ANALISIS KRITIS WACANA KEILMUAN DAN KEISLAMAN :
STUDI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Pada tanggal 14 Oktober 2002 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) genap berusia 44 tahun. Rentang usia tersebut mengantarkan universitas menelusuri lika liku perjalanan akademik. Kiprah selama 44 tahun dalam dunia akademik dan kemasyarakatan sudah selayaknya membuat lembaga pendidikan ini bersikap dewasa (mature) sekaligus tumbuh dalam tradisi kritik. Tingkat maturitas sebuah institusi sangat penting ketika dihadapkan dengan pergulatan wacana dan persaingan kompetensi mutu alumni di tengah pasar bebas dunia pendidikan.
“wacana keilmuan dan keislaman” adalah kerangka besar visi UMS yang harus diterjemahkan dalam konteks sosial pendidikan yang relevan. Dialektika variabel keilmuan dan keislaman dalam ruang publik civitas akademika menjadi faktor determinan kampus sebagai ladang penyemaian akademisi-akademisi berjiwa profetik yang menyuarakan emansipasi sosial dan keadilan. Dinamisasi wacana ditingkat struktur birokrasi kampus (rektorat, fakultas/dosen, karyawan) yang dipadu ketegangan kreatif (creative tension) dikalangan mahasiswa adalah basis konstruksi yang berperan dalam mewarnai corak intelektualisme kampus. Pergulatan wacana dalam kancah aktivis mahasiswa sudah pernah penulis jabarkan secara umum dalam harian SOLOPOS, 10/8/2001, “Menyoal jilbabisasi kampus UMS”. Dan tulisan ini merefleksi potret pergumulan aneka wacana keagamaan di level birokrasi kampus dengan memakai pendekatan poskolonial yang dikombinasikan kritik relasi kuasa dalam analisis wacana kritis (Eriyanto, Analisis Wacana, 2002).
Pemetaan Awal
Berdasarkan ragam mainstream pemikiran keagamaan yang survive dalam pergulatan dan pertarungan wacana setidaknya ada empat arus wacana yang meramaikan gemuruh wacana dalam struktur birokrasi kampus. Pertama, arus wacana yang meyakini Islam sebagai ideologi universal (Islam kaffah). Bagi pemikiran pertama ini Islam tidak mengenal partikularitas aplikasi teritori dan historisitas pemahaman teks keagamaan. Universalisme Islam dan sakralitas teks menjadi prinsip dasar aplikasi Islam dalam ranah duniawiyah-empirik. Pemikiran ini menjadi simpul bagi varian-varian wacana sejenis yang muncul, baik pada skala ekstrim maupun moderat. Fenomena ini membuka ruang bagi simpatisan gerakan-gerakan keagamaan alternatif (harakah) untuk mengekspresikan isu-isu dan wacana identitas perjuangannya seperti islamisasi kampus (jilbabisasi). Kedua, arus wacana yang mentahbiskan Muhammadiyah sebagai ideologi (tunggal) dalam bidung gerak wacana keagamaan kampus. Pendekatan yang dipakai oleh arus ini sarat dengan rona ideologis dalam menyikapi wacana dan gerakan pemikiran yang muncul. Mainstream ini memiliki basis (massa) birokrasi cukup mapan dalam struktur birokrasi serta cenderung mampu mengontrol penguasaan wacana kampus.
Ketiga, garis pemikiran yang mengambil pendekatan tentatif bercorak sufistik/tharikat dalam menerjemahkan Islam pada konteks kekinian. Lambat laun gejala pemikiran ini berubah menjadi kekuatan wacana yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kemampuan wacana ini dalam membangun basis (massa) birokrasi dalam tenggang relatif cepat menjadi semacam kekuatan ancaman bagi kemapanan arus wacana yang kedua. Keempat, riak wacana yang komitmen dengan kritisisme terhadap persoalan agama dan sosial. Sampan mazhab kritis Muhammadiyah ini melaju di antara derasnya berbagai arus pemikiran diatas. kalangan minoritas yang mengakomodasi wacana liberasi Islam ini lebih banyak melakukan individuasi dalam proses pewacanaannya dibanding arus-arus pemikiran lain yang justru melakukan pembasisan massa birokrasi. Mazhab kritis ini mengedepankan kritik sosial dalam menyikapi fenomena dan isu-isu keagamaan, khususnya dalam spektrum kampus.
Poskolonial dalam Wacana
Seperti dikemukakan di muka bahwa refleksi ini memakai titik pandang poskolonial dan pendekatan relasi kuasa. Ini terkait dengan dua asumsi bahwa struktur birokrasi berperan besar dalam “merestui” atau bahkan membangun dominasi arus wacana tertentu dan konfigurasi tersebut, sadar atau tidak, selalu mengeksploitasi isu pusat-pinggir, dominasi-subordinasi, wacana tunggal-wacana tanding. Yang pertama diidentikan dengan mazhab resmi sebagai oposisi biner dari yang kedua, tidak resmi.
Edward Said dalam karya provokatifnya,Orientalism, memperkenalkan cara pandang baru yang radikal-kritis terhadap fenomena hegemonik Barat. Pembongkaran citra-citra imajiner Barat dalam relasinya dengan Islam dikemudian hari melahirkan teori poskolonial yang menelanjangi hegemoni dan dominasi Barat terhadap Islam. Foucault melihat relasi Barat dan Islam yang kolonialis ini sebagai sebuah relasi kuasa; relasi yang dibangun diatas kepentingan ideologi, politik dan kekuasaan dengan menempatkan pihak lain sebagai entitas yang harus ditundukan. Perspektif poskolonial digunakan dalam tulisan ini untuk melahirkan daya kritik terhadap wacana dan asumsi-asumsi yang telah mapan yang terus dikembangkan dan wacana demikian menggurita menjadi bentuk “imperialisme” dalam memori publik. Seperti telah dikemukakan diawal, pemetaan konsfigurasi wacana dalam sinaran poskolonial akan membelah relasi wacana diatas dalam klasifikasi wacana resmi yang harus menjadi pusat sehingga layak men-subordinasikan wacana-wacana lain yang dipandang tidak resmi.
Analisis wacana kritis atas pemetaan diatas menyingkap adanya relasi ideologis dibalut jaringan struktural dalam menciptakan dominasi mainstream wacana bahwa Muhammadiyah sebagai ideologi resmi dalam wacana keagamaan kampus. Arus wacana ini berhasil membangun dominasinya atas wacana lain karena ditopang jaringan struktural birokrasi. Mulai pada level rektorat, fakultas dan lembaga operasional akademik. Kepentingan ideologis yang bersekutu dengan kuasa birokrasi menyeret ideologi Muhammadiyah sebagai ideologi predator atas nama kepentingan persyarikatan. Potret ini terlihat jelas bagaimana kuatnya intervensi “atas nama” birokrasi struktural dan persyarikatan dalam penguasaan arah dan wilayah kajian serta pengembangan wacana keagamaan kampus. Jaringan struktural wacana dominan tersebut seolah mesin verifikasi birokrasi untuk mengamankan cagar otentisitas ideologi Muhammadiyah.
Dominasi arus wacana Muhammadiyah sebagai ideologi tunggal dalam mengembangkan, memaknai dan menilai pergulatan wacana keilmuan dan keislaman seakan tidak memberi ruang bebas bagi munculnya arus wacana lain sebagai kekuatan wacana tanding. Menguatnya kemapanan arus wacana bercorak sufistik/tharikat dalam dialektika wacana keagamaan melahirkan masalah tersendiri bagi kekuatan ideologi Muhammadiyah. Grafik naik skala kolektivitas massa arus wacana baru ini tanpa terasa memupuk benih-benih dominasi tandingan yang akan mengikis kemapanan dominasi arus Muhammadiyah sebagai ideologi resmi. Akibatnya, kekuatan wacana terakhir ini mencoba mengurung ruang gerak arus wacana bercorak sufistik/tharikat tersebut. Mekanisme yang rapi namun sistemik dalam mengebiri dan memangkas kekuatan wacana sufistik/tharikat adalah melalui prosedur struktur birokrasi. Operasi “sapu jagat ” untuk mengamankan ideologi persyarikatan dari gangguan dan tantangan ideologi lain ini memiliki preseden historis pada masa Bani Abbassiyah yaitu peristiwa mihnah atau inkuisisi. Kala itu ideologi Mu`tazilah atas nama penguasa mengintrogasi dan menyingkirkan kelompok ideologi lain dalam upaya penguatan dan pelestarian dominasi ideologi Mu`tazilah. Dalam sejarah perkembangan teologi Islam nama Imam Hambali dikenal salah satu orang yang teguh walau diintimidasi oleh penguasa untuk mengakui kemahlukan Al Quran sebagaimana keyakinan Mu`tazilah.
Upaya marjinalisasi secara struktural wacana bercorak sufistik/tharikat oleh aparat ideologi arus wacana dominan ini tidak atau belum menimpa arus wacana lain karena dipandang belum merupakan ancaman nyata terhadap kemapanan dominasi ideologi Muhammadiyah. Sehingga mereka nampak masih diberi sedikit ruang toleransi. Secara sistemik kognisi publik civitas akademika digiring (paksa) kepada satu pemahaman bahwa memang sudah selayaknya ideologi Muhammadiyah menjadi mazhab resmi pemikiran keagamaan dalam ranah civitas akademika.
Relasi Kuasa dalam Wacana
Reka cipta pewacanaan tunggal ini tidak memberi ruang ekspresi serta gerak yang leluasa bagi tumbuhnya benih-benih dominasi wacana-wacana diluar mainstreamnya. Marjinalisasi arus wacana tertentu melalui jalur resmi verifikasi birokrasi diatas terjadi secara perlahan namun pasti. Hemat penulis, konsistensi pemikiran Muhammadiyah sebagai ideologi gerakan berubah menjadi wacana dominan-hegemonik bukan semata masalah kepentingan pengamanan otoritas ideologi Muhammadiyah, namun terkait erat dengan relasi kuasa dan patron client. Relasi kuasa dimaknai dalam konteks ini adanya kepentingan untuk menundukan arus wacana tertentu dengan motif ideologis, politis dan kekuasaan. Client sendiri menjadi dampak logis dari adanya proses penundukan yang mengisyaratkan adanya ketergantungan, balas jasa dan imperiority complex dihadapan patron.
Relasi kuasa dalam dominasi ideologi Muhammadiyah terhadap arus wacana lain sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan dialektika wacana keilmuan dan keislaman. Kondisi ini tentunya tidak sehat kalau terus dibiarkan karena akan terjadi pembusukan akademik plus struktural dalam tubuh birokrasi kampus. Dampak yang akan mengemuka adalah lenyapnya spirit ilmiah dari civitas akademika Muhammadiyah dan keislaman Indonesia pada umumnya. Kekuatan-kekuatan wacana yang lain tentunya menjadi tumpuan harapan untuk memunculkan daya kritik sosial sehingga memunculkan kekuatan wacana tanding dalam pergumulan kedua variabel tersebut. Kasus “inkuisisi” garis wacana bercorak sufistik/tharikat oleh kekuatan wacana yang mengklaim bahwa Muhammadiyah adalah ideologi resmi pada baru-baru ini sudah selayaknya menjadi refleksi betapa maturitas wacana keagamaan civitas akademika masih belum teruji. Padahal lembaga pendidikan tinggi akan tumbuh menjadi pusat pengembangan akademik-ilmiah jika ditopang oleh semangat toleransi, demokrasi, pluralisme dan tradisi kritik. Akhirnya, selamat merayakan hari jadi (refleksi) yang ke 44 kepada civitas akademika Univeristas Muhammadiyah Surakarta.
No comments:
Post a Comment