Thursday, July 12, 2007

Televisi dan Komersialisasi Agama[1]

Masalahnya adalah bukan apa yang kita tonton, melainkan mengapa kita menonton televisi. Lontaran bernada pesimistik-kritis Neil Postman ini terhadap eksistensi media televisi penting mendapat elaborasi. Karena televisi terlanjur menjadi ikon dan medium transformasi budaya elektronik. Tidak bisa kita pungkiri, televisi menjadi kendaraan yang efektif dalam mensublim pertukaran dan proses transformasi budaya tanpa harus melalui konfrontasi budaya secara langsung. Tanpa sadar, dunia maya televisi mampu mengatasi kesenjangan waktu dan kepentingan sekaligus mencairkan sekat-sekat budaya, sosial, ekonomi, politik dan agama dalam inter-koneksi kepentingan pemilik modal (iklan), televisi dan pemirsa televisi.

Persingungan agama dengan kepentingan pemilik modal (produsen) dan televisi sulit untuk dihindari. Sebagai sistem nilai moral-kemanusiaan, persenyawaan agama dengan medium-medium kebudayaan elektronik adalah sebuah keniscayaan. Tidak terkecuali pergulatan identitas keagamaan dengan budaya media televisi. Agama membahasakan sekaligus menerjemahkan pesan-pesan moral kemanusiaan dalam relasi-relasi kesejarahannya teraksentuasi dalam ragam simbol. Oleh karena itu, kehadiran simbol-simbol merupakan upaya untuk menghadirkan pemaknaan sejati atas sebuah meta realitas. Dalam kaitan inilah simbolisasi agama berkoeksistensi dengan karakteristik budaya elektronik, khususnya media televisi. Karena muatan televisi merupakan rekayasa simbolik dalam membangun pencitraan virtual, imajinasi bahkan menjurus sebagai mesin komersialisasi. Maka dunia televisi tidak lebih dari dunia virtual yang mengandung simulacra-simulacra, sebagaimana dikatakan Jean Baudliard.

Dalam kaitan inilah, beberapa pengamat media merasa bahwa televisi tidak dapat dilepaskan dari suatu sistem budaya komersial. Logika yang berjalan ialah dominasi muatan televisi yang bercorak hiburan menjadi karakteristik yang melekat. Oleh karena itu televisi bukan semata alat hiburan namun televisi sudah menobatkan kepentingan hiburan sebagai format dasar dalam menggambarkan segala sesuatu. Televisi mampu mempertemukan pemirsa dengan peristiwa-peristiwa di seluruh kawasan dunia tanpa meninggalkan wajah presenter atau pembawa acara dengan senyum yang terus mengembang. Persoalannya bukan semata-mata televisi memberi kita topik yang menghibur melainkan bahwa segala hal yang ditampilkan adalah untuk kepentingan konsumsi hiburan (Wibowo, Retorika, 2002).

Dalam perspektif kritis nilai-nilai kemanusiaan, siaran berita dan muatan tayangan televisi adalah hiburan. Itulah sebabnya dalam siaran berita meskipun menginformasikan korban peperangan dan kriminalitas namun tetap saja diakhir berita penyiar ataupun presenter dengan senyum menawan mengatakan bahwa satu jam ke depan kita berjumpa dengan kelanjutan berita peristiwa. Kepentingan pemilik modal untuk menciptakan televisi sebagai mesin komersial menempatkan muatan televisi dalam format-format hiburan. Program komersial ini tidak hanya berdampak akan menyeret kepentingan promosi produk (iklan) ke dalam bahaya laten sebagai ekses sugesti televisi terhadap masyarakat. Justru yang lebih berbahaya ketiadaan transparansi publik dalam menyebutkan hal-hal kualitatif dari produk yang diiklankan. Iklan televisi tidak berkisah mengenai produk, melainkan mengenai bagaimana seharusnya seseorang menjalani hidup. Oleh karena itu iklan lebih mendahulukan kebutuhan psikologis para pemirsa, yaitu gaya hidup.

Fenomena Bulan Ramadan

Televisi akan mereproduksi setiap ragam peristiwa dan momentum bersejarah yang mengemuka di jagat bumi ini. Mulai dari fenomena kelaparan, kemiskinan, kebanjiran, ketegangan diplomasi politik, kerusuhan, konflik, peperangan, terorisme, sampai ritualitas-ritualitas dalam tradisi agama-agama. Seperti dikemukakan diatas, ritualitas dan fenomena keagamaan akan berkoeksistensi dengan pencitraan virtual dan imajinasi televisi. Maka bukan sesuatu yang aneh jika kemudian televisi mempunyai kepentingan untuk mengekspos dan mempublikasikan peristiwa dan fenomena keagamaan. Demi kepentingan kebutuhan pasar dan mensugesti publik pihak pemilik modal memasang beragam iklan beraroma bahkan berbaju agama namun paralel dengan kepentingan konsumtif pemirsa terhadap produk-produk pemilik modal. Pada garis inilah televisi memainkan peran sebagai lidah pemilik modal melalui penayangan iklan-iklan untuk menjerat nalar konsumtif publik.

Memasuki bulan Ramadan, masyarakat muslim biasa disuguhi aneka acara dan iklan televisi yang mempergunakan simbol-simbol Islam. Intensitas pemakaian simbol-simbol agama dalam penyajian acara maupun iklan mengalami grafik naik ketika memasuki bulan Ramadan. Semenjak pagi dini hari, pemirsa muslim sudah dimanjakan sajian-sajian acara keagamaan dan hiburan ramadan. Setiap stasiun televisi berlomba-lomba menawarkan racikan acara keagamaan sepanjang jam tayang. Para pemilik modalpun rama-rame memasang iklan-iklan dengan memakai simbol-simbol keagamaan. Dan ini bagian dari strategi pasar untuk mengundang hasrat konsumtif publik masyarakat muslim.

Pemirsa disuguhi imajinasi-imajinasi kesempurnan beribadah puasa. Iklan dan acara (sinetron/film) hiburan keagamaan mencoba membangun brain image apa arti kesempurnaan puasa dan beribadah. Pada tahap inilah sadar atau tidak, telah terjadi komersialisasi agama. Beberapa contoh komersialisasi agama, diantaranya iklan sarung yang mengklaim sebagai sarung yang nyaman dan pantas dipakai untuk sholat ke mesjid dan berlebaran, masakan mie instans menjadi santapan lezat dan bergigi saat berbuka puasa, cerita Pak Ustad yang selalu minum tablet mag kalau mendapat gangguan pada saat puasa, apa menu berbuka puasa yang ideal dan menyehatkan, bagaimana cara menjaga vitalitas dan kebugaran badan sampai gaya fashion yang islami, trendi dan modern ketika menyambut hari raya `idul fitri.

Fenomena semarak Ramadan dalam tampilan layar televisi menyuguhkan tarik menarik antara kepentingan memuliakan bulan Ramadan dan kepentingan mengeksploitasi emosi pemirsa muslim demi kepentingan pasar. Peran media televisi sebagai ikon budaya elektronik modern menjadi kekuatan yang mampu menggugah dan membangun syiar Islam adalah bagian dari harapan ideal pemirsa muslim. Namun imajinasi televisi relatif mudah membius logika akal sehat pemirsa. Pemakaian simbol-simbol agama oleh kalangan pemilik modal menempatkan televisi sebagai mesin komersialisasi publik yang ampuh. Televisi telah memanfaatkan simbol-simbol agama dalam rangka melipat gandakan keuntungan komersial. Dengan demikian, simbol-simbol agama akan bisa kehilangan makna substansinya jika ternyata produk yang memanfaatkan simbol tersebut menimbulkan efek samping yang berbahaya. Ketika media televisi menampilkan hiburan sebagai bagian yang dapat menarik keuntungan finansial sebesar-sebesarnya yang terjadi adalah sebuah pertentangan melawan prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan agama. Maka tidak berlebihan, jika Postman dengan nada getir mewanti-wanti bahaya laten sajian-sajian televisi. Termasuk sajian-sajian semarak Ramadan dalam layar televisi.



[1] Tulisan pernah dimuat di HU SOLOPOS

No comments: