Kajian ini mengacu pada dua asumsi. Pertama, secara imaginatif, struktur sosial dan sistem kognisi publik masyarakat muslim diciptakan dalam konsfigurasi hegemoni kolonial sehingga respon dan ekspresi resistensi Muhammadiyah terhadap wacana kolonial berjalan pada latar poskolonial. Kedua, pergulatan dan pertarungan identitas religio-nasionalism Muhammadiyah dengan modernitas kolonial melahirkan respon kreatif bahkan apresiasi kritis untuk kepentingan gerakan pembebasan serta kebangsaan. Kedua asumsi ini merupakan pijakan dalam membangun pembacaan kritis interaksi Muhammadiyah dengan modernitas kolonial pada konteks pergulatan identitas kebangsaan.
Tafsir hermeneutik atas historisitas gerakan liberasi pada ranah keindonesiaan menempatkan Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan. Analisis kritik kesejarahan terhadap respon dan apresiasi kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial, disamping tradisionalisme Islam dan jawaisme, ditekankan pada siasat kebudayaan Muhammadiyah dalam proses pembentukan identitas nasionalitas dan perjuangan merebut kemerdekaan.
Gerakan kebangkitan intelektual Islam pada abad ke-20 menjadi sangat fenomenal ketika kekuatan dominasi politik negara-negara Eropa begitu melesak ke dalam jantung kesadaran masyarakat di kawasan Afrika,
Muhammadiyah dan Wacana Kolonial
Sepanjang abad ke-19, diskursus kolonial Hindia Belanda berusaha menaturalisasi obsesi superioritas ras beserta peranakannya di atas struktur sosial masyarakat pribumi. Sejalan dengan itu, ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan telah ditahbiskan untuk menjadi perangkat ideologis rejim kolonial yang berfungsi untuk menamakan serta mengklasifikasikan penciptaan hirarki tipologi ras. Arsitek sistem tanam paksa menciptakan pembagian universal antara orang Jawa dan ras Belanda dalam rumusan: “bahasa, warna, agama, moral, dan catatan sejarah, semua berbeda antara Belanda dan Jawa. Kita (colonial) yang mengatur, dan mereka (pribumi) yang diatur”.[4] Ekspresi diskriminasi politik ini menemukan bentuknya dalam kebijakan hukum, diskursus aktivitas misionaris, termasuk dalam topografi.
Studi sejarah pergerakan Islam di kawasan Asia Tenggara telah mencatat bahwa gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah memberikan andil penting bagi penyemaian sekaligus tumbuhnya benih-benih gerakan nasionalisme dalam proses de-kolonialisasi bangsa
Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai medium siasat dan strategi kalangan pribumi ketika dihadapkan dengan realitas pergulatan identitas, resistensi, akomodasi, dan negosiasi dengan modernitas kolonial. Preposisi ini mengukuhkan kebudayaan pada posisi penting sebagai salah satu kekuatan yang mendorong proses mobilitas politik dan solidaritas sosial organik dalam membangun jaring-jaring nasionalisme, merebut bola api kemerdekaan, serta menegakan cita-cita sosial bangsa. Dengan begitu, perjuangan kebangsaan melalui jalur kebudayaan ini memiliki lanscape pergerakan yang terbentang luas, mulai dari wilayah sosial, ekonomi, keagamaan sampai pendidikan.
Konsistensi kiprah persyarikatan Muhammadiyah dalam komitmennya sebagai gerakan kebudayaan telah menorehkan kontribusi pemikiran sekaligus peran aktif dalam proses mencerahkan kehidupan beragama, mencerdaskan dan menyadarkan harga diri umat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Latar belakang sosio-historis tersebut mendaulat Muhammadiyah sebagai salah satu
Beberapa teori dan perspektif sudah banyak dipakai untuk mengurai alasan-alasan heremeneutis yang memotivasi berdirinya gerakan Muhammadiyah.
Perdebatan yang mengemuka, menyarikan dua pandangan besar menyangkut faktor determinan kelahiran organisasi ini. Pandangan pertama menyatakan bahwa Muhammadiyah berdiri didorong oleh kuatnya arus penyebaran gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke
Sebagaimana dicatat Takashi Shiraisi, geliat kesadaran politik “bumiputra” mulai mengemuka pada awal abad ke-20. Fenomena gerakan rakyat dalam bentuk
Dalam kerangka pergerakan kebangsaan, basis sosial Muhammadiyah dan Sarekat Islam lebih mencerminkan aspirasi (politik) kelas menengah pribumi. Seperti halnya Budi Utomo dan organisasi priyayi lainnya, Muhammadiyah dan SI mengadopsi gagasan-gagasan kemajuan (modernitas) sebagai battle cry pergerakan. Tafsir sosial identitas Islam Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial yang ambigu merupakan akar intelektual bagi resistensi dan siasat kebudayaan Muhammadiyah. Inilah yang disebut –meminjam terminologi Amin Abdullah- sebagai social hermeneutic al Quran yang merupakan paradigma intelektual praksis sosial K.H. Ahmad Dahlan.[14]
Gerakan nasionalis di Hindia Belanda sepanjang tahun 1930-an mengalami intimidasi kebijakan-kebijakan kolonial, sehingga sebagian besar pemimpin gerakan pembebasan dan kebangsaan dipenjarakan. Politik kolonial ini menggiring sebagian gerakan-gerakan nasionalis untuk memilih jalur kultural sebagai alternatif gerakan. Pergeseran siasat perlawanan anti kolonialisme yang terjadi di kalangan organisasi-organisasi pribumi ini memaksa G.H. Bousquet untuk mengingatkan pemerintah Belanda yang memandang sebelah mata gerakan-gerakan keagamaan modernis. Bousquet mengatakan, “memang betul Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik namun anggota-anggotanya (memainkan peran aktif)”. Lebih dari itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah bak ladang subur bagi indoktrinisasi sentimen anti kolonialisme secara efektif.[15]
Parthe Chatterjee dalam The Nation and Its fragments mengajukan pendapat bahwa nasionalisme anti kolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri di dalam masyarakat kolonial, jauh sebelum ia memulai pertempuran politiknya dengan kekuasaan penjajah. Ini mengimplikasikan bahwa selain wilayah materi dari nasionalisme politik, terdapat juga wilayah spiritual di dalamnya, tempat identitas budaya otonom dipelihara.[16] Inilah yang mendasari pernyataan di awal bahwa identitas kebangsaan Muhammadiyah adalah nasionalisme keagamaan (religio-nasionalism).
Di sisi lain, modernitas bukan sesuatu yang dapat di hapus dari tanah jajahan, karena terjalin erat dengan kehadiran Hindia Belanda. Perusahaan Barat berusaha membuka pasar-pasar kolonial baru untuk memasarkan produk-produk industri sekaligus secara eksplisit menganjurkan
Kebijakan penguasa kolonial Belanda yang tidak netral terhadap Islam dan perlakuan istimewa menyangkut bantuan finansial pendidikan terhadap misionaris Kristen membuat berang kalangan Muslim. Secara terang, sikap diskriminatif rejim kolonial mengarah pada rasialisme identitas keagamaan karena pihak kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa Pemerintah Hindia Timur merupakan representasi sebuah negara Kristen.[18] Terlebih secara politis, masyarakat Islam dikategorikan dalam kasta “bumiputra”; sebuah klasifikasi politik kolonial yang memasung hak politik warga pribumi serta mengubur identitas kebangsaan. Pemerintah kolonial membatasi mobilitas sosial dengan memberi kualifi kasi tertentu pada orangtua calon pelajar untuk memperoleh pendidikan. Politik pendidikan kolonial ini mengakibatkan kemandulan mobilitas sosial yang hanya menghasilkan kaum terpelajar yang elitis.[19]
Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan ini berdampak pada peningkatan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan Kristen sekaligus berbanding terbalik dengan nasib pendidikan Islam yang sekarat. Kepentingan mendasar untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan masyarakat muslim pribumi, sekaligus membangun kekuatan perlawanan yang bersifat kultural merupakan alasan mengapa Muhammadiyah berorientasi pada pembaharuan sosial, reformasi sikap keberagamaan dan me-reformasi sistem pendidikan Islam. Secara substansial, inilah semangat dasar gagasan sosial Muhammadiyah. Menjadi tidak berlebihan bila lembaran sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa mencatat nama organisasi ini sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan yang terlibat dalam proses perumusan identitas nasionalitas dan kemerdekaan hak politik warga bangsa yang berdaulat.
Nomenklatur historis tersebut menyebabkan Alfian mengambil kesimpulan bahwa peran-peran Muhammadiyah dalam proses pembaharuan, setidaknya pada kurun kolonialisme, membawa dampak positif pada tiga wilayah, yaitu wilayah pembaharuan keagamaan, perubahan sosial dan politik.[20] Maka tidak mengejutkan jika Alwi Shihab berpendapat bahwa secara luas gerakan pembaharuan Muhammadiyah berdampak politis meskipun pada aras konsep strategi gerakan berada pada jalur pendidikan yang merupakan salah satu soko guru gerakan kebudayaan Muhammadiyah.
Dalam kaca mata posmodernisme dan cultural studies, relasi gerakan kebudayaan dengan politik tidak semata bersifat implikatif namun juga bersifat mutual karena kebudayaan memiliki muatan politis sehingga disebut cultural politics; yaitu budaya merepresentasikan kekuatan yang menegasikan ancaman dan hegemoni sekaligus mengafirmasi dimensi penguatan dan opoposional. Dengan kata lain, kebudayaan bukan merupakan praktek yang otentik sebuah masyarakat ataupun bagian dari manipulasi kepentingan kapitalisme, jutru ia menjadi locus perjuangan kelompok-kelompok lokal dan marjinal. [21]
Dan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dengan memasuki wilayah budaya menjadi salah satu tema penting dalam gagasan Amircal Cabral. Pemikiran Cabral mengenai teori nasionalisme revolusioner dan gerakan pembebasan nasional telah memberikan kontribusi yang berharga bagi gerakan-gerakan anti kolonialisme di Dunia Ketiga. Secara umum, ada empat gagasan terpenting Cabral bagi perkembangan teori kolonialisme/poskolonialime, yaitu konsepsi mengenai kolonialisme dan imperialisme; konsep sejarah yang menempatkan perjuangan kelas sebagai kekuatan menentukan; konseps borjuasi kecil yang dipandang menentukan transformasi hubungan-hubungan produk dan prilaku politik revolusi di Afrika; dan gerakan kebudayaan merupakan siasat perlawanan terhadap dominasi asing.[22]
Dalam konteks tesisnya yang terakhir, ia mensinyalir bahwa realitas kolonial ditentukan oleh kondisi keterbelakangan ekonomi kita. Hubungan antara kebudayaan dan kondisi ekonomi menghasilkan pembebasan nasional sebagai tindakan kebudayaan. Dengan begitu, kebudayaan berfungsi sebagai sarana untuk melawan dominasi kolonialisme. Kebudayaan merupakan manisfestasi yang sangat mengakar, baik pada tingkat ideologi maupun idealisme, dari realitas material dan historis masyarakat yang didominasi.[23]
Tesis Cabral tidak sepenuhnya tepat dalam frame dialektika Muhammadiyah dengan modernitas kolonial Belanda. Faktor kemiskinan dan keterbelakangan memang banyak disebabkan oleh kebangkrutan sistem ekonomi pribumi namun faktor kebodohan mendorong Muhammadiyah menggarap pendidikan sebagai lahan krusial bagi penanaman kesadaran akan cita-cita sosial masyakat pribumi yang berdaulat. Dekolonisasi tatanan politik kolonialisme dan imperialisme Eropa tidak hanya sebatas pada upaya dekonstruksi pada ranah perjuangan politik namun harus dibarengi dekonstruksi pemikiran (state of mind) muslim yang selama ini dihegemoni oleh paradigma Barat. Karenanya, menurut Abdel Kadir Khatibi, kolonialisme Barat tidak semata menciptakan penjajahan politik, bahkan lebih jauh menanamkan pandangan subversif terhadap state of mind masyarakat terjajah.[24]
Sejalan dengan reformasi pada aras state of mind, tafsir sosial Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial menampilkan wajah baru komunitas pribumi yang lebih dinamis, dimana urbanisme dan etos ekonomi menjadi ciri yang melekat, sebagaimana tesis Kuntowijoyo.[25] Fenomena sosial ini tentunya mematahkan asumsi wacana kolonial bahwa komunitas pribumi yang terjajah identik dengan sifat primitif, barbar, dan tidak berperadaban sehingga kolonialisme menjadi tindakan legal.[26] Secara paralel, Ernst Gellner meyakini bahwa kemunculan nasionalisme terkait erat dengan perubahan dari ekonomi praindustri ke ekonomi industri. Karena bentuk-bentuk organisasi sosial semakin konfleks sehingga merangsang kebutuhan mendasar terhadap negara dan daya kerja yang lebih kooperatif. Jadi masyarakat industri melahirkan kondisi ekonomis untuk kesadaran nasional.[27] Menarik benang merah gagasan yang terdapat dalam kedua tesis di atas mengukuhkan asumsi bahwa gerakan Muhammadiyah adalah gerakan nasionalis keagamaan modern yang berbasis pada gerakan kebudayaan dengan bertumpu pada etos ekonomi urban yang dinamis dan kosmopolit.
Fase generasi Muhammadiyah awal, yaitu 1912–1923, merupakan tonggak landasan Muhammadiyah sebagai organisasi keindonesiaan yang memperjuangkan cita-cita sosial warga bangsa pribumi. Periode ini menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai gerakan religio-nasionalism sekaligus mulai tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap masa depan bangsa ditengah–tengah suasana kolonial. Peletakan landasan gerak yang kokoh disertai pewarisan tradisi keilmuan yang mapan mendorong Muhammadiyah memasuki pusaran arus bangsa, yaitu fase 1923 – 1945. Hal ini ditandai dengan bertaburnya kader– kader persyarikatan yang berkiprah dalam pentas nasional. Prestasi kebangsaan tersebut merupakan buah dari konsistensi Muhammadiyah memilih dan menerapkan siasat politik kebudayaan yang kritis, akomodatif, kosmopolit, hibrid, dan inovatif ketika berhadapan dengan tantangan realitas modernitas kolonial.
Paparan ini ingin menunjukan bahwa nasionalisme Muhammadiyah yang berporos pada gerakan sosial keagamaan lahir dari rahim siasat politik kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial. Dengan demikian, resistensi tidak dirmaknai sebagai tindakan apriori, memendam sikap apresiatif, dan mengunci pintu dialog, tapi justru sebaliknya. Ini merupakan jejak kesejarahan Muhammadiyah awal yang harus dibaca secara hermeneutis serta direkonstruksi untuk ditransformasikan pada konteks tantangan Muhammadiyah kekinian.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. Islam Murni dalam Masyarakat Petani.
Achmad Jainuri. Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000
Alfian. The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta:
Alwi Shihab. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (terj).
Amin Abdullah. Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi. IAIN Sunan Kalijaga
Ahmad Syafi`i Ma`arif. Islam dan Masalah Kenegaraan.
Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme.
Chris Barker. Cultural Studies: Theory and Practice.
Cristian W. Troll. Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology.
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942.
Edward Said. Orientalism. London: Routledge. 1978
Henk S. Nordholt. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah
Kuntowijoyo. Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya.
Kuntowijoyo. Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu. http//www.kmnu.org
Leela Gandhi. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terj).
Leong Yew. On Categorizing Postcolonial Theorists. http//www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists
Mitsuo Nakamura. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj). Yogyakarta:
MT. Arifin. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah.
Muhammad Hisyam. Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942.
Nikki R. Keddie. An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani. Barkeley:
Ronald H. Chilcote. Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj).
Simon Philpott. Meruntuhkan
Takashi Shiraisi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj).
[1] Tulisan pernah dimuat di Jurnal Arus Tengah MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2003
[2] Untuk sekedar menyebut, Nikki R. Keddie, An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani, Barkeley: University of California Press, 1968; Cristian W. Troll, Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology, New Delhi: Vikas Publishing House, 1978.
[3] Beberapa karya yang terkait, Mukti Ali (1957) memaparkan introduksi bibliografi bagi studi Muhammadiyah; Alfian (1969) memberi gambaran detail menyangkut keterlibatan gerakan Islam Modern Muhammadiyah dalam percaturan politik; Noer (1973) melakukan studi survey terhadap gerakan-gerakan Islam modern, termasuk Muhammadiyah, sampai akhir kolonial Belanda; Palmier (1954) melaporkan proses awal rekonstruksi Muhammadiyah pasca kemerdekaan; Federspiel (1970) menyodorkan ikhtisar seputar ideologi Muhammadiyah; Peacock (1978) meneropong gerak Muhammadiyah dalam perspektif Weber; Benda (1958) menyajikan laporan luas kedudukan politik Islam pada masa kolonial Jepang, lih. Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj),
[4] Philpott, Meruntuhkan
[5] Untuk konteks ini, penulis membedakan studi ketimuran dengan orientalisme karena istilah terakhir bernada peyoratif dan mengandung bias superiority complex Barat vis as vis imperiority complex Timur. lihat, Said, Orientalism, 1978, London : Routledge; sebagai wacana tanding Hassan Hanafi mengkampanyekan Oksidentalisme sebagi kritik nalar kesadaran Barat. Walaupun mendapat sorotan kritis karena tawarannya dinilai belum sampai pada landasan dan konstruksi epistemologi yang jelas.
[6] Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan, 1998, hlm. 125.
[7] Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 –1942, Jakarta : LP3ES, 1985, hlm.17.
[8] Arbiyah Lubis dalam penelitian disertasinya membandingkan pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa persamaan corak pemikiran namun juga memiliki sisi corak pemkiran yang berbeda.
[9] Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta : Bumi Aksara, 1987,hal: 73.
[10] Shihab, 1998, hal. 143; bandingkan dengan pernyataan Amry Vandenbosch yang melihat kebangkitan Muhammadiyah buka semata reaksi terhadap arus misi Kristen yang progresif di Jawa Tengah, lih. Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah Kenegaraan,
[11] Indegenousitas karakteristik Muhammadiyah diatas dapat dikaji dalam Alwi Shihab, 1998; Hisyam, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942, Jakarta: INIS, 2001; Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation, 2000.
[12] Lih. Philpott, 2003, hlm. 260.
[13] Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj),
[14] Abdullah, Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah dalam The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11 – 12 Agustus, 2001.
[15] Ma`arif, 1996, hlm. 65.
[16] Nordholt, Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah
[17] ibid., hlm. 254
[18] Shihab, 1998, hlm.142.
[19] lih. Kuntowijoyo, Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu, http//www.kmnu.org
[20] Alfian, The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism,
[21] Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London Sage Publication, 2000, hlm. 312
[22] Chilcote, Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj),
[23] Cabral, 1999, hlm.74
[24] Azra, Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme,
[25] Kuntowijoyo, Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai
[26] Leong Yew, On Categorizing Postcolonial Theorists, www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists
[27] Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat,
No comments:
Post a Comment