Thursday, July 12, 2007

Perempuan, Radikalisme Islam, dan Kemanusiaan

Agresi militer Amerika beserta sekutu ke Irak menuai kritik dan protes dari masyarakat dunia di berbagai kawasan. Aksi protes terhadap sikap pemerintah Bush ini tidak hanya muncul dari kalangan negara-negara berpenduduk muslim, bahkan muncul dari lapisan masyarakat di negara-negara Barat. Seperti dilansir berbagai media, gelombang demonstrasi menentang invasi militer AS terus berlanjut di Amerika, Inggris, Jerman, China, Prancis, Australia dan Indonesia.

Seiring keteguhan pendirian AS dan sekutu untuk menggulingkan rejim Saddam Husein melalui jalur perang, maka semakin deras pula gerakan-gerakan demonstrasi menentang cara-cara koboi yang dipertontonkan AS. Di tanah air sendiri, gerakan mengutuk aksi militer cukup marak, mulai dari aksi demonstrasi yang diprakarsai partai, koalisi anti perang yang disokong oleh banyak tokoh nasional, sampai kalangan pelajar. Kalau kita cermati berbagai gerakan anti perang tersebut, fenomena peran serta kaum perempuan cukup menonjol. Setidaknya perangkat analisis media secara kuantitatif memperlihatkan bahwa proporsi publisitas gerakan perempuan yang memperjuangkan upaya damai bagi penyelesaian masalah Irak cukup menyedot ruang-ruang pemberitaan media. Dan yang terpenting, dalam hampir semua aliansi gerakan demonstrasi, perempuan menempati jumlah yang relatif besar bahkan mayoritas.

Sebenarnya, keterlibatan dan peran aktif kaum prempuan dalam menyikapi permasalahan kemanusiaan global, seperti masalah perang, kemiskinan, kelaparan, krisis lingkungan dan penindasan kultural maupun struktural sudah berlangsung lama dengan narasi sejarah perjuangan feminisme yang berliku. Kesadaran kaum perempuan untuk memiliki hak identitas politik warga negara yang merdeka serta memberikan kontribusi yang sama dengan kaum pria bagi masa depan kemanusiaan menjadi salah satu landasan penting intervensi kaum perempuan terhadap realitas permasalahan kemanusiaan dalam wilayah-wilayah publik.

Catatan sejarah gerakan perempuan di berbagai kawasan dunia yang mencuat pada dekade 1960-an dan 1970-an menjadi preseden historis bahwa perempuan adalah salah satu aktor penting dalam menentukan kebijakan dan arah perubahan sosial. Dalam konteks ini, kita dapat menyebut gerakan perempuan di Filipina yang menjadi mobilisator massa dalam gerakan people power meruntuhkan rejim Marcos, gerakan perempuan Chili yang mampu mendorong proses demokratisasi politik, resistensi kaum perempuan di Australia yang melawan politik rasisme dan keterlibatan kaum perempuan muslim Palestina dalam gerakan Intifada.

Akumulasi realitas kesenjangan bahkan penindasan struktural maupun kultural terhadap perempuan pada akhirnya melahirkan gerakan pembebasan perempuan (feminisme). Pergulatan feminisme dengan perbedaan lokalitas, pluralitas identitas kultur serta tantangan isu-isu global mengantarkan perluasan area concern gerakan perempuan. Dalam kerangka ini, isu penindasan bahkan kolonialisasi kaum perempuan di dunia ke tiga yang diakibatkan oleh kebijakan politik dunia pertama menjadi fokus utama feminisme global. Gerakan terakhir ini, menekankan kepedulian kepada isu kolonialisme global, ketimpangan kebijakan politik dan ekonomi serta standar ganda negara-negara dunia pertama terhadap dunia ke tiga (Jurnal Perempuan, 2000). Untuk konteks ini, kasus Palestina, Afghanistan dan Irak menjadi contoh yang kasat mata untuk dilihat.

Radikalisme Islam

Sikap keras pemerintah AS untuk melibas rejim berkuasa di Irak sekaligus upaya mendirikan pemerintah protektorat (boneka) merupakan langkah bulus untuk mengamankan dominasi kepentingan ekonomi dan politik AS di Timur Tengah. Silang pendapat AS dan Inggris di satu pihak dengan Prancis, Rusia serta dukungan Cina dalam menyikapi masalah Irak mengindikasikan adanya perpecahan suara di kalangan negara-negara dunia pertama. PBB yang diharapkan sebagai tumpuan harapan untuk bersikap objektif terhadap Irak terkesan mengalami dilema. Di satu sisi, banyak pihak yang menilai bahwa perang bukan cara yang terbaik dan manusiawi untuk menyelamatkan masa depan manusia dari “teror” sebagaimana digembar gemborkan pemerintah AS. Mereka menyakinkan negara-negara dunia pertama dan lembaga-lembaga internasional agar tidak memberikan jalan bagi penyelesaian militer. Namun di sisi lain, propaganda AS dan Inggris seakan menyuguhkan satu pilihan yang tidak bisa ditawar, yaitu perang.

Provokasi dan kampanye perang AS terhadap Irak ternyata memicu kesadaran solidaritas kemanusiaan masyarakata internasional. Unjuk rasa yang mengecam hegemoni kepentingan AS pun merebak, menjamur dan menjadi fenomena global. Puluhan ribu pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan. Ditengah kebisingan muntahan rudal, jerit rintihan anak serta tangis pilu kaum ibu yang kehilangan sanak keluarga, menyeruak kekhawatiran akan adanya kemunculan gerakan-gerakan radikal Islam dalam upaya menentang arogansi AS dan sekutunya. Sebagaimana jauh-jauh hari disinyalir PM Mahathir Mohamad, "perang di Irak akan melahirkan al-Qaidah al-Qaidah baru".

Menurut Chandra Muzafar, sinyalemen di atas bukan tanpa alasan. Tindakan agresi AS memang tidak bisa secara gegabah dinyatakan menabuh genderang perang terhadap Islam. Namun mata dunia sulit untuk dibutakan bahwa hampir 98 persen mayoritas penduduk Irak adalah muslim. Lebih jauh, sikap politik AS yang ambivalen bahkan diskriminatif dalam menyikapi senjata pemusnah massal dalam kasus Irak dan Korea Utara menyulut kecurigaan ideologis dari kalangan Islam. Berdasarkan penelitian Jamal Malik di Malaysia, kemunculan fenomena fundamentalisme maupun radikalisasi Islam vis a vis Barat terkait erat dengan dominasi kolonialisasi politik dan imperialisme budaya Barat modern pada kawasan-kawasan muslim. Untuk konteks ini, radikalisasi Islam harus baca dalam perwujudan ekpresi resistensi natural dari “sang liyan” (the other) yang mengalami subordinasi terhadap kekuatan dominan.

Dengan kerangka sosiologis ini, tidak tertutup kemungkinan premanisme kebijakan politik Bush akan mengundang (kembali) gerakan-gerakan Islam radikal di berbagai kawasan muslim. Bagaimanapun juga, pada dasarnya pilihan radikalisme beberapa kelompok Islam merupakan respon alamiah untuk mempertahankan keselamatan komunitasnya, bahkan dalam skala luas untuk melindungi harga kemanusiaan dari ancaman predator kemanusiaan itu sendiri. Narasi kerusuhan, konflik dan perang akan selalu meminta tumbal. Dan perempuan serta anak-anak adalah korban pertama. Padahal di pundak merekalah masa depan peradaban akan bersemi dan tumbuh.

Oleh karena itu, artikulasi perempuan dalam gerakan-gerakan protes anti perang memiliki genre tersendiri. Secara kritis, gerakan perlawanan kaum perempuan terhadap aneka usaha AS (dunia pertama) untuk menundukan setiap realitas otonom kepada kepentingan dominasi Barat mengimplikasikan dua hal secara paralel. Pertama, wacana tanding terhadap superioritas agensi patriakhal sebagai motor perubahan sosial. Kedua, sebagai palu godam yang merontokkan asumsi bahwa perempuan tidak memiliki hak politik berbicara dalam ruang-ruang publik.

Perang hanya akan menyisakan keterputusan mata rantai regenerasi sekaligus masa depan yang suram. Perang bukanlah pilihan yang bisa memutus tuntas permasalahan manusia yang mengaku beradab. Karena perang akan selalu mewariskan penderitaan bagi anak-anak dan kaum perempuan. Perempuan dan anak adalah dua soko utama bagi masa depan peradaban manusia. Keterlibatan kaum perempuan dari ragam etnik, bangsa bahkan agama dalam gelombang unjuk rasa menunjukan kesadaran kolektif global untuk menentang sekaligus melawan segala bentuk upaya penguasaan, kolonialisasi dan ketidakadilan kebijakan politik negara-negara dunia pertama yang terus membidik negara-negara kawasan dunia ke tiga.

No comments: