Thursday, July 12, 2007

HAMKA, SYAFII MAARIF, DAN PROBLEM PLURALISME[1]

Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, sosok Buya Hamka merupakan pribadi besar yang lahir dari tanah Minang dan eksistensinya cukup fenomenal dalam peta pemikiran Islam Indonesia. Secara pribadi, perkenalan Syafii Maarif dengan Hamka berawal ketika ia menuntut ilmu di Madrasah Mu`allimien Muhammadiyah di Lintau, Sumatera, dan di Yogyakarta (1950-1956). Ditinjau dari sejarah perkembangan Muhammadiyah, Hamka adalah salah seorang pelopor gerakan ini di bumi Minangkabau disamping Dr. H. Abdulkarim Amrullah, Jusuf Abdullah, dan A.R. Sutan Mansur.

Sehingga, tidak mengherankan jika mantan Ketua PP Muhammadiyah ini sangat mengagumi kepribadian Buya Hamka seperti tercermin dari otobiografinya. “…siapapun yang mengaku menjadi pemimpin Muhammadiyah di Ranah Minang tetapi tidak kenal dengan pribadi-pribadi besar tersebut adalah sebuah malapetaka sejarah. Meraka akan kehilangan pedoman dan acuan dalam bermuhammadiyah” (2006: 12). Suatu ketika seorang kader Muhammadiyah yang sedang menyelesaikan studi program master di Maroko mewawancarai Syafii mengenai pengaruh Hamka terhadap pembentukan kepribadiannya. Dalam wawancara tertulis itu, ia menjawab bahwa “pada usia remaja, Hamka mempengaruhi cara pikir saya mungkin melebihi yang lain, sampai suatu saat saya membaca Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman, disamping pemikir-pemikir Barat yang juga saya geluti” (15 Juli 2001).

Dalam spektrum yang lebih luas, Hamka adalah pemikir modern Muslim di abad ke-20 yang sangat produktif melahirkan karya tulis, setidaknya tercatat sekitar 100 buah. John L. Esposito dalam Oxford History of Islam (2000) mensejajarkan Hamka dengan Muhammad Iqbal, Sayyid Akhmad Khan dan Muhammad Asad. Pada saat ia membandingkan Hamka dengan pemikir-pemikir modern Muslim lainnya, Syafii menilai Hamka kurang bersikap kritikal terhadap khazanah pemikiran klasik dan abad pertengahan, padahal ini penting untuk merekonstruksi masa depan Islam (2006: 226).

Meskipun begitu, seperti yang diungkapkannya dalam Resonansi “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah” (21/11/2006), penafsiran Hamka dalam konteks relasi antar agama menyuarakan pandangan maju dan relevan dengan konteks sosiologis masyarakat Indonesia. Inilah alasan mengapa Buya Syafii mengajukan penafsiran Hamka ayat 62 Al-Baqarah dan 69 Al-Maidah menyikapi eskalasi konflik dan kekerasan yang melibatkan sentimen agama. Menurut Syafii, pendapat Hamka yang menolak pembatalan (mansukh) ayat 62 Al-Baqarah dan 69 Al-Maidah oleh ayat 85 Al- Imran mencerminkan sikapnya agar umat manusia dapat hidup berdampingan secara toleran, menghormati setiap perbedaan, menjaga keyakinan masing-masing, dan menjungjung tinggi kebebasan. Disini, Syafii tidak hanya membaca tekstualitas/permukaan penafsiran Hamka namun juga membaca ulang secara kritis sehingga melahirkan pembacaan yang kreatif dan dinamis.

Problem (Otoritas) Pembaca

Tulisan “Hamka dan Pluralisme Agama” oleh Adian Husaini dan “Menyelami Penafsiran Buya Hamka” oleh Syamsul Hidayat (Republika, 1/12/006), menanggapi Resonansi tersebut sebagai bentuk pengakaburan terhadap penafsiran Hamka terkait ayat 62 Al-Baqarah dan ayat 69 Al-Maidah. Menurut kedua penulis, penafsiran Hamka tidak sehaluan dengan paham pluralisme agama. Hal ini didasarkan pada pembacaan keduanya terhadap maksud kandungan kedua ayat tersebut sehingga sampai pada kesimpulan bahwa pandangan Hamka sangat jauh berbeda dengan paham pluralisme agama. Lalu, mengapa perbedaan ini bisa muncul padahal berangkat dari rujukan yang sama? Mungkin kalau Hamka masih hidup akan lain ceritanya.

Bagi kalangan post strukturalisme, pengarang sudah tidak lagi memiliki otoritas terhadap karyanya ketika itu sudah menjadi teks terbuka dan dibaca orang lain. “Pengarang sudah mati”, kata Roland Barthes. Pada saat itu, makna dan tafsir teks berada sepenuhnya di tangan para pembaca. Otoritas masing-masing pembaca terhadap teks/tafsir tidak absolut sehingga makna maupun pemahaman yang diproduksinya pun bersifat relatif dan partikular. Salah satu cara untuk mendekatkan makna teks seperti yang dimaksudkan pengarang adalah masuk ke dalam jantung kesadaran intelektualnya sembari mendalami sisi-sisi personalitasnya secara komprehensif. Pada konteks ini, siapapun pembaca tidak bisa memposisikan diri sebagai penerjemah otentik, terlebih penyambung lidah, karena seperti dikatakan Clifford Geerzt bahwa realitas (teks/tafsir) pada kenyataannya perwujudan jaring-jaring makna dari proses interpretasi.

Pada sisi lain, pendekatan munasabah al ayat yang diterapkan kedua penulis tersebut mengindikasikan pemahaman yang bercorak tekstual-literal yang tidak memperhitungkan analisis historis, sosiologis, serta psikologis. Implikasinya adalah pemahaman terhadap Al Quran maupun teks tafsir bisa bersifat dangkal dan mudah terjebak ke dalam sikap sosial yang apologetik dan eksklusif (Abdullah, 2005: 11). Dengan menggunakan pendekatan ini, pemahaman yang dihasilkan cenderung tidak memberi ruang toleransi, apresiasi, dan pengakuan terhadap pihak lain, utamanya pemeluk agama lain. Tentunya hal ini dapat menyulut sikap-sikap intoleran dan fanatisme buta yang pada akhirnya akan membuat rapuh kohesivitas sosial dan rentan konflik.

Jaminan Hak Hidup

Hamka mungkin tidak pernah menyinggung permasalahan pluralisme agama secara literal namun dengan latarbelakang sosial Minangkabaunya yang egaliter dan demoktarik serta penguasaannya terhadap filsafat dan etika membuat setiap percikan gagasannya terasa kuat menyuarakan nilai-nilai moral, toleransi, dan menghormati perbedaan. Bukankah ini nilai-nilai esensial dari konsep – yang disebut Adian dan Syamsul - pluralisme agama? Jika kita memakai kerangka teori yang ada, maka sesungguhnya toleransi dan menghormati perbedaan keyakinan sudah termasuk dalam kategori ini (Eck, 2002). Terlebih, Hamka menerjemahkan Islam sebagai sistem etik dan moralitas moderen (Howell, 2002).

Namun sayang, kedua penulis mengidentikkan konsep pluralisme agama dengan premis tunggal bahwa semua agama sama. Jelas ini merupakan penyederhanaan dan hanya menampilkan satu ranah saja dari wacana pluralisme agama. Misalnya, Paul Knitter dalam One Earth Many Religions (1995) memposisikan pluralisme agama sebagai panggilan universal kepada umat manusia untuk melakukan dialog sosial (praksis) sehingga manusia dari berbagai agama dan kepercayaan dapat bekerjasama menghadapi tanggungjawab global kemanusiaan, seperti kemiskinan, diskriminasi, penindasan, konflik antar agama, terorisme, ketidakadilan. Jadi, konsep pluralisme agama tidak hanya dan semata-mata menyamakan satu agama dengan yang lain. Celakanya, pemahaman yang sepotong-potong inilah yang ditelan mentah masyarakat awam sehingga menimbulkan kerawanan konflik berbau SARA.

Hemat saya, yang lebih mendasar dalam permasalahan ini, khususnya terkait pertanyaan SMS seorang jenderal polisi kepada Buya Syafii, adalah komitmen Islam menjamin hak hidup bagi setiap anak adam yang terlahir, apapun latarbelakang sosial-agamanya. Penjaminan terhadap hak hidup berkonsekwensi terhadap penerimaan untuk hidup bersama secara toleran dan damai. Hal inilah yang dicontohkan sejarah abad pertengahan sebagaimana dicatat S.D. Goitein (1971) bahwa kaum Yahudi dan Kristen telah hidup bersama tanpa kebencian dengan kaum Muslim dalam satu kesatuan negara. Dengan demikian, nilai dasar pluralisme dalam pandangan Islam bisa dimaknai sebagai adanya jaminan hak hidup dan hak menentukan pilihan secara merdeka, egaliter, toleran, dan adil. Semoga kita bisa belajar. Wassalam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika

No comments: