Monday, July 9, 2007

THE END OF TOLERANCE, THE END OF DEMOCRACY?
Kajian Atas Peran Agama-agama
*

Aksi propaganda dan introgasi (militer) Amerika dan negara-negara Barat terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggra saat ini, langsung maupun tidak, dengan sendirinya menelanjangi paradok-paradok yang selama ini bersemayam dalam tubuh (kepemimpinan) Amerika/Barat. Klaim Amerika sebagai polisi dunia, Wisnu modernitas penabur dharma demokrasi dan figur Rama pencerahan penyemai perdamaian tidak lebih dari aksesoris mitos modernitas. Amerika (baca: Barat) berhasil meneguhkan wacana dominasinya diatas pluralitas suku, ras, bangsa, ideologi dan agama tanpa menyisakan ruang toleransi. Globalisasi adalah klimak fenomena paradok-chaotic kemanusian pasca zaman pencerahan. Sebagaimana jauh-jauh hari diingatkan para kritikus sosial posmodern bahwa sisi-sisi paradok globalisasi melahirkan sejuta kesempatan sekaligus membuka sisi gelap kemanusiaan (side dark efect, Foucault). Lenyapnya penghargaan terhadap keberagaman historisitas agama, ideologi dan politik serta keunikan lokalitas budaya menandai denting lonceng kematian toleransi dalam keberagaman itu sendiri.

Toleransi dan Demokrasi, Twins`s Freedom !
Toleransi berasal dari kata tolerantia (Latin), tollerantz (Jerman). Pada awalnya kata ini dipakai dalam konteks politik. Martin Luther tercatat orang pertama yang mengintrodusirnya dalam konteks sosial. Jan Phillipp mensketsa ulang toleransi sebagai konsepsi nilai-nilai perdamaian dan kebebasan yang digerakan oleh hasrat mempelajari satu dengan yang lain untuk mencapai tingkat pro-eksistensi. Isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) berubah seolah tombak bermata dua bagi kepentingan hegemoni Amerika dan negara Barat lainnya terhadap negara dunia ketiga menyiratkan tergusurnya nilai-nilai toleransi dari bingkai demokrasi dan HAM oleh relasi kuasa dan kepentingan. Negara-negara dunia ketiga, teraktual menimpa negara mayoritas berpenduduk Islam, merupakan korban-korban yang mudah kita jumpai. Mengikuti epistemologi teori kritis Mazhab Frankfurt, tiada kepentingan tanpa kepentingan (Bartens, 2002), isu-isu tunggangan globalisasi tersebut sarat muatan kepentingan ideologis. Sudut pandang yang dipakai Barat dalam memahami realitas negara-negara dunia ketiga itu dalam atmosfere superiority complex dan konfrontatif. Jelas tidak ada ruang bagi mekarnya tunas toleransi dalam panggung keragaman (tolerance in diversity).

Adalah Deutsche Bank satu dari sekian corporasi global yang mendedikasikan kajiannya pada isu keragaman dan toleransi. Motto with an open mind :tolerance and diversity, tanda komitmen lembaga ini dalam menyikapi masalah kemanusiaan kaitannya dengan keragaman dan toleransi. Peristiwa 11 September 2001 menjadi topik perbincangan serius dikalangan petinggi Deutzsche Bank. Peluncuran buku The End Of Tolerance pada tahun ini oleh lembaga tersebut adalah keberhasilan Walter Homolka sebagai Direktur Eksekutif menggandeng sederet intelektual kelas dunia (dari Hans Kung sampai Bassam Tibi) untuk me-redefinisi konsep toleransi. Walter menggariskan bahwa prasyarat (prerequisite) tegaknya demokrasi adalah toleransi karena keduanya merupakan saudara kembar dari simbol kebebasan (freedom`s twin). Toleransi, kebebasan dan mutual understanding sendiri pilar agama yang menopang daya dialektik agama, ideologi dan kepentingan politik dengan ragam entitas lain. Pada poin inilah toleransi dan agama mencapai titik temu dalam bingkai etik global dan kemanusiaan.

No Global Peace without Global Ethos
WTC 11 September 2001 melahirkan efek domimo yang mampu merubah peta konstalasi politik global. Legian Kuta Bali, 12 Oktober 2002, telah merobek keperawanan eksotisme Indonesia di mata publik internasional. Kontan sindrom terorisme global menjangkiti state of mind dan memori kolektiv dunia. Wacana terorisme yang dikembangkan Amerika saat ini menjadi basis cara pandang dan kerangka dasar kebijakan luar negeri Amerika, termasuk negara-negara maju, dalam menyikapi dan menekan kepentingan-kepentingan di negera-negara Islam dan negera berpenduduk muslim. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di kawasan Asia bahkan dunia tidak luput dari korban cara pandang paranoid Amerika. Kuasa wacana terorisme, meminjam tradisi Foucaldian, Amerika terhadap Indonesia terus menggurita seiring rontoknya mitos Pulau Dewata. Kuasa wacana terorisme berhasil menyeret Indonesia dalam kondisi gamang bahkan pada tingkat tertentu pada terikat pada posisi ketidakberdayaan.

Isu terorisme ini secara tidak langsung menumbuhkan iklim intimidasi bagi kelangsungan relasi harmoni agama-agama. Para pakar dari berbagai disiplin ilmu dipaksa untuk mereview ulang konsep toleransi dalam relasi keragaman dan perbedaan. Validitas toleransi menurut pemaknaan konvensional ternyata tidak mampu menampung paradok-paradok globalisasi. Manusia dan agama terancam memfosil oleh timbunan isu-isu modernitas.

Menurut Hans Kung, masa depan manusia dan agama dewasa ini tergantung kepada kemampuan agama untuk memposisikan sebagai a source of freedom, mutual understanding and reconsiliation (The end of tolerance, 2002: 203). Kerangka ini akan mendorong manusia beragama komitmen untuk menebarkan pesan-pesan perdamaian dalam horison mutual understanding di antara curamnya tebing pluralisme dan terjalnya isu multikulturalisme. Deklarasi Etika Global pada tahun 1993 oleh parleman agama-agama dunia di Chicago diharapkan menjadi kekuatan tanding dominasi politik dan ekonomi negara-negara Barat. Deklarasi ini penjelmaan pesan moral etik yang bersifat universal. Etika Global diproyeksikan kekuatan moral yang mampu mengkerangkakan globalisasi.
Toleransi dalam manifesto kemanusiaan diatas dimaknai nilai kebajikan universal yang bersifat aktif memperjuangkan perdamaian. Dalam konteks ini spirit toleransi memancarkan aura perenialitas dalam keragaman dan perbedaan. Mahmoud Zakzouk memahami toleransi merupakan ungkapan kesadaran untuk bersikap jujur terhadap realitas (ibid. , 234). Sedang Bassam Tibi menempatkan perenialitas toleransi tersebut dalam bagian moralitas supra-kultural (ibid. , 243). Sebuah nilai moralitas yang melampaui sekat-sekat kultural. Tepat kiranya jika Hans Kung merangkum postulasi etika dan toleransi ini dalam ungkapan, no global peace without global ethos, tiada perdamaian tanpa etika-etika global. Perdamaian global adalah keniscayaan. Namun itu semua harus menempatkan toleransi dan demokrasi sebagai norma universal dalam panggung keberagaman.

Wacana ‘the end of tolerance’ ini memiliki geneologi epistemologis pada isu besar ‘the end of epistemology’ dalam diskursus postmodernisme (Barker, 2000: 148). Bauman berasumsi bahwa postmodernisme memiliki daya potensi untuk menyuarakan politik pembebasan dalam ranah perbedaan, keragaman dan solidaritas. Ketidakpastian, ambivalensi dan ambiguitas wajah postmodernism membuka kran kemungkinan diterimanya ketidakmenentuan sebagai realitas takdir. Dalam jalan inilah kita akan merenda masa depan manusia. langkah ini mengharuskan kita mentransformasikan toleransi kepada solidaritas (ibid., 149). Bagi Bauman, solidaritas adalah ikatan moral yang berorientasi sosial dan bersifat militan. Secara substantif, rekonstruksi pemaknaan toleransi dalam wacana ‘the end of tolerance’ paralel dengan visi transformatif toleransi dalam pemaknaan Zigmut Bauman. Wacana “the end of tolerance” memaknai toleransi melampaui kepentingan hegemoni modernitas.

Latar pandang ini, mengajak kita mempertanyakan kembali masa depan dan janji “mesianisme demokrasi”, setidaknya di mata negara-negara berpenduduk Muslim. Hemat penulis, gelombang demokrasi ketiga yang mulai berhembus pada dekade 1970-an, sebagaimana tesis Samuel Huntington, berada pada titik nadir krisis sejarah kemanusiaan. Mampukah agama-agama dunia membangun jaringan koalisi global untuk menangkar globalisasi dalam kanal etik global?, mungkinkah etik global agama-agama dunia tersebut melahirkan counter wacana terhadap gelombang demokrasi Barat ?. wallahu`alam


* Tulisan disajikan sebagai pengantar diskusi PC. IMM Sukoharjo, 26 Oktober 2002 .

No comments: