Thursday, July 12, 2007

KEMISKINAN, NEGARA, DAN PENDIDIKAN AGAMA[1]

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non Blok (GNB) ke-14 di Havana, Kuba, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa masa depan demokrasi dan perdamaian sedang terancam oleh kemiskinan. Salah satu formula yang ditawarkan untuk mengantisipasi ancaman tersebut adalah dengan masing-masing negara melaksanakan kewajibannya serta menjalin kerja-kerja kemitraan antar negara. Pernyataan Kepala Negara ini menarik untuk dicermati, khususnya dalam konteks Indonesia, mengingat polemik seputar masalah kemiskinan sempat mencuatkan tajam pasca pidato kenegaraan Presiden SBY di Dewan Perwakilan Rakyat, 16 Agustus 2006 dan Dewan Perwakilan Daerah, 18 Agustus 2006. Pada kesempatan yang hampir bersamaan, puluhan lembaga non-pemerintah (LSM/NGOs) Internasional berkumpul di Batam untuk menandingi pertemuan tahunan IMF dan Word Bank di Singapura. Mereka membahas berbagai permasalahan global yang terus menghantui negara-negara berkembang, utamanya isu kemiskinan dan penghapusan hutang.

Realitas kemiskinan telah menjadi tanggungjawab global karena berkaitan dengan harapan umat manusia yang mendambakan kemakmuran dan kesejahteraan. Pernyataan perang terhadap kemiskinan sebagaimana dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) mewakili satu optimisme bahwa lingkaran kemiskinan bisa dientaskan dengan kehadiran komitmen dan kerja bersama. Bahkan jauh-jauh hari Piagam Hak-hak Asasi Manusia 1948 telah mengumandangkan hak dasar manusia untuk hidup dan hak bebas, termasuk bebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketakutan. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan merupakan tanggungjawab konstitusional negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945.

Pesan mendasar dari amanat konstitusi ini adalah bahwa masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesejahteraan merupakan tanggungjawab negara. Kemanusiaan tidak hanya menjadi tanggungjawab sosial masyarakat namun justru tanggungjawab struktural negara. Secara substansial, realitas kemiskinan menandai ketidakmampuan individu untuk hidup secara manusiawi. Namun faktanya, kemiskinan sudah mendarah daging bahkan adalah realitas itu sendiri di masyarakat Indonesia. Kemiskinan lebih diyakini sebagai takdir teologis dan konsekwensi kultural daripada konstruksi struktural. Ini merupakan batu sandungan paradigmatik di tengah gencarnya upaya-upaya pengentasan kemiskinan.

Salah satu langkah strategis untuk mengubah cara pandang dan mental yang sudah terlanjur mengakar tersebut adalah memunculkan kesadaran serta sikap partisipatif bahwa kemiskinan adalah produk dari ketiadaan akses dan ketimpangan distribusi sosial. Dalam pandangan Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi berkebangsaan India, kemiskinan dan kelaparan sangat terkait erat dengan tidak berjalannya mekanisme demokrasi di negara-negara berkembang. Pada saat kemiskinan telah merasuki sistem nilai dan prilaku masyarakat, pendidikan merupakan media yang tepat untuk membongkar pandangan fatalistik sekaligus menanamkan kesadaran kritis bahwa kemiskinan merupakan permasalahan struktural yang menuntut tanggungjawab negara.

Pendidikan merupakan proses untuk menjadi manusia yang berlangsung dalam ruang, waktu, dan lingkungan tertentu sehingga pendidikan tidak bisa menafikan aspek budaya. Oleh karena itu, menurut H.A.R. Tilaar, pendidikan dan budaya merupakan satu kesatuan eksistensial. Lebih jauh ia menambahkan, pendidikan dalam konteks kebudayaan berhubungan dengan konsep kekuasaan. Yang dimaksud kekuasaan dalam hal ini adalah kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain. Berangkat dari sini, pendidikan dapat memiliki daya tawar untuk melakukan perubahan, termasuk merubah cara pandang masyarakat terhadap kemiskinan. Namun paradigma pendidikan, setidaknya tercermin dari muatan kurikulum, cenderung mengabaikan kemiskinan sebagai anomali struktural dan kultural. Yang terjadi, pendidikan tidak merefleksikan tuntutan sosiologis yang bersifat faktual dan empirik.

Pendidikan Agama Transformatif

Menilik pada paparan di atas, disamping sebagai realitas struktural, kemiskinan juga menyangkut sistem nilai dan pandangan hidup dominan dalam sebuah masyarakat. Disinilah peran pendidikan agama sangat penting untuk mendiseminasikan nilai-nilai keagamaan yang bersifat transformatif sehingga agama bisa menjadi spirit dalam gerakan-gerakan pengentasan kemiskinan. Agama harus diterjemahkan sebagai kekuatan sosial yang memperjuangkan hak-hak dasar kemanusian, baik yang bersifat universal maupun hak-hak kewargaan (citizen rights). Terlebih institusi agama seperti majelis taklim, pesantren, dan madrasah/sekolah memiliki kemampuan untuk memobilisasi masyarakat. Dengan demikian, agenda-agenda pengentasan kemiskinan tidak bisa semata mengandalkan asumsi bahwa kemiskinan merupakan tanggungjawab negara. Namun yang terpenting dalam proses ini adalah adanya kesadaran kritis dan aksi bersama dari masyarakat untuk menuntut negara menjalankan kewajibannya. Ini kunci agar negara mau serius menunaikan kewajibannya mensejahterakan warga negaranya.

Pada aras ini, pendidikan agama transformatif dituntut untuk memproduksi gagasan-gagasan keagamaan yang menyentuh permasalahan empirik-sosial. Nilai-nilai pendidikan agama hendaknya merepresentasikan kepekaan, solidaritas,dan tanggungjawab bersama yang bersumber dari sistem keagamaan. Islam memiliki sistem keagamaan yang kaya pengalaman berhadapan dengan permasalahan sosial kemanusian sejak awal kemunculannya di jazirah Arab. Menantu sekaligus sahabat Rasulullah, Ali Ibn Abu Thalib, sempat mengingatkan bahwa penyakit kemiskinan sangat rentan menjerumuskan si miskin ke dalam kekufuran. Makna kufur disini yang secara generik berarti “tertutup” ataupun “terhalang” mengimplikasikan adanya proses pengucilan, baik secara sosial dan politik, terhadap si miskin karena tidak adanya akses yang memadai sesuai kemampuan dan kebutuhannya.

Lebih jauh, kemiskinan merupakan anomali yang berpotensi menyeret individu maupun sekelompok orang melakukan tindakan-tindakan ekstrem dan anarkis yang dipicu oleh rasa keterasingan, rasa marah, serta kebencian. Ketidakadilan selalu melahirkan korban dan perusakan. Oleh karenanya, jika semangat dasar kenabian Muhammad SAW adalah menyempurnakan sistem nilai dan prilaku hidup manusia maka ajaran-ajaran Islam harus menyuarakan pesan-pesan yang mendukung bahkan memperjuangkan proses-proses memanusiawikan manusia. Ini sejalan dengan satu kaidah ushul fikih yang mengatakan bahwa sesuatu yang menyebabkan kesempurnaan satu kewajiban maka sesuatu itu pun menjadi wajib sifatnya.

Dengan begitu, pendidikan agama transformatif bersifat imperatif untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial kemanusian Islam yang memperjuangkan keadilan bagi semua pencari keadilan. Dalam konteks kehidupan berbangsa, kontribusi Islam sebagai agama keadilan sangat diharapkan untuk membongkar berbagai ketidakadilan, seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan diskriminasi, pada ranah struktural dan kultural. Wallahu`alam.



[1] Tulisan pernah dipublikasikan di HU Republika

No comments: