Thursday, July 12, 2007

“Syariah Islam Adalah Solusi”: Sebuah Ta`wil Sosial[1]

Kajian Heiner Bielefedt mengenai relasi Islam dan HAM mungkin agak berbeda dengan pandangan-pandangan mainstream di Barat. Dalam Muslim Voices in The Human Rights Debate (1995), Heiner mengingatkan bahwa isu-isu hak asasi manusia (HAM) dalam Islam harus dilihat dalam kerangka respon operasional terhadap kenyataan pengalaman ketidakadilan dalam dunia modern, seperti penindasan politik oleh absoluditas hegemoni negara, eksploitasi pekerja (buruh) dalam sistem ekonom pasar, kolonialisme, dan imperialisme. Setidaknya, temuan Heiner berusaha memberikan pandangan alternatif terhadap konstruksi HAM yang bias Barat. Wacana otoriter yang diproduksi aparatus ideologi Barat tersebut secara sengaja menciptakan relasi-relasi subordinasi Barat terhadap state of mind masyarakat Dunia Ketiga. Bukan semata kepentingan kolonialisasi politik namun juga untuk membangun ketergantungan kultural terhadap sistem kapitalisme dan globalisme. Dominasi kapitalisme global tersebut telah melahirkan krisis kemanusiaan yang paradoks dengan cita-cita sosial humanisme Barat sendiri. Kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan global merupakan anomali-anomali sosial yang mengemuka dalam hal ini. Salah satu respon yang muncul adalah bangkitnya kelompok-kelompok sosial berbasis keagamaan yang mengusung serta memperjuangkan syariah Islam sebagai pandangan alternatif. Garis ideologis yang dapat ditarik dari berbagai fenomena kebangkitan gerakan keagamaan di berbagai kawasan dunia tersebut adalah keyakinan mendasar mereka terhadap kredo “syariah Islam adalah solusi”.

Pada dasarnya klaim bahwa syari`ah Islam penawar mujarab merupakan identitas primordialitas yang bersifat fitriah. Seseorang yang memiliki identitas keberagamaan tentu akan menempatkan kebenaran agamanya dalam jantung keyakinannya. Persinggungan Islam sebagai agama pada tataran historis-aplikatif meniscayakan artikulasi dan corak keberislaman yang beragam. Tidak terkecuali wajah ekspresi sosial-politik-budaya bagi klaim bahwa “Islam adalah solusi”. Pergumulan Islam dengan kondisi lingkungan yang tidak tunggal ditambah faktor realitas kesejarahan masyarakat Islam di berbagai kawasan yang heterogen menghadapkan masyarakat Islam pada berbagai pilihan corak dalam membumikan ajaran-ajaran Islam. Pijakan doktrin Islam dan realitas sosiologis masyarakat mengantarkan maxim Islam is solution setidaknya pada dua corak pendekatan, yaitu mengedepankan pendekatan bercorak ideal-normatif-ideologis dan menekankan corak ideal-historis-sosiologis.

Keyakinan akan otentisitas dan kesempurnaan ajaran Islam dengan tetap mengacu kepada preseden historis generasi Islam awal (salaf) merupakan basis ideologis pandangan kalangan yang kukuh mempertahankan syariah sebagai penawar atas problem sosial-politik masyarakat Islam. Kerancuan dan paradok-paradok peradaban atas nama modernitas Barat dinilai gagal mensejahterakan tatanan sosial-politik penduduk dunia, khususnya masyarakat Islam. Realitas sosial, politik, ekonomi, hukum bahkan kondisi keamanan yang kacau, morat marit, amburadul begitu menohok perasaan masyarakat muslim yang mayoritas hidup di negara-negara pasca kolonial. Krisis ekonomi, instabilitas politik, ancaman pemanasan global, degradasi moral menyeret hukum-hukum produksi peradaban Barat pada meja dakwaan. Situasi ini memberi peluang bagi tampilnya syari`ah Islam sebagai jawaban atas semua patologi sosial global tersebut. Semakin kuat hegemoni dan daya represifitas dunia Barat terhadap masyarakat muslim akan paralel dengan semakin kencangnya tuntutan untuk mengimplementasikan syari`ah Islam. Dan hal inilah yang dialami dan terjadi pada masyarakat muslim di Indonesia.

Meski beberapa kali terganjal oleh mekanisme legislasi negara, perjuangan komunitas maupun kelompok muslim untuk menegakkan syariah Islam tidak surut. Setelah Nanggroe Aceh Darussalam, masyarakat muslim di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Banten dan beberapa daerah di Jawa Barat menuntut diakomodasinya syari`ah Islam dalam sistem perundangan-undangan. Diluar itu, manuver-manuver elemen-elemen Islam seperti Laskar Jihad, FPI, Ahli Sunnah wal Jama`ah, FPIS, Majelis Mujahidin, dll memiliki saham besar dalam mendorong akselerasi dan pengerasan wacana penegakan syari`ah Islam. Pasca peledakan Kuta Bali, secara sepihak gerakan-gerakan Islam ini diinisiasikan kepada Jama`ah Al Qaidah yang dituduh Amerika sebagai biang penebar terorisme global. Keterlibatan Jama`ah Islamiyah dalam berbagai aksi peledakan seolah pintu masuk untuk menginvestigasi gerakan-gerakan Islam militan tersebut. Tidak pelak, premis bahwa Islam identik dengan kekerasan begitu melekat dalam opini publik dunia tanpa mau mempertimbangkan faktor geo-sosial-politik masyarakat muslim sendiri.

Namun sejauh manakah apresiasi dan komitmen masyarakat muslim di Indonesia yang sesungguhnya terhadap wacana penegakan syariah Islam dalam proses penumbuhan good governance. Survey yang dilakukan Pusat pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta terhadap kultur sosial-politik masyarakat muslim Indonesia menunjukan bahwa sebanyak 61,4% responden di 16 provinsi memberikan dukungan terhadap penerapan syariah Islam dalam tata sosial-plotik bangsa. Namun mengenai perlunya penerapan hukum rajam, potong tangan, pelarangan bunga bank, eksklusivitas hak politik muslim dan aturan formal lainnya menunjukan ketidaksepakatan. Kalau kita mempertimbangkan data ini, penerapan syariah harus mempertimbangkan dimensi etika sosial. Ini menjadi penting, karena lanskap pengimplementasian syariah berbasis pada realitas dan masyarakat majemuk. Pengabaian atas realitas dan konteks ini akan menimbulkan efek pandora bagi munculnya kasus-kasus kekerasan (kultural dan struktural) atas nama agama.

Hemat penulis, akar masalah bagi konstruksi filosofis idealitas cita-cita Islam tertumpu pada ta`wil historis “syari`ah Islam adalah solusi”. Sachedina dalam The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2001), menyatakan bahwa ungkapan Islam syariah sebagai jawaban atas berbagai permasalahan manusia mengandung makna adanya tanggungjawab untuk merumuskan etika sosial Islam. Secara senada, Farid Esack menyimpulkan bahwa keyakinan ideal Islam sebagai pumpunan tertinggi bagi resolusi tata kehidupan kemanusiaan merupakan tanggungjawab ijtihad kemanusiaan yang sifatnya “belum terpikirkan” (meminjam term Arkoun) dalam agenda masyarakat muslim dewasa ini. Tantangan untuk merumuskan etika sosial dalam bingkai universalitas tata nilai syariah Islam membawa wacana syariah Islam dalam titik pandang ideal-historis dan sosiologis.

Perumusan konsep syariah Islam pada suatu jeda historis berikut kawasan lokal tertentu sulit untuk menghindari proses intervensi kultural, sosiologis, politis, dan antropologis masyarakat. Akibatnya, apresiasi masyarakat muslim tentang syari`ah Islam mengalami ragam persepsi. Pada dataran lokalitas kebudayaan, universalitas nilai-nilai Islam terbahasakan dalam bentuk tindakan-tindakan kebajikan yang beragam. Karena formula dan bahasa simbolik nilai-nilai moral universal kebajikan akan banyak ditentukan oleh konteks lokal. Secara alamiah, ragam budaya dan tradisi lokal membentuk jaringan kebudayan yang saling berkelindan dalam belantara multikultural, multietnik dan multireligi. Tradisi yang berbeda-beda dalam medan-medan ini harus membangun relasi-relasi. Maka komunikasi dan dialog menjadi pilar tumpuan dalam etika sosial Islam. Kepentingan multikulturalisme mendorong tradisi cross culture (lintas budaya) dan berbagi pengalaman sebagai gerbang untuk memasuki perjumpaan, komunikasi, dialog dan merupakan kesempatan untuk membangun dan meningkatkan pengertian. Dengan begitu, benturan dan kekerasan pada tingkat apresiasi dan aplikasi masyarakat muslim terhadap syariah Islam bisa diminimalisir.

Tradisi croos culture, komunikasi dan dialog mampu menyantuni realitas perbedaan makna dan kepentingan budaya ketika dikonfrontasikan dengan cita-cita ideal syariah Islam. Komunikasi adalah kunci memahami realitas dalam inter-koneksi budaya dan tradisi pada konteks pembumian syari`ah. Sistem nilai syariah Islam pada aras ideal-normatif harus bersifat universal sedang pada realitas historis-sosiologis, Islam harus ditampilkan dalam bahasa simbolik/budaya yang beragam dan partikular. Dengan begitu ruang perjumpaan, komunikasi dan dialog menjadi landasan bagi etika sosial syariah Islam dalam mengapai cita-cita ideal-normatif Islam.



[1] Tulisan pernah dimuat di Bengawan Pos

1 comment:

Unknown said...

Assalamu'alikum,,,
Kng, kawit ti Sukabumi kan, nepangkeun abdi "Yeni Dasti Rahayu" ti Sukabumi oge, ayena nuju kuliah di SPS UIN Sya_Hid Jkt, smt. IV, kaleureusan nuju ngagarap tesis tentang "HAM dan Pendidikan Pesantren" penelitian di pesantren Syamsul Ulum, pami teu kaabotan hoyong dikintun bahan-bahan yang berkaitan dengan HAM versi Islam n Barat, hatur nuhun,
wassalam