Thursday, July 12, 2007

Gerakan Sub-altern; Wacana Tanding atas Hegemoni Negara dan Praksis-Liberatif Pemberdayaan Rakyat *

Panggung Sosial

Globalisasi adalah fenomena paradocs-chaotic kemanusiaan pasca zaman pencerahan. Simak saja pesimisme Michel Foucault, side dark efect dari modernisme telah mengubur kebebasan otonom manusia (the end of man)1. Lenyapnya penghargaan terhadap keragaman historisitas agama, ideologi, politik dan kreativitas lokal menandai denting lonceng kematian toleransi. Padahal prasyarat (prerequisite) tegaknya sebuah tatanan demokratis adalah tumbuh kembangnya semangat toleransi. Karena keduanya merupakan saudara kembar dari simbol kebebasan (freedom`s twin)2.

Alur cerita globalisasi terakhir dalam skenario panggung peradaban modern, telah membeberkan kepada kita semua bahwa klaim Amerika sebagai polisi dunia, Sang Wisnu Modernitas penabur dharma demokrasi dan figur Rama pencerahan penyemai perdamaian tidak lebih dari aksesoris mitos modernitas. Amerika (baca: Barat) berhasil meneguhkan wacana dominasinya diatas pluralitas suku, ras, bangsa, ideologi dan agama tanpa menyisakan ruang-ruang toleransi. Kini “mesianisme tuah” demokrasi; kebebasan berpikir dan berpendapat, pengakuan kesetaraan dan mutual understanding, serta toleransi berada dalam lubang jarum ujian menghadapi isu terorisme, mampukah negara-negara Barat menampilkan sikap toleran-santun dan demokratis dalam menangkar terorisme?. Prilaku Barat ini akan menimbulkan efek paralel terhadap masa depan transisi demokrasi di Indonesia khususnya, dan negera-negara berkembang pada umumnya3.

Kini, kawasan Asia menjadi ladang perburuan “hantu” terorisme itu. Secara bergiliran negara-negara di kawasan ini, mulai Filipina, Malaysia, Singapura dan Indonesia (bahkan mungkin Thailand) menjadi sasaran tatapan liar publik Internasional. Dulu atas nama demokrasi maka sekarang atas nama terorisme, negara-negara Barat meranjah kawasan kedaulatan negara-negara Asia. Dengan begitu, terorisme menempati rangking pertama dalam urutan kepentingan (hegemoni) Barat terhadap dunia ketiga. Sadar atau tidak, isu terorisme menjadi media hegemoni baru dunia Barat.

Kebijakan-kebijakan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dalam menyikapi berbagai gerakan protes dan oposisional terhadap pemerintah, utamanya dalam bentuk perlawanan militer daaan kekerasan, akan berkorelasi dengan kepentingan negara-negara Barat. Setidaknya ini menjadi program yang sifatnya bergaining posisition dalam kerangka konsensus bantuan/kerjasama. Adalah pemerintah Indonesia saat ini yang sulit keluar dari mata rantai asumsi kritisisme publik terhadap dominasi dan hegemoni Barat. Perlu disadari, bahwa pemerintah Indonesia dalam upaya memburu dalang terorisme di Kuta Bali, harus dihadapkan pada kuasa wacana terorisme yang telah dibangun Amerika dan negara-negara Barat pasca tragedi WTC, 12 September 2001. Meminjam tradisi Foucauldian, kuasa wacana terorisme dimaknai bahwa sterotipe, prejudice dan kecurigaan teror menjadi basis cara pandang dan kerangka dasar kebijakan-kebijakan luar negeri yang bersifat hegemonik dan dominatif dalam menyikapi dan menekan kepentingan-kepentingan negera-negara Selatan dan negara-negara berpenduduk Muslim.

Posisi dan Peran Kaum Intelektual

Dalam sosiologi pengetahuan, kaum intelektual dimasukkan sebagai kelas sosial baru (The new class) yang menguasai ilmu pengetahuan. Bagi kelas sosial baru ini, pengetahuan merupakan kapital budaya (cultural capital). Relasi-relasi kepentingan mampu mengarahkan dan membentuk cultural capital tersebut menjadi kapital uang atau kapital politik.

Persoalannya, tatkala munculnya kehidupan intelektual di negara berkembang. Lanskap sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan masyarakat dalam mencapai harkat dan martabatnya. Tidak mungkin kalau ukuran keberhasilan kaum intelektual hanya disandarkan pada etika riset dan metode yang memang biasanya jika mereka bergabung sebagai partisan atau fungsionaris partai dan kelompok kepentingan lebih memerankan diri secara profesional, apakah berfungsi sebagai seorang ideolog atau perekayasa sosial. Sementara jika berada dalam mesin pemerintahan mereka biasanya akan berbuat semaksimal mungkin dengan kemampuan ilmiahnya untuk meningkatkan technical knowledge, tanpa mempertanyakan tentang siapakah yang diuntungkan dengan perannya itu berkaitan dengan relasi kekuasaan yang adil. Padahal ciri ilmuwan yang kritis ialah yang selalu peka dan mampu berbicara dan menulis tentang ketidakadilan dalam lingkup publik, mengutarakan ketertindasan, sekaligus menjadi saksi dan dengan episteme intelektual mengadakan kritik terhadap dosa-dosa sosial demi advokasi kemanusiaan4.

Preposisi di atas, menempatkan peran kaum intelektual dalam persimpangan sejarah kemanusiaan; apakah mereka dalam upaya men-support tumbuhnya kekuatan masyarakat madani, menjadi juru bicara dirinya dalam rangka menyuarakan kebebasan mimbar atau lebih sebagai intelektual organik yang bertindak untuk mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat dalam gerakan sosial baru sebagai bagian dari counter hegemoni dalam proses transformasi sosial ?5.

Poskolonial dan Kritisisme Mahasiswa

Edward Said dalam karya provokatifnya,Orientalism, memperkenalkan cara pandang baru yang radikal-kritis terhadap fenomena hegemoni Barat. Ia membongkar citra-citra imajiner Barat dalam relasinya dengan negara-negara Timur (untuk konteks ini baca: Islam). Culture and Imperialism dan Covering Islam adalah dua karya susulan yang mengokohkan Said sebagai the founder texs of postcolonialism theory. Sebagai studi kritis ketimuran (negara-negara berkembang), perspektif poskolonial melahirkan daya kritik terhadap wacana dan asumsi-asumsi yang telah mapan yang terus dikembangkan dan wacana demikian menggurita menjadi bentuk “imperialisme” dalam memori publik negara-negara berkembang.

Wilayah kajian wacana poskolonial ini mencakup kajian nasionalitas, etnis, gender, agama, sosial, budaya, sastra dan literatur. Isu center-peripheri, dominasi-subaltern, hibriditas-kreolisasi serta mimikri-wacana tanding menjadi menu utama dalam kajian kritis humaniora baru ini (new humaniora critics)6. Pada kepentingan counter discourse hegemonik inilah penulis meraba pararelitas kritisisme pendekatan ini dengan kepentingan pemberdayaan dan pendidikan politik masyarakat yang selama ini menjadi simbol kritisisme gerakan mahasiswa.

Pemberdayaan tidak semata dimaknai mempertahankan kemandirian. Namun tidak kalah penting, gerakan pemberdayaan menjelma menjadi corong suara kelas masyarakat sub–sinten membisu, mampu menjadi mata bagi kelas masyarakat yang terbutakan dan rela menjadi telinga untuk kelas masyarakat yang ditulikan. Dengan begini, terjadi proses pengembalian hak-hak terampas masyarakat, menyalakan kembali daya kreatif dan kritis nalar masyarakat, menyadarkan kembali potensi sumber daya manusia yang sekian lama tertimbun oleh kekuatan hegemoni dan dominasi. Pemberdayaan juga berarti pengembangan identitas yang berbasis lokal-domestik, menyembuhkan retak antara konsumen dan produsen, antara kaum wanita dengan pria dan antara dunia pertama dan kedua7. Titik pandang ini meletakan gerakan kritis mahasiswa dalam kerangka gerakan Sub-altern Intellectual; gerakan intelektual yang “merongrong” otoritas tunggal dan “resmi” dalam membangun konstruksi dan memproduksi ideologi pembangunan sekaligus gerakan ini secara simultan menggalang wacana tanding terhadap discourse negara. Dalam gerakan sub-altern ini, pemberdayaaan masyarakat merupakan bentuk pembasisan dan pengkakian wacana tanding tersebut.

Meletakan pilar-pilar konstruksi gerakan sub-altern membutuhkan komitmen praksis-liberatif terhadap nilai-nilai intelektualitas dan nilai moral kemanusiaan. Secara ideal-ideologis, gerakan sub-altern berpijak kepada dua kaki, yaitu kepentingan praksis intelektualitas dan kepentingan liberatif moral kemanusiaan. Artikulasi gerakan ini dapat mengambil beragam bentuk dan jalur, mulai dari perjuangan politik nilai, sosial. Budaya, pendidikan sampai agama. Dalam spektum ini kita akan menemukan pendidikan politik Gramci dan politik pendidikan Faulo Freire, politik sub-politics-nya Ulrich Beck8.



* Tulisan di sajikan dalam Seminar Nasional Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa STAIN Purwokerto, 5 November 2002.

1 lih. Barker, 1999, Culture Studies: Theory and Practice, Sage Publication ang London.

2 Walter Homolka, 2001, The End of Tolerance, Nicholas Berkeley Publishing.

3 lih. Henk Schulte and Irwan Abdullah (ed), 2002, Indonesia in Search of Transition, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4 Moeslim Abdurrahman dalam Makalah, Masyarakat Akademis sebagai Masyarakat Madani, makalah dipresentasikan dalam rangka hari jadi 30 tahun Universitas Surabaya.

5 lih. Roger Simon, 1999, Gagasan Politik Gramci (terj), Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar; Beilhazh, 2002, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Para Filosof Terkemuka (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Mansour Fakih dalam Muhammad Hidayat (ed.), 1999, Menuju Masyarakat Terbuka, Yogyakarta: Insist dan Ashoka Indonesia.

6 lih. Leela Gandhi, 2001, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Barker, 1998, Culture Studies: Theory and Practice; Paryanto dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Muthahharun Jinan (ed), 2002, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS UMS, The Ford Foundation dan Majelis Tarjih dan PPI Muhammadiyah, hal. 61.

7 Jeremy Seabrook, 1998, Para Perintis Perubahan (terj), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 10.

8 lih. Ulrich Beck, Anthony Giddens and Scott Lash, 1994, Reflexive Modernization, Stanford University Press California, hal.13-23.

No comments: