Thursday, July 12, 2007

PERADABAN ZAKAT DAN AGENDA PENCERDASAN UMAT[1]

Menyalurkan zakat bukan sebatas berderma - yang sebagian besar masih bersifat konsumtif - tetapi harus betul-betul menyentuh dimensi pemberdayaan masyarakat sehingga mereka sadar serta mampu memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara bahkan manusia pada umumnya. Gerakan zakat, infak, dan sedekah yang sempat dicanangkan pemerintah pada bulan Oktober 2005 dirasa masih belum optimal karena sudut pandang terhadap ketiga elemennya tidak berkolerasi langsung dengan konteks struktural masyarakat. Poinnya adalah analisis gerakan organisasi-organisasi pengelola zakat harus berdasarkan pada analisis struktural; kesenjangan ekonomi, kemiskinan struktural, keterbelakangan pendidikan, dan memperjuangkan akses-akses publik untuk masyarakat miskin.

Mengkorelasikan zakat dengan permasalahan struktural tentunya bukan hal yang baru. Penulis buku mengingatkan bahwa praktek pengelolaan zakat pernah menorehkan catatan emas pada saat pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Indikator keberhasilan tersebut adalah “tidak ada lagi yang mau menerima zakat, semua rakyat merasa sudah menjadi muzakki (pembayar zakat), bukan lagi mustahik (penerima zakat)” (draf, 7). Zakat dianggap telah berhasil mengentaskan kemiskinan pada masa itu. Tentunya keberhasilan Khalifah Umar menarik angka kemiskinan ke angka 0 tidak cukup dijelaskan dengan kaca mata tingkat kesalehan individu belaka namun juga harus dilihat secara makro serta konteks sosial-politik saat itu.

Pada dasarnya, masalah kemiskinan selalu berhimpitan dengan minimnya bahkan terkuncinya akses/kesempatan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya ekonomi. Yang harus dipentingkan dalam proses ini adalah mendongkrak kualitas ekonomi masyarakat miskin – yang sebagian besar umat Islam - dan akses mereka terhadap pendidikan. Dalam pidato iftitah di Tanwir Muhammadiyah tahun 2003, di Makasar, saya mengingatkan bahwa pilar untuk membangun bangsa yang sudah rapuh-renta karena digerogoti penyakit korupsi adalah perbaikan mentalitas dan sistem pendidikan kita yang kacau balau. Tanpa mengarusutamakan peningkatan kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat miskin dalam program-program aksi umat Islam, cita-cita untuk membangun peradaban zakat masih akan merupakan gumpalan asap gagasan.

Oleh karenanya, sebagai instrumen untuk membangun tatanan kemanusiaan-berkeadilan, reformulasi pengelolaan zakat tidak bisa tidak menyangkut permasalahan kemanusiaan yang bersifat struktural, utamanya kemiskinan, kesenjangan ekonomi, kebodohan, dan pengangguran. Muhammad Akram Khan dalam An Introduction to Islamic Economics (1994) memasukkan zakat sebagai elemen penting dalam gerakan pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Dalam konteks relasi masyarakat dan negara, institusi zakat bisa dianggap sebagai pranata politik kewargaan sehingga berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar warga negara, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, serta jaminan sosial.

Perkembangan Forum Organisasi Zakat (FOZ) dan Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT), seperti disinggung oleh penulis buku, merupakan harapan sekaligus modal penting untuk membangun komitmen kolektif di antara organisasi pengelola zakat pada skala luas. Jika ini terus bergulir dan diorganisir secara maksimal, zakat akan menjadi kekuatan tersendiri dalam kancah perekonomian global. Kesempatan ini sangat terbuka karena élan vital zakat adalah kepedulian terhadap domain-domain sosial-budaya marginal dan pemihakan terhadap distribusi keadilan.

Akhirnya, proyek peradaban zakat yang hendak ditawarkan tidak bisa hanya bertopang pada ketiadaan “kelas mustahik” dalam tubuh umat Islam namun juga harus disertai oleh political will dari setiap individu untuk mendistribusikan akses-akses terhadap sumber daya dan produksi yang dimilikinya secara tepat dan adil. Dengan begitu, zakat menjadi menjadi ujung tombak dalam agenda pengentasan kemiskinan dan pencerdasan umat. Di sinilah urgensi kehadiran lembaga-lembaga zakat. Semoga kehadiran buku ini mampu merangsang umat Islam secara umum untuk terus berjihad melawan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan ekonomi melalui pengorganisasian dan mobilisasi gerakan zakat. Wallahu`alam.




[1] Ditulis bersama Prof. Ahmad Syafii Maarif sebagai Pengantar dalam Didin Hafidhuddin dan Ahmad Juwaini, “Membangun Peradaban Zakat”, 2007.

No comments: