Sunday, March 8, 2009

Muhammadiyah dan Suksesi Nasional 2009

Fajar Riza Ul Haq

Direktur Program MAARIF Institute dan

Chevening Fellow, Universitas Birmingham, UK.

( Pertama kali dipublikasikan di HU Republika, 5 Maret 2009)



Muhammadiyah menyelenggarakan Sidang Tanwir 5-8 Maret 2009 di Bandar Lampung, satu purnama menjelang Pemilu 9 April. Tanwir kedua dalam periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005-2010) kali ini mengusung tema “Muhammadiyah Membangun Visi dan Karakter Bangsa”. Satu pertanyaan agak klasik ditengah situasi politik bangsa yang kian memanas layak diajukan, apakah forum tertinggi setelah muktamar ini merupakan ajang konsolidasi Muhammadiyah dalam menghadapi pesta demokrasi lima tahunan tersebut?

Sejatinya, sidang tanwir merupakan bagian tak terpisahkan dari agenda konsolidasi dan evaluasi organisasi setiap 1-2 tahun selama satu periode kepemimpinan yang berlangsung lima tahun. Tradisi tanwir ini sudah terbangun lama seiring dengan perkembangan Muhammadiyah sendiri sejak 1912. Dalam catatan sejarah organisasi yang meraksasa dengan ratusan amal usaha pendidikan dan kesehatan ini, nilai strategis sidang tanwir tidak hanya pada aspek legalitas sikap resmi organisasi namun juga bagaimana sebuah gagasan perubahan berhasil diinkubasi untuk kepentingan bangsa. Contoh terbaik untuk kasus terakhir adalah gagasan suksesi nasional pada masa Orde Baru yang dilontarkan Amien Rais pada Sidang Tanwir di Surabaya, Desember 1993.

Dalam banyak kasus, ada relasi yang jelas antara perhelatan satu sidang tanwir dan kondisi politik bangsa yang sedang berlangsung. Tentu ini suatu hal logis mengingat Muhammadiyah sangat berkepentingan dengan masa depan Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam tema tanwir kali ini yang mempertegaskan komitmen Muhammadiyah untuk berkiprah lebih luas dalam koridor kebangsaan. Terlebih, tidak sedikit kader-kadernya yang terjun maupun aktif dalam kancah politik. Amien Rais dalam wawancaranya dengan Suara Muhammadiyah, Edisi Pebruari 2009, menggaris bawahi bahwa tidak ada salahnya kader Muhammadiyah ikut terlibat dalam arena politik untuk mencegah munculnya kekuasaan politik yang dimonopoli orang-orang yang tidak paham perjuangan Muhammadiyah.

Semangat demikianlah yang menjadi tonggak transformasi kader Muhammadiyah dari ranah persyarikatan dan umat menuju kader bangsa. Bahkan Ahmad Syafii Maarif dalam banyak kesempatan di forum-forum Muhammadiyah mulai menekankan pentingnya “revisi” prioritas ranah juang kader yang selama ini masih mengedepankan semangat kader persyarikatan. Menurut penasehat PP Muhammadiyah ini, sudah seharusnya Muhammadiyah memproyeksikan proses kaderisasi yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan kemanusiaan. Dengan ungkapan lain, sebagai organisasi dakwah modern, Muhammadiyah harus menerjemahkan gagasan-gagasan pembaharuan sosial-keagamaaannya pada domain persoalan kenegaraan dan kemanusiaan yang inklusif.

Civil Society dan Politik

Sebagai kekuatan civil society yang menopang konsolidasi demokrasi, wacana politik dan kepemimpinan nasional bukanlah hal tabu untuk dibicarakan dalam arena tanwir. Beberapa perhelatan sidang tanwir, khususnya sejak era reformasi, selalu dihadapkan ataupun membahas persoalan politik kebangsaan. Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) pada tahun 1999 dan Partai Matahari Bangsa (PMB) belakangan ini sulit untuk dipisahkan dari dinamika tersebut meskipun sering dianggap sebagai dua bab terpisah dalam percaturan organisasi ini. Pasca hiruk pikuk PAN, kehadiran PMB yang dibidani sejumlah kader ideologis-biologis Muhammadiyah dalam kontestansi pemilu besok tak pelak mengundang sejumlah pertanyaan terkait masa depan keberjarakan Muhammadiyah dengan institusi partai politik. Kalangan PMB mengklaim bahwa embrio partai yang berasas Islam berkemajuan ini adalah rekomendasi Sidang Tanwir Muhammadiyah di Mataram, Desember 2004.

Dalam konteks ini, netralitas Muhammadiyah sebagai garda civil society dalam gelandang politik merupakan posisi yang tidak bisa ditawar. Kepemimpinan Syafii Maarif (1999-2000; 2000-2005) menjadi salah satu contoh terbaik bagaimana ormas Islam ini menjunjung tinggi prinsip netralitas organisasi di atas perkawanan. Persoalan netralitas Muhammadiyah menjelang pemilu dan pilpres besok merupakan topik perbincangan menggairahkan belakangan ini di kalangan Muhammadiyah meskipun secara formal tidak mungkin keluar dari pakem gerakan dakwah dan sosial. Inilah saat Muhammadiyah diuji (kembali), seperti disuarakan judul Suara Muhammadiyah edisi baru-baru ini.

Isu menarik yang akan mencuri perhatian para peserta tanwir adalah spekulasi masa depan Din Syamsuddin selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah. PMB sudah lebih awal mendeklarasikan Din Syamsuddin sebagai calon presiden untuk pemilihan presiden (pilpres) 2009. Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini juga diminati beberapa partai lain untuk dijagokan dalam pilpres besok. Namun dalam banyak kesempatan Din selalu menyampaikan bahwa keputusan terkait kesertaan dirinya di ajang piplres sangat tergantung sikap dan dukungan politik Muhammadiyah. Sesuai SK PP Muhammadiyah No 101/KEP/I.0/B/2007 yang melarang dualisme kepengurusan, siapapun pengurus Muhammadiyah yang masuk ke dunia politik praktis, baik sebagai calon anggota legislatif maupun jabatan politik lainnya, harus melepaskan jabatan strukturalnya di Muhammadiyah. Andai sidang tanwir memberikan lampu hijau dan Din tegas bersedia untuk maju dalam pertarungan pilpres mendatang berarti sinyal ini menandai akan adanya peralihan kepemimpinan di tubuh ormas Islam ini.

Tapi apakah dorongan kembali agar Muhammadiyah berkontribusi lebih dalam suksesi nasional nanti akan menggelinding deras di forum tanwir kali ini? Banyak faktor dan aktor yang akan sangat menentukan, apalagi masalah ini kemungkinan besar tidak masuk dalam agenda resmi tanwir. Suatu kondisi yang mungkin tidak bisa disamakan dengan suasana psikologis warga Muhammadiyah pada Pemilu dan pilpres 2004. Namun rekomendasi Tanwir II Pemuda Muhammadiyah di Makassar, Agustus 2008, sangat terang meminta Muhammadiyah untuk mendorong kader terbaiknya untuk terjun dalam suksesi kepemimpinan nasional mendatang. Tidak bisa dinafikan bahwa semangat rekomendasi itu mengarah kepada pimpinan puncak Muhammadiyah saat ini. Sesungguhnya aspirasi ini sempat menyeruak dalam Sidang Tanwir di Yogyakarta, April 2007, dalam sesi pandangan umum Ikatan Remaja Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah.

Sikap politik Muhammadiyah terkait suksesi kepemimpinan 2009 akan semakin jelas terlihat arahnya pada sidang tanwir kali ini. Kesiapan dan totalitas organisasi akan sangat menentukan langkah Din selanjutnya. Kondisi sebaliknya akan berdampak lain pula. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa suara-suara di level wilayah dan daerah masih belum padu. Faktor aspirasi dan afiliasi partai politik warga Muhammadiyah yang beragam memainkan peran penting dalam proses tarik menarik ini. Bila persoalan ini dilihat dalam kerangka pertarungan kutub-kutub politik yang ada, maka Golkar, PAN, PKS, PPP, bahkan PMB sama-sama memiliki jaringan dan akses ke semua lini organisasi Muhammadiyah. Namun jika relasional ini yang mengedepan maka sangat tidak kondusif bagi persyarikatan. Oleh karena itu, perlu kedewasaan dan ketegasan bersama dari pelbagai aktor di Muhammadiyah dalam menyikapi sekaligus mensukseskan agenda pemilu dan pilpres 2009.

Melampaui polemik ini, hajatan Tanwir di Bandar Lampung tentu akan menjadi momentum terbaik Muhammadiyah untuk melakukan konsolidasi internal organisasi sesuai amanat Muktamar 2005 di Malang. Yang pasti, sebagai organisasi yang dewasa, Muhammadiyah harus tetap menampilkan keteladan dan sikap lebih arif dalam praktek berdemokrasi dan bernegara sebagaimana tema tanwir. Selamat bermusyawarah. Wallahu`alam.

No comments: