyakinan yang bersifat baku dan final. Tafsir identitas ini memaklumatkan bahwa wilayah kajian iman dan Islam merupakan cagar konservasi bagi akar doktrinal agama Islam.

Selama ini, doktrin iman dan Islam diyakini bersifat aksiomatik-dogmatik, bahkan ahistoris; steril dari debu-debu kepentingan kelompok dan percikan konflik golongan. Dengan begitu, konstruksi identitas iman dan Islam merupakan upaya penentuan, pembatasan, sekaligus pembentengan terhadap otentisitas bangunan keyakinan yang bersifat baku dan final. Tafsir identitas ini memaklumatkan bahwa wilayah kajian iman dan Islam merupakan cagar konservasi bagi akar doktrinal agama Islam.

Penelusuran akar tradisi intelektualisme Arab-Islam yang dilakukan Muhammad Abid al-Jabiri “berhasil” menelanjangi konflik kepentingan yang berkecamuk di antara golongan-golongan kalam yang dibalut wacana agama. Aqidah ahl sunnah wal jama`ah yang dipegangi secara teguh kalangan tekstualis-skripturalis, pada kenyataannya merupakan konstruksi generasi salafi dalam ruang pertarungan kepentingan kekuasaan negara dan ideologi golongan kalam. Konstruksi iman justru terlahir dalam atmosfir konflik dan pertarungan antar golongan kalam yang sarat dengan muatan-muatan politik.

Iman yang didefinisikan sebagai bentuk pengakuan dan pembenaran hati, dinyatakan secara lisan, dan dimanifestasikan dalam kerangka kerja sosial telah dipegang secara pakem. Definisi ini berubah menjadi postulasi yang hegemonik ketika wacana agama yang mengusung tekstualisme Islam dipergunakan sebagai tameng kepentingan politik. Akibatnya, pemahaman iman tersebut menyingkirkan pendefinisian iman yang lain. Adalah Ahmad ibn Hanbal yang meletakan definisi iman itu dalam konstruksi akidah ahl sunnah wal jama`ah. Sebagaimana dijelaskan dalam Thabaqat al Hanabilah, inspirator gerakan Islam murni ini memaparkan identitas Islam sunni ahl sunnah wal jama`ah yang berbanding terbalik dengan pemahaman aliran kalam Khawarij, Mu`tazilah, Hanafiah, Syiah, dan kelompok-kelompok oposisi pemerintah kala itu, yaitu rezim Bani Umayyah. Dengan begitu, definisi iman dan konstruksi identitas akidah sunni ahl sunnah mendapat legitimasi dan justifikasi politik dari penguasa.

Dialektika politik dan agama inilah yang melandasi sekaligus mengurai akar mihnah (inkuisisi) oleh penguasa Abasiyyah (al-Makmun, al-Mu`tashim, dan al-Wastiq) terhadap pemuka fikih, ahl hadis, hakim dan pejabat negara yang meyakini “keabadian al-Quran”. Dan Ahmad ibn Hanbal adalah salah seorang korban intimidasi politik yang berbaju wacana agama tersebut. Perspektif ini akan melihat bahwa kebijakan mihnah yang menimpa Ibn Hanbal serta kalangan yang menentang paham “kemakhlukan al-Quran” yang menjadi pegangan birokrasi penguasa Abasiyyah menjadi tidak bisa dilepaskan dari buah pemihakan Hanabilah terhadap rezim Umayyah ketika berkuasa, di mana kala itu bani Abasiyyah dan kalangan opisisi Umayyah mengalami tekanan politik.

Sesungguhnya, pertarungan politik dan wacana agama di atas menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya pemaknaan-pemaknaan prinsip keagamaan yang bersifat ganda bahkan majemuk. Begitupun definisi iman Ahmad Ibn Hanbal yang sudah terpahat dalam kesadaran keberagamaan masyarakat muslim bukan merupakan pemaknaan yang bersifat tunggal. Jauh sebelum tragedi mihnah, Abu Hanifah memberikan definisi iman yang menyiratkan toleransi dan legalitas kebebasan manusia. Bagi peletak dasar Islam rasional ini, iman merupakan komitmen untuk meyakini keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terikat dengan pembatasan ruang artikulasi gerak yang bersifat indrawi dan kasat mata. Menurut al-Jabiri, definisi yang bersifat toleran dan liberal ini berdampak pada keabsahan kebebasan berpendapat dan berbuat manusia beriman. Secara teologis, tafsir liberal terhadap keimanan tersebut berbeda dengan pemahaman Hanabilah/tekstualis yang sudah membatu menjadi doktrin.

Kini, doktrin iman dan Islam yang digariskan kalangan salafi di atas mengalami gugatan. Ini penting dikemukakan untuk meruntuhkan asumsi keterikatan kata dan perbuatan manusia dengan komitmen keimanan seseorang. Dalam asumsi ini, ekspresi ucap, dan perilaku akan berdampak paralel dengan keimanan seseorang. Asumsi ini menundukkan dunia ekspresi dan aktualisasi potensi kebebasan manusia pada kepatuhan teologis semata tanpa memiliki sandaran tanggung jawab sosial yang humanis.

Nampaknya, semangat liberal dan toleransi yang diwariskan Abu Hanifah di atas mendapat apresiasi dan elaborasi gagasan dari Muhammad Shahrur dalam al-Iman wa al-Islam Pemikir asal Syria ini berusaha membongkar sekaligus merekonstruksi konsepsi iman dan Islam yang seakan menyatu dalam kebekuan sejarah Islam itu sendiri. Menurut Shahrur, Islam sebagai institusi agama terdiri dari dua unsur senyawa yang tak terpisahkan, yaitu iman islami dan iman taklifi. Yang pertama mengandung qonun moral yang bersifat universal. Hukum moral ini terdiri dari muatan kepasrahan dan ketaatan kepada Realitas-Ultim-Universum (Tuhan), keyakinan akan tibanya hari perhitungan (the day after day) dan ajaran untuk berbuat kebajikan kepada sesama (ihsan). Unsur ini ada dalam struktur setiap agama karena agama pada substansinya menyeru pada kebajikan dan mencela perbuatan merusak. Inilah fitrah manusia yang hanif.

Iman taklifi sendiri berisi beban dan kewajiban yang sifatnya praktis-partikular. Diktum-diktum yang termuat dalam iman taklifi ini berbentuk hukum dan aturan tata hidup dalam relasi sosial orang beriman dengan sesama manusia. Reformasi Shahrur terhadap formulasi dogmatik ini menyuarakan langkah revolusioner-transformatif bila bandingkan dengan konsep ihsan konvensional. Rumusan ini menempatkan konsep ihsan pada aras pertama yang bersifat universal sekaligus menjadikannya sebagai barometer sosial pada wilayah sosial yang partikular dan plural.

Sebagai agama yang memiliki karakter dasar fitrah dan hanif, hendaknya ketaatan transendental tidak mendorong marjinalisasi dan sikap diskriminatif dalam berbuat kebajikan kepada sesama manusia. Justru dimensi ini menjadi prioritas utama dalam diktum-diktum iman taklifi. Konsepsi ihsan mendorong manusia beriman untuk senantiasa berbuat kebajikan tanpa terjebak kepada patron dan penghambaan (`ubudiyyah/slavery) kepada manusia. Preposisi ini mementahkan vonis bahwa agama sumber ilusi yang menyebabkan manusia teralienasi. Sebagaimana diulas Erich Fromm ketika menganalisis Marx dalam Beyond the Chains of Illusion, alienasi disebabkan oleh penghambaan terhadap berhala-berhala yang misterius. Tingkat penghambaan ini menguras energi manusia yang pada akhirnya menjebloskannya kepada penjara alienasi yang suram. Iapun sulit untuk bangkit seperti halnya orang yang sudah jatuh ke dalam lautan candu.

Pada aras normativitas, Islam menutup rapat lubang alienasi bagi pemeluknya. Ini jelas terlihat dari konsistensi Islam terhadap dimensi ihsan. Berbuat kebajikan kepada sesama berimplikasi paralel pada etos dan kesalehan sosial. Kerangka dasar ini akan membantah tesis agama sebagai biang keladi alienasi sosial. Dimensi ihsan (berbuat kebajikan tanpa terkotak-kotak dalam sekat suku, ras, bangsa, ideologi, agama) dalam konstruksi masyarakat Islam merupakan pondasi sekaligus tiang yang kokoh sehingga Islam mampu mengangkat tinggi derajat dan kemuliaan manusia tanpa harus melakukan kolonialisasi terhadap kelompok lain yang dipandang berbeda.

Hemat penulis, inilah substansi ungkapan sebuah hadis, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang melampauinya”. Rekonstruksi ini akan mencerminkan bahwa Islam adalah risalah suci yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. []

Menakar PKS sebagai Partai Terbuka

Fajar Riza Ul Haq

Direktur Program MAARIF Institute for Culture and Humanity
(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di HU Koran Sindo, 05/02/080


Dalam satu perbincangan penulis dengan seorang Indonesianis dari East-West Center,Hawai`i,di Hiroshima,akhir 2007,muncul satu pertanyaan, apakah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) betul-betul sedang berkembang pesat seperti yang dia dengar dari seorang temannya? Saya jawab,memang PKS merupakan sedikit partai yang roda organisasinya berjalan baik dan solid.Kader-kader partai terus bekerja penuh ghirrah,tidak hanya pada masa-masa menjelang hajatan pemilu, pilpres,dan pilkada.Mereka bergerak dari pintu ke pintu,menawarkan diri sebagai partai alternatif,dan melakukan aksi-aksi sosial yang dekat dengan masyarakat.

Satu partai Islam politik yang memiliki masa depan saat partai Islam yang lain masih mencari langgam baru. Mungkin pengamatan sepintas belum cukup menggambarkan totalitas kinerja PKS selama ini.Namun,sebagai sebuah partai Islam,PKS relatif berhasil tampil beda dengan dukungan militansi kader-kadernya.Tidak sedikit orang yang menjatuhkan pilihan politiknya pada PKS lebih karena alasan simpati bahkan pragmatis,jauh dari argumentasi ideologis.Di masyarakat bawah, akan dengan mudah ditemukan atribut-atribut kepartaian seperti kalender di pasang di rumah-rumah yang menunjukkan eksistensi atau setidaknya pengakuan mereka terhadap PKS di samping tentunya atribut-atribut partai lain.

Yang menarik,fenomena ini tidak hanya terjadi di kelas menengah muslim modernis seperti diasumsikan banyak pihak,juga merambah di kelas bawah yang selama ini secara variatif didominasi konstituen PDIP dan Golkar. Raihan suara PKS yang melonjak signifikan pada Pemilu 2004 sebesar 7,34% diikuti peta pilkada hingga 2007 yang memperlihatkan kemenangan partai dakwah ini di banyak tempat (sekitar 22%,berdasarkan klaim PKS) merupakan momentum politik partai menuju kejayaan pada Pemilu 2009.PKS, Road to Victory 2009,sudah pasti memperluas basis konstituen pemilih merupakan syarat sekaligus pilihan strategi partai.

Hal lain yang tampaknya sedang diatasi adalah meruntuhkan tembok antara kaum Islamis yang diidentikkan dengan partai-partai Islam dan kaum nasionalis sebagai basis utama partai nasionalis dan sekuler.Kalau kita cermati proses Pilgub DKI,kemunculan isu kemajemukan/pluralisme yang diusung pasangan Fauzi Bowo-Priyanto diyakini banyak pihak sebagai kritik tidak langsung terhadap ideologi PKS yang mendukung pasangan Adang-Dani.

Kotak Pandora Islam Politik

Kepentingan di ataslah yang mendorong PKS berani mendeklarasikan diri sebagai partai Islam terbuka,pluralis, dalam musyawarah kerja nasional (mukernas) di Bali pada 1–3 Februari.Pernyataan resmi secara terbuka partai ini sebagai partai pluralis bisa dibilang langkah ’’liberal”.Sebuah lompatan yang tidak hanya radikal kalau melihat sejarah dan ideologi partai,juga sangat berisiko. Sebab,itu akan menguji ketebalan loyalitas kader-kader aktivis di lingkaran inti yang menjadi tulang punggung gerakan sekaligus mempertaruhkan dukungan partisan dari kelompok-kelompok Islam. Salah satunya,tidak sedikit pemilih dari kalangan muslim modernis,misalnya warga Muhammadiyah,mencoblos PKS dengan alasan partai ini lebih ’’Islami” dibanding yang lain. Di antara pertanyaan krusial yang muncul,akankah kelompok-kelompok Islam yang mendukung ataupun simpati terhadap corak Islam politik PKS selama ini tidak mengalihkan dukungannya jika PKS betul-betul memutuskan diri dan konsekuen sebagai partai pluralis? Pengalaman Amin Rais bersama Partai Amanat Nasional (PAN),yang sejak awal mengaku partai terbuka saat Pemilu dan Pilpres 2004 patut dijadikan cermin. Amin mencoba memperluas basis dukungan dengan merambah kantong-kantong muslim tradisionalis dan abangan.

Pada kenyataannya,terobosan PAN sebagai partai pluralis tidak banyak membantu dalam meraup dukungan.Bahkan, disinyalir cukup banyak pemilih dari warga Muhammadiyah maupun kelompok muslim modernis yang menjatuhkan pilihan pada partai lain lebih karena alasan platform partai ataupun pragmatis,mungkin dengan mengecualikan saat pilpres putaran pertama.Sirkulasi dukungan terhadap partai politik pada Pemilu 2004 memperlihatkan bahwa arus sirkulasi (perpindahan/peralihan dukungan) suara masih sebatas lintas partai dalam satu kelompok ideologi politik (Baswedan,2004). Pada tahap ini,perkembangan terbaru itu di tubuh PKS mengonfirmasi temuan Anis Baswedan bahwa Islam politik di Indonesia telah mengalami transformasi dan diferensiasi.Kondisi yang berbeda dengan masa Demokrasi Liberal pada era 1950-an dan Orde Baru (Asean Survey, Vo 44,2004).Fenomena pendirian Baitul Muslimin Indonesia (Bamuis) di lingkungan PDIP dan geliat ataupun revitalisasi sayap-sayap Islam di tubuh partai nasional- sekuler lain membuktikan aspek pilihan berdasarkan pertimbangan ideologis masih mendapat tempat dalam wacana politik Indonesia meski secara umum politik aliran sudah pudar sebagaimana dilontarkan Lance Castle,Bill Lidde,dan Saiful Mujani.

Membuka diri tidak cukup dengan melakukan koalisi dengan partai-partai non- Islam dan kesediaan mencalonkan anggota DPRD dari kalangan nonmuslim. Lebih dari itu,yang lebih substantif adalah sikap itu menjiwai garis kebijakan partai serta berdampak pada posisi politik yang jelas baik di parlemen maupun pemerintah.Apakah kader-kader partai berani memilih nonmuslim sebagai pengurus sekaligus menempatkan hak politiknya sejajar dengan pengurus muslim? Apakah PKS mempunyai political will merekonstruksi konsep fikih politik Islam (fiqh al siyasah) yang selama ini menomorduakan warga nonmuslim? Akankah putusan PKS nanti berkorelasi positif dengan mengalirnya arus dukungan dari pemilih lintas kelompok sosial dan agama atau sebaliknya,pangkal titik balik defisit dukungan dari massa tradisionalnya selama ini?

Sejauh ini,pengakuan para petinggi partai seperti tercermin di beberapa media masih dangkal,keterbukaan adalah pluralitas budaya sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW melalui Piagam Madinah.Padahal,konsepsi ummah (masyarakat) dalam piagam ini mengacu pada pengertian yang kita kenal sekarang sebagai pluralisme. Pada akhirnya,keterbukaan partai melahirkan peluang sekaligus dilema bagi kepentingan PKS.Keterbukaan akan membuatnya memiliki peluang meraih basis dukungan massa yang lebih luas. Tidak sebatas kalangan muslim puritanmodernis, juga kelompok-kelompok sosial yang tertekan maupun terpinggirkan. Saat yang sama,langkah ini akan sangat berisiko membuat pendukung utamanya kecewa dan lari.Sebuah langkah yang mempertaruhkan reputasi sekaligus masa depan partai dakwah ini di mata konstituen fanatiknya yang selama ini dikenal eksklusif dan mayoritas berbasis gerakan salafi-tarbiyah.Tidak banyak partai politik berbasis Islam yang berhasil mulus melewati ujian kotak pandora bagi Islam politik ini.(*)

Tafsir Multikultural: Jihad Melawan Kejumudan Teks

Fajar Riza Ul Haq
Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan Staf Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS Solo
(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di www.islamlib.com, 04/04/04)

Agama semitik meyakini diyakini teks merupakan fakta historis untuk pewujudan kalam suci ilahi yang otentik. Secara paralel, sikap hormat masyarakat muslim semakin meneguhkan akar tekstualitas dalam tradisi Islam. Untuk membangun keberagamaan yang multikultural --sembari tetap berakar pada tradisi teks-- kita perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran.

Dalam tradisi agama semitik, teks mendapat tempat dan perlakuan sangat istimewa. Teks diyakini merupakan fakta historis untuk pewujudan kalam suci ilahi yang otentik. Melalui mushaf suci Tuhan sebagai pencipta, maharaja aras mayapada, mengundangkan norma-norma bagi tata sosial kemanusian. Dan Islam adalah salah satu agama yang menempatkan kitab suci Alquran dalam posisi tertinggi dalam sistem hukumnya. Sepanjang sejarah, Islam dikenal agama yang paling gigih menjaga otentisitas kitab sucinya. Masyarakat Islam sangat fanatik mensakralkan keberadaannya, menghapal ayat-ayatnya, serta menjungjung tinggi kandungan maknanya.

Secara paralel, sikap hormat masyarakat muslim untuk menjaga dan mengabadikan perkataan-perkataan Muhammad Rasulullah (hadis) semakin meneguhkan akar tekstualitas dalam tradisi Islam. Kokohnya tradisi penghormatan dan ketatnya sistem seleksi teks telah menstimulasi sejarah perkembangan Islam dalam kerangka peradaban teks. Teks–teks Alquran dan hadis dijadikan rujukan legitimasi dan alat justifikasi dalam pelbagai wacana ilmiah maupun politik. Fenomena ini menyebabkan absurditas, bahkan distorsi atas pesan-pesan moral-kemanusian Islam, utamanya ketika batasan-batasan antara interpretasi, kepentingan kelompok (manipulasi teks), dan sikap transendensi terhadap kitab suci menjadi kabur. Pada konteks inilah, pemahaman yang tepat atas eksistensi teks, konstruksi sosial, dan identitas penafsir menjadi kunci hermeneutik untuk membuka oase tafsir sosial masyarakat muslim terhadap Alquran dan hadis di tengah tantangan modernitas dan globalisasi.

Selamanya ini terdapat kesan yang kuat menghinggapi mayoritas pemikir-pemikir Islam, bahwa tradisi keberagamaan yang berbasis pada teks merupakan faktor determinan yang memasung kreativitas nalar dan membelenggu ekspresi masyarakat Islam. Realitas sosial Islam terpenjara dalam konstruksi teks yang statis. Dampaknya, dunia Islam mengalami alienasi terhadap modernitas dan gagap menghadapi globalisasi budaya Barat. Asumsi ini berujung pada dakwaan bahwa tradisi teks Islam kontraproduktif dengan raison d`etre kehadiran Islam itu sendiri. Hemat penulis, asumsi ini mendapat bantahan sekaligus pembenaran secara sosiologis-historis.

Wajah Paradoks Sejarah Islam

Produktivitas khazanah keilmuan Islam yang melimpah, sejak zaman klasik sampai menjelang abad pertengahan, dan keberagaman budaya Islam dari semenanjung Arab sampai daratan Afrika dan Asia merupakan nomenklatur sosiologis keberadaan peradaban Islam. Fakta ini juga menunjukan bahwa Islam adalah agama yang memberi tempat sekaligus memayungi kemajemukan budaya. Pengakuan akan tradisi ikhtilaf (berbeda pamahaman) dalam tradisi Islam juga mengindikasikan atmosfir demokratis dalam relasi-relasi keberagamaan Islam awal. Makanya, sampai sekarang kita dengan mudah menjumpai pelbagai karya tafsir dan syarah hadist yang memakai pendekatan yang berbeda-beda. Ini karena pemuka Islam awal relatif berhasil melahirkan pemaknaan-pemaknaan teks dalam lanskap sosial historis yang plural, dengan berporos pada tafsir sosial Islam (interpretasi) yang dinamis, inklusif, dan plural.

Di sisi lain, iklim demokratis dalam pemahaman dan ekspresi keberagamaan berpengaruh kuat pada apresiasi dan interaksi Islam dengan realitas demografis dan kultural non-Arab yang unik seiring perluasan wilayah Islam. Pada ranah kebudayaan, tradisi teks yang berpijak pada pola-pola interpretasi yang dinamis, ternyata sukses merangkai apa yang dikatakan Sayyed Hossein Nasr sebagai “keragaman budaya dalam kesatuan spiritual”. Dalam terminologi budaya kontemporer, kita dapat mengungkapkan bahwa bahwa tradisi teks (selalu) memiliki ruang untuk merajut peradaban dalam semangat multikulturalisme. Dengan begitu, wajah peradaban Islam merepresentasikan keragaman budaya (lintas etnik). Geo-politik multikulturalisme Islam ketika itu dapat dipetakan pada lima kawasan, yaitu Arab, Iran, Turki, Melayu, dan Afrika Hitam.

Tapi sayang, tergusurnya paradigma penalaran (burhani) dalam pola interpretasi teks-teks agama telah mengukuhkan dominasi paradigma analogi-tekstual (qiyas-bayani). Paradigma ini berusaha menundukan realitas yang terus berubah di dalam dunia teks tanpa mempertimbangkan konstruksi-konstruksi sosialnya. Setiap kebenaran diderivasi dari tekstualitas teks dan bersifat tunggal. Monopoli pemahaman keagamaan seperti ini telah menyeret ekspresi dan pengalaman Islam dalam wajah yang tunggal, di samping aksentusi kebudayaan yang homogen. Pasca kemunduran Islam yang diikuti kemajuan Barat, masyarakat Islam secara kultural seakan mengisolasi diri dalam dunia teks yang terpisah dari dinamika sosial. Pada saat itulah, asumsi bahwa tradisi teks telah memasung kebebasan bernalar dan pluralitas mendapat pembenaran sosiologis.

Multikulturalisme dan Tantangan Beragama

Kini, gelombang modernitas dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat kultural, etnik, ideologi, dan agama. Mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik, menciptakan keragaman dalam relasi-relasi keberagamaan. Kini, cukup sulit menemukan komunitas-komunitas sosial yang bisa konsisten memproteksi diri agar tetap menjadi kelompok sosial yang homogen dan monokultur. Fenomena multikultural sudah menjadi bagian dari imperatif peradaban manusia. Multikulturalisme melingkupi pluralitas ras, etnik, jender, kelas, dan agama sampai pilihan gaya hidup. Konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial, semua kelompok budaya dapat direpresentasikan dan hidup berdampingan bersama. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Untuk itu, wawasan tentang multikulturalisme perlu dikukuhkan (juga) dalam soal keberagamaan.

Maka, untuk membangun keberagamaan yang multikultural --sembari tetap berakar pada tradisi teks-- kita perlu kembali menempatkan paradigma tafsir sosial Islam yang mengedepankan pemaknaan-pemaknaan yang dinamis, progresif, dan toleran. Dengan begitu, dunia teks dan realitas sosial-empirik dapat berelasi secara mutual dan kritis, tanpa saling mensubordinasi yang lain. Paradigma hermeneutik sosial akan memicu pluralitas pemaknaan atas relasi antara teks dan konstruksi sosial.

Wawasan pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif, toleran, dan non-sektarian itu kini perlu dikembangkan lebih giat lagi untuk menggeser politik uniformitas agama yang dipaksakan melalui dominasi sistem sosial-politik. Pandangan ini penting disosialisasikan untuk menepis anggapan yang mempertentangkan antara tradisi teks Islam dengan realitas multikulturalisme. Sebagai ideologi partisipatoris, multikulturalisme mengusung prinsip-prinsip keragaman, kesetaraan, dan penghargaan atas yang lain, sebagaimana bunyi pesan-pesan moral Islam untuk memperjuangkan kemanusiaan secara total. Dengan demikian, kita harus menyadari bahwa proses menafsir dan mendesain Islam sebagai tenda peradaban, baik dalam cita terlebih dalam fakta sosiologis merupakan jihad peradaban kita yang paling besar. []

Muhammadiyah, Pancasila, dan Kepemimpinan Inklusif

Fajar Riza Ul Haq
Direktur Program Maarif Institute for Culture and Humanity
(Tulisan Pertama Kali Dipublikasikan di HU Jawa Pos dan www.Islamlib.com, 24/07/06)



Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah berpaut erat dengan perjuangan kebangsaan dan keindonesiaan. Secara khusus, Bung Karno memberikan apresiasi tinggi terhadap peran Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam perintisan gagasan nasionalisme bangsa. Presiden pertama Republik Indonesia ini menyebut Ahmad Dahlan sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pergulatan intelektualismenya disamping H.O.S. Cokroaminoto (2001:178). Pada masa kemerdekaan, Muhammadiyah berada di garis terdepan dalam proses perumusan dasar negara. Inklusivitas Muhammadiyah yang ditunjukan Kasman Singodimejo, tokoh penting Muhammadiyah pada masa awal kemerdekaan, dalam perumusan Pancasila menjadi kunci bagi lahirnya negara Indonesia yang majemuk. Kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan dan sosial telah berhasil menopang program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Muhammadiyah dikenal sebagai satu organisasi sosial keagamaan mainstream yang memiliki komitmen terhadap gagasan keadaban sosial dan kebangsaan yang majemuk.

Berangkat dari kenyataan historis tersebut, menarik untuk ditanyakan, bagaimana Muhammadiyah merespon gejala syariatisasi bahkan fundamentalisasi telah menjadi bagian dominan dalam dinamika keagamaan saat ini? Kemunculan berbagai berbagai gerakan maupun kelompok yang mengusung ideologi Islam dan syariah Islam seakan mengepung organisasi mainstream Muhammadiyah dan NU. Kuatnya arus konservatisme-fundamentalisme Islam tersebut dikhawatirkan banyak pihak akan mendeterminasi NU dan Muhammadiyah untuk bersikap “diam” bahkan cenderung “mendukung” gerakan-gerakan Islam politik.

Misalnya, Prof. M.C. Ricklefs mensinyalir hasil dari proses Muktamar Malang 2005 memcerminkan kemenangan sayap konservatif di Muhammadiyah. Ambivalensi Muhammadiyah terhadap wacana Syariah Islam dan wacana-wacana produk modernitas-Barat (baca: demokrasi, HAM, pluralisme) bisa menjadi indikasi adanya krisis kepemimpinan organisasi, baik secara organisatoris dan ideologis.

Merespon fenomena tersebut, Prof. Dr. Din Syamsudin menegaskan bahwa Pancasila merupakan pilihan final bagi Muhammadiyah. Pernyataan ini disampaikannya dalam pertemuan dengan kalangan diplomat AS di Washington baru-baru ini. Meskipun begitu, penegasan ini belum mampu mementahkan kekhawatiran banyak kalangan terhadap kuatnya pengaruh konservatisme dalam Muhammadiyah. Bahkan di kalangan internal Muhammadiyah sendiri sudah cukup banyak suara-suara yang mencemaskan kondisi Muhammadiyah pasca Muktamar Malang 2005. Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, sangat mencemaskan dominasi peran konservatisme tersebut dalam roda organisasi yang telah dipimpinnya selama 7 tahun (1998-2005). Secara khusus, beliau sangat menyesalkan perubahan nama “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam” menjadi “Majelis Tarjih dan Tajdid” dalam periode sekarang padahal lembaga ini merupakan ikon sekaligus lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Muhammadiyah. “Muhammadiyah telah mundur 50 tahun ke belakang”, demikian ungkap Prof. Amin Abdullah menanggapi perkembangan Muhammadiyah tersebut.

Pada sisi lain, kedekatan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi wahabisme telah memudahkan proses infiltrasi ideologi Islam politik ke dalam tubuh Muhammadiyah. Beberapa lini penting di amal usaha Muhammadiyah, utamanya institusi pendidikan, mulai dipengaruhi bahkan ditempati oleh kelompok-kelompok yang justru mencoba menggeser orientasi ideologi moderat Muhammadiyah. Kelompok-kelompok tersebut telah masuk dan menduduki pos-pos strategis di beberapa institusi pendidikan Muhammadiyah, seperti perguruan tinggi, pondok pesantren, serta madrasah. Infliltrasi ideologis itu sudah dimafhumi namun secara organisatoris serta ideologis elite Muhammadiyah belum banyak bersikap kongkrit.

Dengan mencermati perkembangan Muhammadiyah di atas, sesungguhnya yang sedang terjadi dalam Muhammadiyah adalah krisis kepemimpinan, baik secara organisatoris maupun ideologis. Kampanye anti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme yang diusung kelompok-kelompok keagamaman konservatif-fundamentalis mendapat simpati bahkan dukungan dari kalangan kampus Muhammadiyah. Dalam skala yang lebih luas, kelompok-kelompok keagamaan telah terlibat dalam tindakan-tindakan intimidasi, kekerasan, bahkan penyerangan terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan agama.

Yang membikin miris nurani adalah kemudian fatwa MUI dijadikan dalih pembenaran atas setiap tindakan pemaksaan, kekerasan, diskriminasi dan pemberangusan kebebasan beragama seperti tercermin pada kasus-kasus di atas. “MUI mengeluarkan fatwa boleh-boleh saja, tetapi harus bisa membaca peta sosiologis bangsa karena bisa menimbulkan bentrokan sosial” (Republika, 15/02/06), demikian kritik Ahmad Syafii Maarif dalam menanggapi fatwa MUI. Lebih lanjut, mantan Ketua PP Muhammadiyah ini menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap siapapun, termasuk Ahmadiyah, tidak bisa dibenarkan dari segi apapun, baik ajaran Islam, nilai-nilai Pancasila, maupun sisi kemanusiaan. Belakangan, polemik RUAPP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) telah membelah opini masyarakat dalam kelompok ekstrem, yakni pro dan kontra. Kemunculan Majalah Playboy edisi Indonesia di tengah situasi ini praktis menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang selama ini keukeuh mendesak disyahkannya RUAPP. Jika wabah anti perbedaan dan anti dialog ini berkembang bahkan mengakar maka kondisi ini menjadi tantangan serius bagi proses pembangunan tata sosial yang inklusif, beradab, toleran, dan demokratis.

Pada konteks ini, laporan Folke Bernadotte Academy, Swedia, menggarisbawahi bahwa kepemimpinan yang baik (good leadership) lebih terkait dengan kapasitas dan kapabelitas kolektif untuk menciptakan perubahan. Kapasitas tersebut tidak harus bertumpu pada individu tertentu namun dapat juga dalam bentuk kapasitas organisasi maupun gerakan (2005: 11). Dengan ungkapan lain, regenerasi kepemimpinan yang moderat sekaligus pluralis membutuhkan satu capacity building yang mendukung orientasi tersebut. Krisis kepemimpinan yang sekarang melanda berbagai organisasi maupun kelompok sosial berpengaruh terhadap proses konsolidasi demokrasi dan cita-cita tatanan sosial yang inklusif dan pluralis.

Potret buram masyarakat Indonesia tersebut sungguh mengejutkan. Keberagamaan masyarakat Indonesia yang menurut Farid Esack (2004) merupakan produk dari pluralisme agama justru seakan mengingkari keberbedaan (multikulturalisme) dan keberbagaian (pluralisme) bangsanya sendiri. Padahal kehidupan keberagamaan Indonesia mendapatkan apresiasi positif bahkan dianggap sebagai ikon negara Muslim moderat terbesar di Asia Tenggara. Studi Robert Hefner (2001) menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU merepresentasikan kekuatan sipil Islam yang berperan dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun berkaca pada rentetan kasus di atas, nampaknya tesis Esack dan Hefner mendapat ujian serius karena fenomena yang berkembang belakang tersebut justru menunjukkan hal yang bertentangan.

Mempertimbangkan kondisi sosial kebangsaan di atas, pembenahan sekaligus penguatan kepemimpinan kekuatan-kekuatan sipil Islam yang toleran, inklusif dan demokratis harus secepatnya dilakukan. Infiltrasi idelogis oleh kelompok-kelompok pro syariah, pro khilafah, serta anti demokrasi dan HAM terhadap kekuatan sipil Islam semacam Muhammadiyah jelas merupakan ancaman serius. Langkah strategis untuk membendung sekaligus mengebalkan kekuatan-kekuatan sipil Islam dari infiltrasi ideologis tersebut adalah penguatan serta reformasi training kepemimpinan kaum muda Muhammadiyah yang berpusat di kampus-kampus. Masa depan kepemimpinan akan banyak ditentukan oleh dinamika peta dominan di basis-basis proto-kekuatan masa depan itu sendiri, perguruan tinggi.[]

Muhammadiyah dan Suksesi Nasional 2009

Fajar Riza Ul Haq

Direktur Program MAARIF Institute dan

Chevening Fellow, Universitas Birmingham, UK.

( Pertama kali dipublikasikan di HU Republika, 5 Maret 2009)



Muhammadiyah menyelenggarakan Sidang Tanwir 5-8 Maret 2009 di Bandar Lampung, satu purnama menjelang Pemilu 9 April. Tanwir kedua dalam periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005-2010) kali ini mengusung tema “Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa”. Satu pertanyaan agak klasik ditengah situasi politik bangsa yang kian memanas layak diajukan, apakah forum tertinggi setelah muktamar ini merupakan ajang konsolidasi Muhammadiyah dalam menghadapi pesta demokrasi lima tahunan tersebut?

Sejatinya, sidang tanwir merupakan bagian tak terpisahkan dari agenda konsolidasi dan evaluasi organisasi setiap 1-2 tahun selama satu periode kepemimpinan yang berlangsung lima tahun. Tradisi tanwir ini sudah terbangun lama seiring dengan perkembangan Muhammadiyah sendiri sejak 1912. Dalam catatan sejarah organisasi yang meraksasa dengan ratusan amal usaha pendidikan dan kesehatan ini, nilai strategis sidang tanwir tidak hanya pada aspek legalitas sikap resmi organisasi namun juga bagaimana sebuah gagasan perubahan berhasil diinkubasi untuk kepentingan bangsa. Contoh terbaik untuk kasus terakhir adalah gagasan suksesi nasional pada masa Orde Baru yang dilontarkan Amien Rais pada Sidang Tanwir di Surabaya, Desember 1993.

Dalam banyak kasus, ada relasi yang jelas antara perhelatan satu sidang tanwir dan kondisi politik bangsa yang sedang berlangsung. Tentu ini suatu hal logis mengingat Muhammadiyah sangat berkepentingan dengan masa depan Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam tema tanwir kali ini yang mempertegaskan komitmen Muhammadiyah untuk berkiprah lebih luas dalam koridor kebangsaan. Terlebih, tidak sedikit kader-kadernya yang terjun maupun aktif dalam kancah politik. Amien Rais dalam wawancaranya dengan Suara Muhammadiyah, Edisi Pebruari 2009, menggaris bawahi bahwa tidak ada salahnya kader Muhammadiyah ikut terlibat dalam arena politik untuk mencegah munculnya kekuasaan politik yang dimonopoli orang-orang yang tidak paham perjuangan Muhammadiyah.

Semangat demikianlah yang menjadi tonggak transformasi kader Muhammadiyah dari ranah persyarikatan dan umat menuju kader bangsa. Bahkan Ahmad Syafii Maarif dalam banyak kesempatan di forum-forum Muhammadiyah mulai menekankan pentingnya “revisi” prioritas ranah juang kader yang selama ini masih mengedepankan semangat kader persyarikatan. Menurut penasehat PP Muhammadiyah ini, sudah seharusnya Muhammadiyah memproyeksikan proses kaderisasi yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan kemanusiaan. Dengan ungkapan lain, sebagai organisasi dakwah modern, Muhammadiyah harus menerjemahkan gagasan-gagasan pembaharuan sosial-keagamaaannya pada domain persoalan kenegaraan dan kemanusiaan yang inklusif.

Civil Society dan Politik

Sebagai kekuatan civil society yang menopang konsolidasi demokrasi, wacana politik dan kepemimpinan nasional bukanlah hal tabu untuk dibicarakan dalam arena tanwir. Beberapa perhelatan sidang tanwir, khususnya sejak era reformasi, selalu dihadapkan ataupun membahas persoalan politik kebangsaan. Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) pada tahun 1999 dan Partai Matahari Bangsa (PMB) belakangan ini sulit untuk dipisahkan dari dinamika tersebut meskipun sering dianggap sebagai dua bab terpisah dalam percaturan organisasi ini. Pasca hiruk pikuk PAN, kehadiran PMB yang dibidani sejumlah kader ideologis-biologis Muhammadiyah dalam kontestansi pemilu besok tak pelak mengundang sejumlah pertanyaan terkait masa depan keberjarakan Muhammadiyah dengan institusi partai politik. Kalangan PMB mengklaim bahwa embrio partai yang berasas Islam berkemajuan ini adalah rekomendasi Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, Desember 2004.

Dalam konteks ini, netralitas Muhammadiyah sebagai garda civil society dalam gelandang politik merupakan posisi yang tidak bisa ditawar. Kepemimpinan Syafii Maarif (1999-2000; 2000-2005) menjadi salah satu contoh terbaik bagaimana ormas Islam ini menjunjung tinggi prinsip netralitas organisasi di atas perkawanan. Persoalan netralitas Muhammadiyah menjelang pemilu dan pilpres besok merupakan topik perbincangan menggairahkan belakangan ini di kalangan Muhammadiyah meskipun secara formal tidak mungkin keluar dari pakem gerakan dakwah dan sosial. Inilah saat Muhammadiyah diuji (kembali), seperti disuarakan judul Suara Muhammadiyah edisi baru-baru ini.

Isu menarik yang akan mencuri perhatian para peserta tanwir adalah spekulasi masa depan Din Syamsuddin selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah. PMB sudah lebih awal mendeklarasikan Din Syamsuddin sebagai calon presiden untuk pemilihan presiden (pilpres) 2009. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini juga diminati beberapa partai lain untuk dijagokan dalam pilpres besok. Namun dalam banyak kesempatan Din selalu menyampaikan bahwa keputusan terkait kesertaan dirinya di ajang piplres sangat tergantung sikap dan dukungan politik Muhammadiyah. Sesuai SK PP Muhammadiyah No 101/KEP/I.0/B/2007 yang melarang dualisme kepengurusan, siapapun pengurus Muhammadiyah yang masuk ke dunia politik praktis, baik sebagai calon anggota legislatif maupun jabatan politik lainnya, harus melepaskan jabatan strukturalnya di Muhammadiyah. Andai sidang tanwir memberikan lampu hijau dan Din tegas bersedia untuk maju dalam pertarungan pilpres mendatang berarti sinyal ini menandai akan adanya peralihan kepemimpinan di tubuh ormas Islam ini.

Tapi apakah dorongan kembali agar Muhammadiyah berkontribusi lebih dalam suksesi nasional nanti akan menggelinding deras di forum tanwir kali ini? Banyak faktor dan aktor yang akan sangat menentukan, apalagi masalah ini kemungkinan besar tidak masuk dalam agenda resmi tanwir. Suatu kondisi yang mungkin tidak bisa disamakan dengan suasana psikologis warga Muhammadiyah pada Pemilu dan pilpres 2004. Namun rekomendasi Tanwir II Pemuda Muhammadiyah di Makassar, Agustus 2008, sangat terang meminta Muhammadiyah untuk mendorong kader terbaiknya untuk terjun dalam suksesi kepemimpinan nasional mendatang. Tidak bisa dinafikan bahwa semangat rekomendasi itu mengarah kepada pimpinan puncak Muhammadiyah saat ini. Sesungguhnya aspirasi ini sempat menyeruak dalam Sidang Tanwir di Yogyakarta, April 2007, dalam sesi pandangan umum Ikatan Remaja Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah.

Sikap politik Muhammadiyah terkait suksesi kepemimpinan 2009 akan semakin jelas terlihat arahnya pada sidang tanwir kali ini. Kesiapan dan totalitas organisasi akan sangat menentukan langkah Din selanjutnya. Kondisi sebaliknya akan berdampak lain pula. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa suara-suara di level wilayah dan daerah masih belum padu. Faktor aspirasi dan afiliasi partai politik warga Muhammadiyah yang beragam memainkan peran penting dalam proses tarik menarik ini. Bila persoalan ini dilihat dalam kerangka pertarungan kutub-kutub politik yang ada, maka Golkar, PAN, PKS, PPP, bahkan PMB sama-sama memiliki jaringan dan akses ke semua lini organisasi Muhammadiyah. Namun jika relasional ini yang mengedepan maka sangat tidak kondusif bagi persyarikatan. Oleh karena itu, perlu kedewasaan dan ketegasan bersama dari pelbagai aktor di Muhammadiyah dalam menyikapi sekaligus mensukseskan agenda pemilu dan pilpres 2009.

Melampaui polemik ini, hajatan Tanwir di Bandar Lampung tentu akan menjadi momentum terbaik Muhammadiyah untuk melakukan konsolidasi internal organisasi sesuai amanat Muktamar 2005 di Malang. Yang pasti, sebagai organisasi yang dewasa, Muhammadiyah harus tetap menampilkan keteladan dan sikap lebih arif dalam praktek berdemokrasi dan bernegara sebagaimana tema tanwir. Selamat bermusyawarah. Wallahu`alam.

Thursday, July 12, 2007

PERADABAN ZAKAT DAN AGENDA PENCERDASAN UMAT[1]

Menyalurkan zakat bukan sebatas berderma - yang sebagian besar masih bersifat konsumtif - tetapi harus betul-betul menyentuh dimensi pemberdayaan masyarakat sehingga mereka sadar serta mampu memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara bahkan manusia pada umumnya. Gerakan zakat, infak, dan sedekah yang sempat dicanangkan pemerintah pada bulan Oktober 2005 dirasa masih belum optimal karena sudut pandang terhadap ketiga elemennya tidak berkolerasi langsung dengan konteks struktural masyarakat. Poinnya adalah analisis gerakan organisasi-organisasi pengelola zakat harus berdasarkan pada analisis struktural; kesenjangan ekonomi, kemiskinan struktural, keterbelakangan pendidikan, dan memperjuangkan akses-akses publik untuk masyarakat miskin.

Mengkorelasikan zakat dengan permasalahan struktural tentunya bukan hal yang baru. Penulis buku mengingatkan bahwa praktek pengelolaan zakat pernah menorehkan catatan emas pada saat pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Indikator keberhasilan tersebut adalah “tidak ada lagi yang mau menerima zakat, semua rakyat merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat), bukan lagi mustahik (penerima zakat)” (draf, 7). Zakat dianggap telah berhasil mengentaskan kemiskinan pada masa itu. Tentunya keberhasilan Khalifah Umar menarik angka kemiskinan ke angka 0 tidak cukup dijelaskan dengan kaca mata tingkat kesalehan individu belaka namun juga harus dilihat secara makro serta konteks sosial-politik saat itu.

Pada dasarnya, masalah kemiskinan selalu berhimpitan dengan minimnya bahkan terkuncinya akses/kesempatan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya ekonomi. Yang harus dipentingkan dalam proses ini adalah mendongkrak kualitas ekonomi masyarakat miskin – yang sebagian besar umat Islam - dan akses mereka terhadap pendidikan. Dalam pidato iftitah di Tanwir Muhammadiyah tahun 2003, di Makasar, saya mengingatkan bahwa pilar untuk membangun bangsa yang sudah rapuh-renta karena digerogoti penyakit korupsi adalah perbaikan mentalitas dan sistem pendidikan kita yang kacau balau. Tanpa mengarusutamakan peningkatan kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat miskin dalam program-program aksi umat Islam, cita-cita untuk membangun peradaban zakat masih akan merupakan gumpalan asap gagasan.

Oleh karenanya, sebagai instrumen untuk membangun tatanan kemanusiaan-berkeadilan, reformulasi pengelolaan zakat tidak bisa tidak menyangkut permasalahan kemanusiaan yang bersifat struktural, utamanya kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kebodohan, dan pengangguran. Muhammad Akram Khan dalam An Introduction to Islamic Economics (1994) memasukkan zakat sebagai elemen penting dalam gerakan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Dalam konteks relasi masyarakat dan negara, institusi zakat bisa dianggap sebagai pranata politik kewargaan sehingga berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar warga negara, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, serta jaminan sosial.

Perkembangan Forum Organisasi Zakat (FOZ) dan Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT), seperti disinggung oleh penulis buku, merupakan harapan sekaligus modal penting untuk membangun komitmen kolektif di antara organisasi pengelola zakat pada skala luas. Jika ini terus bergulir dan diorganisir secara maksimal, zakat akan menjadi kekuatan tersendiri dalam kancah perekonomian global. Kesempatan ini sangat terbuka karena élan vital zakat adalah kepedulian terhadap domain-domain sosial-budaya marginal dan pemihakan terhadap distribusi keadilan.

Akhirnya, proyek peradaban zakat yang hendak ditawarkan tidak bisa hanya bertopang pada ketiadaan “kelas mustahik” dalam tubuh umat Islam namun juga harus disertai oleh political will dari setiap individu untuk mendistribusikan akses-akses terhadap sumber daya dan produksi yang dimilikinya secara tepat dan adil. Dengan begitu, zakat menjadi menjadi ujung tombak dalam agenda pengentasan kemiskinan dan pencerdasan umat. Di sinilah urgensi kehadiran lembaga-lembaga zakat. Semoga kehadiran buku ini mampu merangsang umat Islam secara umum untuk terus berjihad melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan ekonomi melalui pengorganisasian dan mobilisasi gerakan zakat. Wallahu`alam.




[1] Ditulis bersama Prof. Ahmad Syafii Maarif sebagai Pengantar dalam Didin Hafidhuddin dan Ahmad Juwaini, “Membangun Peradaban Zakat”, 2007.

HAMKA, SYAFII MAARIF, DAN PROBLEM PLURALISME[1]

Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, sosok Buya Hamka merupakan pribadi besar yang lahir dari tanah Minang dan eksistensinya cukup fenomenal dalam peta pemikiran Islam Indonesia. Secara pribadi, perkenalan Syafii Maarif dengan Hamka berawal ketika ia menuntut ilmu di Madrasah Mu`allimien Muhammadiyah di Lintau, Sumatera, dan di Yogyakarta (1950-1956). Ditinjau dari sejarah perkembangan Muhammadiyah, Hamka adalah salah seorang pelopor gerakan ini di bumi Minangkabau disamping Dr. H. Abdulkarim Amrullah, Jusuf Abdullah, dan A.R. Sutan Mansur.

Sehingga, tidak mengherankan jika mantan Ketua PP Muhammadiyah ini sangat mengagumi kepribadian Buya Hamka seperti tercermin dari otobiografinya. “…siapapun yang mengaku menjadi pemimpin Muhammadiyah di Ranah Minang tetapi tidak kenal dengan pribadi-pribadi besar tersebut adalah sebuah malapetaka sejarah. Meraka akan kehilangan pedoman dan acuan dalam bermuhammadiyah” (2006: 12). Suatu ketika seorang kader Muhammadiyah yang sedang menyelesaikan studi program master di Maroko mewawancarai Syafii mengenai pengaruh Hamka terhadap pembentukan kepribadiannya. Dalam wawancara tertulis itu, ia menjawab bahwa “pada usia remaja, Hamka mempengaruhi cara pikir saya mungkin melebihi yang lain, sampai suatu saat saya membaca Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, disamping pemikir-pemikir Barat yang juga saya geluti” (15 Juli 2001).

Dalam spektrum yang lebih luas, Hamka adalah pemikir modern Muslim di abad ke-20 yang sangat produktif melahirkan karya tulis, setidaknya tercatat sekitar 100 buah. John L. Esposito dalam Oxford History of Islam (2000) mensejajarkan Hamka dengan Muhammad Iqbal, Sayyid Akhmad Khan dan Muhammad Asad. Pada saat ia membandingkan Hamka dengan pemikir-pemikir modern Muslim lainnya, Syafii menilai Hamka kurang bersikap kritikal terhadap khazanah pemikiran klasik dan abad pertengahan, padahal ini penting untuk merekonstruksi masa depan Islam (2006: 226).

Meskipun begitu, seperti yang diungkapkannya dalam Resonansi “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” (21/11/2006), penafsiran Hamka dalam konteks relasi antar agama menyuarakan pandangan maju dan relevan dengan konteks sosiologis masyarakat Indonesia. Inilah alasan mengapa Buya Syafii mengajukan penafsiran Hamka ayat 62 Al-Baqarah dan 69 Al-Maidah menyikapi eskalasi konflik dan kekerasan yang melibatkan sentimen agama. Menurut Syafii, pendapat Hamka yang menolak pembatalan (mansukh) ayat 62 Al-Baqarah dan 69 Al-Maidah oleh ayat 85 Al- Imran mencerminkan sikapnya agar umat manusia dapat hidup berdampingan secara toleran, menghormati setiap perbedaan, menjaga keyakinan masing-masing, dan menjungjung tinggi kebebasan. Disini, Syafii tidak hanya membaca tekstualitas/permukaan penafsiran Hamka namun juga membaca ulang secara kritis sehingga melahirkan pembacaan yang kreatif dan dinamis.

Problem (Otoritas) Pembaca

Tulisan “Hamka dan Pluralisme Agama” oleh Adian Husaini dan “Menyelami Penafsiran Buya Hamka” oleh Syamsul Hidayat (Republika, 1/12/006), menanggapi Resonansi tersebut sebagai bentuk pengakaburan terhadap penafsiran Hamka terkait ayat 62 Al-Baqarah dan ayat 69 Al-Maidah. Menurut kedua penulis, penafsiran Hamka tidak sehaluan dengan paham pluralisme agama. Hal ini didasarkan pada pembacaan keduanya terhadap maksud kandungan kedua ayat tersebut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa pandangan Hamka sangat jauh berbeda dengan paham pluralisme agama. Lalu, mengapa perbedaan ini bisa muncul padahal berangkat dari rujukan yang sama? Mungkin kalau Hamka masih hidup akan lain ceritanya.

Bagi kalangan post strukturalisme, pengarang sudah tidak lagi memiliki otoritas terhadap karyanya ketika itu sudah menjadi teks terbuka dan dibaca orang lain. “Pengarang sudah mati”, kata Roland Barthes. Pada saat itu, makna dan tafsir teks berada sepenuhnya di tangan para pembaca. Otoritas masing-masing pembaca terhadap teks/tafsir tidak absolut sehingga makna maupun pemahaman yang diproduksinya pun bersifat relatif dan partikular. Salah satu cara untuk mendekatkan makna teks seperti yang dimaksudkan pengarang adalah masuk ke dalam jantung kesadaran intelektualnya sembari mendalami sisi-sisi personalitasnya secara komprehensif. Pada konteks ini, siapapun pembaca tidak bisa memposisikan diri sebagai penerjemah otentik, terlebih penyambung lidah, karena seperti dikatakan Clifford Geerzt bahwa realitas (teks/tafsir) pada kenyataannya perwujudan jaring-jaring makna dari proses interpretasi.

Pada sisi lain, pendekatan munasabah al ayat yang diterapkan kedua penulis tersebut mengindikasikan pemahaman yang bercorak tekstual-literal yang tidak memperhitungkan analisis historis, sosiologis, serta psikologis. Implikasinya adalah pemahaman terhadap Al Quran maupun teks tafsir bisa bersifat dangkal dan mudah terjebak ke dalam sikap sosial yang apologetik dan eksklusif (Abdullah, 2005: 11). Dengan menggunakan pendekatan ini, pemahaman yang dihasilkan cenderung tidak memberi ruang toleransi, apresiasi, dan pengakuan terhadap pihak lain, utamanya pemeluk agama lain. Tentunya hal ini dapat menyulut sikap-sikap intoleran dan fanatisme buta yang pada akhirnya akan membuat rapuh kohesivitas sosial dan rentan konflik.

Jaminan Hak Hidup

Hamka mungkin tidak pernah menyinggung permasalahan pluralisme agama secara literal namun dengan latarbelakang sosial Minangkabaunya yang egaliter dan demoktarik serta penguasaannya terhadap filsafat dan etika membuat setiap percikan gagasannya terasa kuat menyuarakan nilai-nilai moral, toleransi, dan menghormati perbedaan. Bukankah ini nilai-nilai esensial dari konsep – yang disebut Adian dan Syamsul - pluralisme agama? Jika kita memakai kerangka teori yang ada, maka sesungguhnya toleransi dan menghormati perbedaan keyakinan sudah termasuk dalam kategori ini (Eck, 2002). Terlebih, Hamka menerjemahkan Islam sebagai sistem etik dan moralitas moderen (Howell, 2002).

Namun sayang, kedua penulis mengidentikkan konsep pluralisme agama dengan premis tunggal bahwa semua agama sama. Jelas ini merupakan penyederhanaan dan hanya menampilkan satu ranah saja dari wacana pluralisme agama. Misalnya, Paul Knitter dalam One Earth Many Religions (1995) memposisikan pluralisme agama sebagai panggilan universal kepada umat manusia untuk melakukan dialog sosial (praksis) sehingga manusia dari berbagai agama dan kepercayaan dapat bekerjasama menghadapi tanggungjawab global kemanusiaan, seperti kemiskinan, diskriminasi, penindasan, konflik antar agama, terorisme, ketidakadilan. Jadi, konsep pluralisme agama tidak hanya dan semata-mata menyamakan satu agama dengan yang lain. Celakanya, pemahaman yang sepotong-potong inilah yang ditelan mentah masyarakat awam sehingga menimbulkan kerawanan konflik berbau SARA.

Hemat saya, yang lebih mendasar dalam permasalahan ini, khususnya terkait pertanyaan SMS seorang jenderal polisi kepada Buya Syafii, adalah komitmen Islam menjamin hak hidup bagi setiap anak adam yang terlahir, apapun latarbelakang sosial-agamanya. Penjaminan terhadap hak hidup berkonsekwensi terhadap penerimaan untuk hidup bersama secara toleran dan damai. Hal inilah yang dicontohkan sejarah abad pertengahan sebagaimana dicatat S.D. Goitein (1971) bahwa kaum Yahudi dan Kristen telah hidup bersama tanpa kebencian dengan kaum Muslim dalam satu kesatuan negara. Dengan demikian, nilai dasar pluralisme dalam pandangan Islam bisa dimaknai sebagai adanya jaminan hak hidup dan hak menentukan pilihan secara merdeka, egaliter, toleran, dan adil. Semoga kita bisa belajar. Wassalam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika