Thursday, July 12, 2007

MUHAMMADIYAH DAN FORUM PERDAMAIAN DUNIA[1]

Prakarsa Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyelenggarakann Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum), 14-16 Agustus 2006, di Jakarta, merupakan wujud peran aktif organisasi ini untuk memperjuangkan jejaring perdamaian ditengah ketidakadilan global yang mengangkangi martabat kemanusiaan. Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, 2005, warga Muhammadiyah mengamanatkan agar persyarikatan ini memainkan peran dalam menyikapi maupun menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan global (Berita Resmi Muhammadiyah, 2005: 182). Hal ini merupakan pengejawantahan komitmen kebangsaan dan kemanusiaan universal Muhammadiyah untuk membumikan doktrin rahmatan lil `alamin.

Penggunaan istilah “perdamaian” dalam Forum Perdamaian Dunia tersebut mencerminkan posisi, pandangan, serta sikap politik stakeholders Forum Perdamaian Dunia terhadap isu-isu kemanusiaan global, utamanya ketidakadilan global. Forum ini adalah arena dialog terbuka dengan melibatkan peserta dari beragam kalangan, yakni para pemimpin politik dunia, pemegang kebijakan, pemimpin agama, intelektual, dan aktivis. Dengan ungkapan lain, Forum Perdamain Dunia merupakan bentuk penamaan (naming) terhadap sebuah gagasan bersama untuk menemukan formulasi-formulasi kerjasama global di antara jejaring sosial dan aktor-aktor politik. Perdamaian merupakan proses politik, negosiasi kepentingan, bahkan pertarungan kekuasaan sehingga harus menyertakan semua stakeholders karena usaha-usaha mewujudkan perdamaian selalu membutuhkan perjuangan politik.

Agresi Israel ke Libanon akhir-akhir ini, yang tidak mengindahkan kecaman-kecaman dunia internasional, jelas merupakan beban politik tambahan bagi Forum Perdamaian Dunia. Daya imperatif forum ini semakin bertambah kuat karena digawangi langsung oleh organisasi keagamaan mainstream di negara mayoritas berpenduduk Muslim. Tindakan Israel merupakan bentuk vulgar ketiadakadilan global, satu kelas dengan terorisme. Membicarakan perdamaian dengan Israel bisa dikatakan merupakan hal mustahil, khususnya jika terkait dengan konflik Palestina. Adagium “peace for you, land for me” merupakan salah satu kredo zionisme yang menghalalkan tindakan-tindakan tidak manusiawi bahkan brutal sekalipun untuk merebut hak-hak Palestina. Tentunya masalah ini tidak akan luput dari perhatian Forum Perdamaian Dunia ini.

Satu Takdir, Satu Tanggungjawab

Forum yang akan dihadiri oleh puluhan aktivis perdamaian dari berbagai belahan dunia ini, dari Afrika hingga Amerika, mengangkat isu-isu kemanusiaan dan tantangannya, masa depan manusia di abab ke 21, serta format kerjasama global. Melalui tema “one destiny, one humanity, and one responsibility”, Muhammadiyah berusaha memfasilitasi lahirnya konsensus bersama untuk menggarap program-program aksi dalam rangka menyelamatkan nasib perdamaian yang kian tercabik. Pesan universal yang ingin disampaikan oleh pertemuan ini adalah kelompok-kelompok agama tidak bisa berjuang tanpa kehadiran dan kerjasama dari berbagai pihak dalam membumikan surga di bumi.

Eksplorasi kesadaran “satu takdir” di antara umat manusia secara politik menegasikan pertentangan Islam dan Barat seperti yang selama ini terbangun. Ketidakpercayaan dan kebencian yang terus tertanam di kedua belah pihak akan sangat merugikan masa depan keadilan dan manusia itu sendiri. Kemunculan teologi maut – meminjam istilah Buya Syafii – yang dibakar oleh semangat kebencian berkorelasi dengan ketidakpercayaan Barat terhadap Islam. Buya Syafii sering mengingatkan bahwa relasi Islam dan Barat selalu terjebak dalam isu-isu pinggiran yang justru melanggengkan kebencian di antara kedua pihak. Tanpa adanya komitmen untuk belajar mempercayai serta mengikis kebencian yang sudah terlanjur mengkarat, ketidakadilan dan kekerasan masih akan selalu menjadi tembong penghalang perdamaian global.

Hal lain yang penting dicatat dalam kegiatan ini adalah keyakinan bahwa memperjuangkan perdamaian sangat bergantung kepada komitmen bersama untuk toleran terhadap perbedaan sekaligus bekerja sama untuk agenda-agenda kemanusiaan seperti pengentasan kemiskinan, kesenjangan dan eksploitasi ekonomi, penegakkan HAM, dan perang terhadap terorisme. Menurut Hans Kung, masa depan manusia dan agama bergantung pada kemampuan agama itu sendiri untuk menjadi sumber kebebasan, mendorong sikap saling memahami, dan memiliki komitmen terhadap rekonsiliasi (2002: 203). Dan rekonsiliasi merupakan jembatan untuk meretas kerjasama dalam jejaring global.

Untuk menggapai rekonsialiasi dan kerjasama global, terlebih dulu harus tertanam dalam kesadaran beragama kita bahwa semua ras manusia, baik yang beragama maupun ateis, terikat oleh takdir yang sama, yaitu hidup di planet yang sama dan sedang menghadapi ketidakadilan global sebagai ancaman serius terhadap keberlangsungan relasional manusia yang adil, egaliter, dan beradab. Pada ranah inilah, diperlukan adanya kesadaran kolektif dan kohesivitas program aksi antar pihak di tengah pluralisme agama, budaya, dan bangsa.

Oleh karena itu, Forum Perdamaian Dunia dibangun atas dasar komitmen untuk berbagi nilai (shared values) dan berbagi pengalaman antar stakeholders. Proses pertukaran pada ranah wacana dan praksis gerakan diharapkan mendorong lahirnya norma-norma universal yang dalam istilah lain dikenal sebagai etika global. Dengan landasan ini, kerjasama atas dasar tanggungjawab bersama merupakan aliansi nyata yang bersifat global melawan ketidakadilan. Bekerja bersama dalam kerangka agenda-agenda kemanusiaan merupakan bentuk praksis dari sebuah dialog yang membebaskan. Nampaknya hal ini merupakan salah satu target utama dari kegiatan yang melibatkan peserta dari 29 negara ini.

Dalam pandangan Farid Esack, dialog yang bersifat praksis harus menyentuh aspek keberpihakan dan keadilan politik-ekonomi yang selama ini kurang mendapat tempat dalam proses-proses dialog antar agama. Mengedepankan peran agama dalam menghadapi ketidakadilan mengandaikan adanya kesadaran dan tindakan politik dari pemeluknya seperti yang diingatkan Esack. Dengan demikian, pencarian titik temu (common ground), identifikasi musuh bersama, dan rumusan program aksi bersama berpijak pada konteks struktural umat manusia, baik pada tingkat lokal maupun global, seperti keterbelakangan, ketidakadilan politik, kemiskinan, pengangguran, dan penegakkan HAM.

Bagi Muhammadiyah sendiri, menjalankan dakwah-kemanusiaan atas dasar prinsip tanggungjawab bersama untuk pencerahan peradaban sudah merupakan platform gerakannya. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana elite Muhammadiyah menjaga konsistensi dan sikap kritisnya dalam menyuarakan ketidakadilan, baik yang bersifat kultural maupun struktural. Hemat penulis, yang mendasar dari proses ini adalah adanya kesadaran untuk merekonstruksi imajinasi “musuh” dan “kita” dalam ideologi keagamaan karena ini sangat terkait dengan sosiologi dakwah umat Islam pada umumnya. Muhammadiyah dan juga organisasi keagamaan sejenisnya dituntut untuk mampu menjawabnya ditengah kompleksitas permasalahan kemanusiaan dewasa ini, khususnya meredefinisikan serta memetakan problem mendasar dakwah rahmatan lil `alamin. Wallahu`alam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika

No comments: