Sinyalemen Dieter Senghaas dalam Political Conditions for a Global Ethos (1998) mengusik kesadaran kolektif masyarakat dunia bahwa betapa supremasi sistem politik global abad ke-21 telah melahirkan kebangkrutan sistem global, mengganasnya rejim imperialisme pasca kolonialisme militer, politik rasialisme global dan setumpuk masalah nasionalisme. Konstruksional realitas ini berjalan iring dengan wacana demokratisasi global yang mengedepankan idiom-idiom pluralisme dan toleransi, mobilitas dan fleksibilitas serta keterbukaan dan transparansi.[2] Pluralisme dan toleransi, keterbukaan dan transparansi, dan tumbuhnya politik pengakuan atas kesetaraan dalam keragaman merupakan pra syarat penting untuk mewujudkan relasi-relasi sosial yang yang egaliter dan dialogis.
William James (1882) mendefinisikan pluralisme sebagai "system of thought that recognizes more than one ultimate principle". Konsepsi ini lebih menekankan sikap keberterimaan sistem berpikir (state of mind) terhadap heterogenitas prinsip dasar. Pada dasarnya, pluralisme merupakan realitas-realitas yang menubuh dalam wilayah-wilayah kepentingan sosial, budaya maupun politik. Dalam politik, pluralisme dipahami sebagai sikap oposisi terhadap upaya monopoli kekuasaan negara dan jaringan kepentingan politik global. Secara sosial, pluralisme menempatkan diri sebagai kekuatan ideologis yang memproteksi komunitas-komunitas minoritas dan marjinal dalam relasinya dengan otoritas kelompok mainstream yang hegemonik. Menjadi tidak berlebihan bila
Menguatnya arus isu pluralisme dalam kancah wacana sosial kontemporer tidak bisa dipisahkan dari kemunculan wacana pos-strukturalisme/posmodernisme. Pergeseran ini membawa iklim baru dalam pergulatan teori-teori kritik sosial yang berwawasan emansipatoris. Dengan begitu, semenjak dekade 70-an dan 80-an isu revisi dan dekonstruksi menjadi tema perdebatan utama dengan balutan posmodernisme, multikulturalisme, feminisme dan poskolonialisme. Kritik radikal terhadap bias ideologi Eurosentrisme merupakan faktor penting yang mendorong perluasan genre dalam wilayah minat sehingga merambah pada isu jender, kelompok minoritas dan ethnic studies.[4] Intensitas perjumpaan, pergesekan bahkan proses hibridasi identitas etnisitas yang semakin terbuka menstimulasi kemunculan ideologi- baru-partisipatoris dalam relasional kemajemukan sosial-kultural yang ada. Mungkin tidak berlebihan bila disebutkan bahwa multikulturalisme merupakan kesadaran politik identitas yang menolak klaim universalisme dan monoisme kultur, ras, etnik, jender maupun genre peradaban tertentu.
Multikulturalisme merupakan gagasan dekonstruksi kebudayaan dalam wacana cultural studies yang merepresentasikan kelompok ras/etnik yang berbeda-beda yang diimajinasikan dapat hidup dalam relasi-relasi kesetaraan dan berkeadilan. Terbentuknya perbedaan itu sendiri diyakini sebagai perwujudan dari proses perfeksi atau proses penyempurnaan diri. Perfeksi itu harus dilihat sebagai fakta dokumenter terjelmanya sebuah kebudayaan. Multikulturalisme menyediakan wadah untuk penampakan "Yang lain" (the Other). Kehadiran "Yang lain" itu harus dipahami tanpa reduksi, atau distorsi. "Yang lain" itu harus tampil dalam soliditas dan keutuhannya masing-masing. Identitas adalah fakta yang eksotis dan dengan demikian mustahil digeneralisasi atau disimplifikasi. Perbedaan diterima sebagai sarana relasi, bukan ancaman desktruktif atau dijadikan alasan untuk menjalankan represi.[5]
Menurut Parsudi Suparlan, konsep multikulturalisme tidak dapat disepadankan dengan konsep keanekaragaman sukubangsa maupun kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Dengan demikian, simpul-simpul diskursus multikulturalisme dapat dilacak pada berbagai permasalahan kontemporer yang menopang ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komunitas dan kelompok minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta tingkat dan mutu produktivitas. Multikulturalisme bukan hanya sebatas gerakan wacana resisten tanpa aksi namun juga sebuah ideologi yang harus diperjuangkan secara bersama untuk memberi landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan tata sosial yang berkeadilan.[6]
Konsep multikulturalisme terlahir dari ruang pergesekan bahkan pertaruhan kepentingan sehingga tidak bebas-nilai. Ia merupakan bentuk metaformosis kesadaran pasca luruhnya rejim kolonial (militer) Barat. Ketika sistem berpikir serta tindakan-tindakan relasional yang berlaku dibangun di atas politik kolonial yang diskriminatif, ketimpangan sosial dan ketidakadilan sistem pasar global, kehadiran wacana multikulturalisme menjadi berakar tunjang pada wacana pos-kolonial, sebagai usaha menolak model representasi Eropa-Orientalis terhadap kebudayaan Timur yang distereotipkan melalui praktik imperialisme Barat. Kesadaran pada perbedaan antara kebudayaan pengoloni dengan yang dikoloni, didorong oleh keharusan untuk berbeda. Itu sebabnya, pencarian identitas kepribumian dalam spektrum kesadaran multikulturalisme lebih banyak merupakan suatu hasil konstruksi sosial lewat pendekatan idolasi. Pribumi pada fase dekolonisasi merasa harus berbeda, harus menjadi yang lain, harus tampak tidak sama dengan identitas pengoloninya. Jadi, identitas dibentuk dari suatu imajinasi akan perbedaan, disertai dengan romantisasi terhadap warisan lokalitas.[7]
Sebagai konstruksi sosial, pilar masyarakat multikultural harus dilengkapi oleh etika yang akan menjadi panduan sosial. Bagi Charris Zubeir, (masih) ada dua agenda mendesak yang harus diselesaikan bagi terbangunnya kesadaran etika multikulturalisme Pertama, mendekonstruksi wacana-wacana dominan yang memproklamirkan ke-aku-annya di atas belantara keragaman dan perbedaan. Kedua, bagaimana mempersiapkan secara dewasa komunitas maupun kelompok sosial untuk menghadapi klaim kebenaran yang dipancangkan kelompok etnisitas lain. Kesadaran berkeadilan dalam ranah multikultural mengembangkan wacana “The Other” sebagai counter hegemoni untuk meruntuhkan mitos ke-esa-an kuasa identitas tertentu.[8]
Dominasi sebuah etnik tertentu atas etnik lainnya yang mengandaikan adanya struktur patriakhal harus dibongkar. Wacana patriakhal menciptakan otoritas tunggal/pusat/legal dalam konstruksi-konstruksi sosial yang berdampak pada subordinasi dan opresivitas terhadap realitas lain yang marjinal/peripheral. Kepentingan multikulturalisme menghendaki adanya “kesadaran subversif” untuk mendesentralisasi relasi dominan kebudayaan tersebut. Kesadaran itulah yang akan menggerakkan pembongkaran terhadap struktur hierarkhis penafsiran dan pemaknaan kebenaran. Maka, dekonstruksi menempatkan wacana kebudayaan dalam suatu posisi yang sejajar, ko-eksistensi. Wacana-wacana kebudayaan yang ditundukkan membentuk struktur resistensi bersama terhadap wacana yang dominan. Dengan meruntuhkan struktur hierarkhis yang menjadi bangunan dominasi-subordinasi, wacana-wacana kebudayaan yang ditundukkan dapat meruntuhkan peran legitimasi dan justifikasi relasi-relasi kuasa represif yang ditopang oleh kebudayaan yang dominan itu. Pada tingkat ini, dekonstruksi sebagai metode membangun kesadaran dapat dipahami sebagai sebuah strategi menuju “keterbukaan kepada yang lain”. Sikap ini tidak saja menunjukan watak yang paling mendasar dari dekonstruksi sebagai sebuah strategi dan keberanian, namun mampu dipakai sebagai acuan untuk menumbuhkan sikap dan ethos yang egaliter, dengan menekankan prinsip ko-eksistensi dari heterogenitas entitas.
Secara senada Abdul Kadir Al Khatibi menyatakan bahwa proyeksi dekolonisasi bertujuan untuk membebaskan state of mind dari hegemoni wacana-wacana dominan yang opresif. Ini terkait dengan dua strategi untuk melepaskan ketergantungan kultural, sedangkan dekonstruksi merupakan agenda kolektif untuk membongkar jangkar kolonialisme politik kapitalisme. Senada dengan Al Khatibi, Annour Majid dalam Unveiling Traditions (2000) mengingatkan bahwa agenda penting kalangan muslim modern adalah mengimajinasikan tatanan sosial tandingan terhadap peradaban Eurocentrisme sekaligus meruntuhkan praktek-praktek keagamaan yang bias ideologi patriakhal. Salah satu visi fundamental yang menggerakkan imajinasi-imajinasi poskolonial adalah wacana subversif sebagai bentuk artikulasi resisten terhadap kemapanan wacana patriakhal yang memonopoli otoritas keagamaan plus dehumanisasi peradaban yang lahir dari fundamentalisme ideologi kapitalisme.[9]
Pada ranah inilah, untuk membangun kohesivitas kesadaran kolektif ideologi multikulturalisme dalam rajutan kemajemukan sosial diperlukan dua hal pokok, sebagaimana dijelaskan Barbara Houston, yaitu adanya kesadaran bersama untuk berbagi nilai (shared values) dan berbagi identitas (shared identity). Dalam masyarakat plural, kesadaran kolektif untuk legawo berbagi nilai di tengah perbedaan akan mampu mendorong munculnya kesepakatan norma dasar sebagai landasan sikap yang mutual concern. Pengakuan terhadap diversitas tersebut dapat mengantarkan kita pada suatu kemampuan membangun kesadaran komunalitas. Misalnya, Kanada sebagai salah satu negara yang memiliki latarbelakang etnik yang beragam, pemerintahnya mengambil kebijakan politik agar proses share warga negaranya dilakukan secara equal, jujur, dialogis, akomodatif, toleran, mempromosikan diversitas serta komitmen untuk memperjuangkan kebebasan, perdamaian dan perubahan tanpa kekerasan.
Adapun sikap berbagi identitas merupakan upaya dalam melapangkan proses pencairan identitas untuk mencapai status kewarganegaraan yang sederajat (sosial) dan setara (politik). Kewarganegaraan tidak semata-mata status hukum yang didefinisikan oleh hak-hak dan tanggungjawab namun juga sebagai identitas yang merupakan ekspresi pengakuan keanggotaan dalam komunitas politik.[10] Pilar pembangunan masyarakat multikultural itu mengantarkan kita pada satu kenyataan bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota warga dan suku bangsa.
Meminjam term gagasan Karl Popper, visi masyarakat multikultural adalah meruntuhkan tembok besi masyarakat tertutup yang tribalis untuk kemudian menapaki masyarakat terbuka yang demokratis, egaliter dan berkeadilan. Memperjuangkan masyarakat terbuka merupakan harga yang harus dibayar untuk setiap peningkatan pengetahuan dan pemikiran dalam rangka menciptakan kerjasama yang saling menguntungkan serta sebagai konsekwensi dari kesempatan kita untuk bertahan hidup. Ini merupakan beban yang harus dibayar untuk menjadi manusia.[11] Tidak pelak lagi, cita-cita sosial masyarakat multikultural berada pada pundak sejarah sebagai beban peradaban.
Masyarakat multikultural yang mengedepankan watak keterbukaan yang berkeadilan tidak diciptakan, terlebih diberikan oleh kuasa rejimentasi kepentingan yang mengerami diskursus maupun mainstream tertentu. Sekali lagi, menghadirkan masyarakat multikultural harus diperjuangkan secara kolektif tanpa mengenal struktur kasta kolonial seiring dengan pelepasan ke-aku-an dan de-supremasi sistem nilai yang membaku. Visi Masyarakat multikultural di atas merupakan ikhtiar untuk menggayuh perimbangan kekuasaan/kepentingan/hegemoni dalam tata sosial yang berlaku.
[1] Tulisan pernah dipublikasikan dalam Buletin Kalimatun Sawa`, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS
[2] Daniel Goeudevert, “Nothing from Nothing: Tolerance and Competition” dalam Susan Stern dan Elisabeth Seligmann (eds), The End of Tolerance (Nicholas Brealey Publishing & Intercultural Press, 2002), hlm. 44.
[3] Richter, Pluralism at the Millennium, http://www.qc.edu/ENGLISH/Staff/ /Pluralism.htmlm
[4] Paul Michael Lützeler (
[5] Benny Yohanesm, Multikulturalisme Teater Menuju Teater Dibawah Tanda Silang, Pikiran Rakyat,
[6] Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Simposium Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002)
[7] Benny Yohanesm,…..
[8] Achmad Charris Zubeir, Membangun Kesadaran Etika Multikulturalisme di Indonesia, (naskah pidato) Universitas Gadjah Mada, 2003, hlm.18
[9] Fajar Riza Ul Haq, Politik Pemaknaan dan Teologi Subversif, Makalah dalam Tadarus Pemikiran Islam: Kembali ke Al Quran Menafsir Makna Zaman, kerjasama UMM dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), 18-20 November 2003
[10] Barbara Houston, Multiculturalism and a Politics of Persistence,
[11] Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya (terj),
No comments:
Post a Comment