Thursday, July 12, 2007

NEO-IMPERIALISME DAN POSKOLONIAL ISLAM[1]

"AS tengah mengupayakan neo-imperialisme dengan mendorong lahirnya penguasa boneka yang baru di Irak, sehingga memudahkan untuk menguasai cadangan minyak yang melimpah dan semakin mengokokohkan hegemoni dan supremasinya dikawasan Teluk (SOLOPOS, 27/03). Sepenggal pernyataan sikap Hizbut Tahrir Indonesia tersebut patut diapresiasi lebih lanjut oleh masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. Disisi lain, secara tegas Presiden Bush dalam pidato kenegaraannya baru-baru ini mengindikasikan bahwa Irak memiliki senjata kimia pemusnah massal sebagai alat untuk mendominasi, mengintimidasi bahkan menyerang pihak lain. Klaim Bush ini menjadi faktor penting untuk memuluskan upaya penggulingan rejim Saddam Husein melalui kudeta militer.

Penulis tidak bermaksud menganalisis kedua peristiwa aktual diatas dalam konteks kalkulasi politik. Tulisan ini berupaya mencari basis teoritik bagi wacana kritik Islam terhadap fenomena hegemoni kebijakan politik global Amerika. Ini penting untuk membantah asumsi bahwa gerakan resistensi masyarakat muslim terhadap gejolak politik internasional bersifat sporadis, reaksioner, emosional dan tidak argumentatif. Dan sebaliknya, setiap jengkal tindakan politik negara-negara Dunia Kesatu terhadap kawasan Dunia Ketiga didorong oleh kepentingan adi luhung untuk menyelamatkan perdamaian global dan masa depan kemanusiaan.

Term neo-imperialisme, hegemoni dan supremasi menjadi bagian tak terpisahkan dari wacana kritik Teori Poskolonial. Pada awalnya, terminologi postcolonial mengarah pada indikasi waktu, tempat dan suatu keadaan. Secara tegas, Oxford English Dictionary menyatakan bahwa term colonye adalah istilah untuk mengidentifikasi negara-negara jajahan Romawi sampai pertengahan abad ke-14. Dalam perkembangan teori-teori kritik, kolonialisme merupakan idiom yang berkonotasi pejoratif. Kolonialisme dipahami sebagai bentuk eksploitasi dan peminggiran oleh kuasa politik dunia Barat terhadap keberadaan identitas kultural (cultural identity) lokal yang heterogen. Yang di maksud cultural identity dalam konteks ini ialah identitas keagamaan, nasionalitas, etnis, ras dan jender. Wacana poskolonial memayungi kemunculan wacana-wacana tanding di kawasan-kawasan yang pernah mengalami kolonialisasi negara-negara Eropa. Perspektif poskolonial menyajikan eksplorasi kritis wacana poskolonial dalam relasinya dengan isu-isu ras, nasionalitas, subjektivitas, power, subalterns. Pemetaan isu poskolonial ini menggiring wacana kritik poskolonial ke dalam pergulatan identitas kultural lokal yang bersifat politis.

Dalam wacana teori kritik, konsepsi politik dipahami secara berbeda dengan pemahaman modernisme konvensional. Politik merupakan bentuk manifestasi dari relasi-relasi kekuasaan pada semua level interaksi sosial; tindakan subjektivitas seseorang senantiasa berada dalam relasi-relasi kepentingan, maka pengetahuan dan kekuasaan membangun relasi yang mutual. Relasi politis dalam apresiasi poskolonial ialah kepentingan untuk melakukan pemihakan kepada kelompok/masyarakat subordinat, marjinal dan terpinggirkan (mustadh`afin). Subordinasi atau marjinalisasi ini mencakup hak-hak sipil dan politik, otentisitas budaya lokal (ras dan etnis) serta identitas kultur agama. Ciri khas yang menonjol dalam wacana kritik poskolonial ialah wacana tanding (counter discourse) dan resistensi-kritis, baik dalam bentuk gerakan intelektual maupun praksis emansipatoris.

Secara geneologis, (kerawanan) ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga yang mayoritas berpenduduk muslim, terhadap intervensi dunia Barat dapat dilacak pada masa kolonialisme negara-negara Eropa terhadap kawasan-kawasan Timur. Kolonialisme berperan besar dalam membentuk mental dan kognisi publik masyarakat kolonial. Sejarah kolonial mencatat bahwa hampir dua pertiga kawasan-kawasan muslim mengalami kolonialisme. Namun pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 negara-negara muslim mulai bangkit untuk melakukan gerakan-gerakan pembebasan. Kini, di awal abad ke-21 masyarakat muslim kembali masuk dalam perangkap hegemoni globalisasi dan dominasi kebijakan politik internasional Barat.

Lalu, mengapa gerakan-gerakan pembebasan tanah air muslim mampu melepaskan diri dari penjajahan militer namun gagal mempertahankan kemerdekaan ekonomi, hak politik dan otentisitas budaya?, mengapa mayoritas negara-negara merdeka mau menjadi epigon-epigon peradaban Barat demi kepentingan ekonomi, politik, keamanan, persenjataan bahkan atas nama modernisasi?. Pertanyaan bernada gugatan dari Hassan Hanafi ini merepresentasikan kesadaran-kritis ketika menyaksikan ketidakberdayaan masyarakat muslim untuk menangkis serbuan fase imperialise kedua pasca gerakan pembebasan tanah air. Apa yang disuarakan Hassan Hanafi mewakili mainstream gerakan kritis Islam kontemporer terhadap dominasi politik global Barat. Dalam kerangka wacana kritik kontemporer, gerakan intelektualisme Islam yang melakukan kritik dan resistensi terhadap hegemoni globalisme Barat mencerminkan corak apresiasi postcolonial.

Poskolonial Islam Sebagai Gerakan Resistensi Politis

Studi kritis Orientalism (1978) yang ditulis Edward W. Said merupakan pembuka bagi lahirnya kesadaran kritis entitas “the Other”/Timur terhadap realitas dominasi Barat. Secara lugas dan radikal, Said membuka selubung ideologis relasi-relasi Barat terhadap Timur selama ini. Ia membongkar citra-citra kolonial dan Eurosentrisme dalam relasi Barat dengan negara-negara Timur, untuk konteks ini Islam. Sebagai studi kritis ketimuran, perspektif poskolonial membangun daya resistensi-kritis terhadap konstruksi wacana dan otoritas ”rejim kebenaran” Barat yang terus memproduksi dan mendefiniskan realitas Barat yang superior dan Timur yang minor; Timur identik dengan nativism, primitif, barbar dan uncivilized sehingga menjadi dasar legitimasi kolonialisme Barat.

Mengikuti alur perspektif poskolonial, corak gerakan kritis Islam terhadap realitas ketertinggalan peradaban Islam dewasa ini sekaligus realitas dominasi peran-peran Barat dalam percaturan kebijakan global adalah dengan menyerap peradaban sains Barat dan secara bersamaan mengartikulasikan gerakan wacana tanding serta kritik. Secara ideal-normatif, Islam adalah agama rahmatan lil `alamin, maka agenda ideal-historis gerakan Islam kritis harus mengaksentuasi semangat liberasi, berwawasan emansipatoris dan bersifat transformatif.

Wacana pembebasan Islam mesti menyentuh berbagai wilayah tatanan sosial, mulai dari ekonomi, politik, hukum, pendidikan, keamanan dan budaya. Dengan begitu, artikulasi Islam menjadi bersifat politis karena menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan kelompok/masyarakat banyak yang secara struktural berada pada posisi lemah dan menjadi subordinat dari kekuasaan negara bahkan korban konspirasi kapitalisme global. Poskolonial Islam mengartikulasikan gerakan resistensi terhadap segala bentuk konspirasi neo-imperialisme dan kolonialisme baru Barat terhadap kawasan-kawasan Islam di Dunia Ketiga.

Kebijakan politik dan ekonomi negara-negara Dunia Kesatu dalam relasinya dengan kepentingan negara-negara Dunia Ketiga senantiasa berkait erat dengan kepentingan hegemoni ideologi, dominasi politik dan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Bagi masyarakat Indonesia, keberadaan IMF, Bank Dunia, pressure politik asing terhadap penanganan terorisme, perlakuan diskrimanatif terhadap warga Indonesia di luar negeri sampai kenaikan BBM, TDL merupakan mata rantai untuk menanamkan jangkar kolonialisme politik dan imperialisme budaya global.



[1] Tulisan pernah dimuat di HU SOLOPOS

No comments: