Thursday, July 12, 2007

ISLAM PENDEKATAN KAKI LIMA #

Doktrin bahwa manusia mahluk tunggal yang diberi amanah memakmurkan bumi dengan segala isinya akan kita temui pada semua konsep agama. Dengan menepikan dikotomi agama ardli dan samawi, segenap risalah untuk kemanusiaan tersebut mentahbiskan umat manusia sebagai subyek sekaligus obyek pencerahannya. Oleh karena itu, semua agama memiliki misi sekaligus konsep untuk menyebarkan ajaran-ajarannya kepada semua manusia; tanpa memandang sekat-sekat dan diskriminasi suku, ras, bangsa. Dibalik heterogenitas agama-agama di dunia, nilai-nilai etik kemanusiaan diharapkan menjadi perekat universal bagi keragaman diatas (lih. Hans Kung, The Global Ethics, 1999).

Satu yang pasti, doktrin menyebarkan agama kepada manusia lain merupakan salah satu inti ajaran agama-agama tersebut. aksioma ini dilandasi keyakinan luhur untuk mengajak umat manusia kepada gerbang pencerahan dan keselamatan. Pada tataran praktis, agama-agama itu secara khusus mendidik orang-orang pilihan untuk meluaskan otoritas dan klaim keselamatan agamanya. Dalam dunia kristen dikenal istilah zending dan misionaris (gospel), yahudi menyebutnya zionis (zionisme) dan gelar da`i / du`at (dakwah) lajim dipakai dalam tradisi Islam. Perlombaan merekrut pengikut sebanyak-banyaknya di antara agam-agama tersebut pada dasarnya mrupakan ujian bagi mereka untuk menunjukan kiprah terbaiknya untuk kemanusiaan. Namun tidak jarang konfigurasi diatas menggoreskan catatan kelam dalam lembaran sejarah. Betapa tidak, tragedi perang salib, genoside muslim Bosnia sampai konflik berdarah Palestina-Israel menjadi duri dalam daging bagi kemanusiaan (baca: fitrah agama) itu sendiri. Pada konteks inilah dibutuhkan konsep dan strategi yang mengedepankan semangat toleransi, menghormati keragaman keyakinan, menjungjung tinggi kebebasan (memilih), jauh dari rekayasa kekerasan (non violence) dan paksaan, menonjolkan sentuhan humanistik serta bersikap fair play.

Era Global, Zaman Kultural: Dakwah Kaki Lima

Sebagai salah satu rumpun abrahamic religion, Islam menyandarkan sumber otoritasnya kepada kalam ilahiah melalui proses pewahyuan. Secara verbal dapat kita jumpai diktum-diktum dalam al Quran dan Hadis yang menganjurkan kepada orang muslim untuk berdakwah kepada diri pribadi, umat Islam dan sesama manusia. Kerangka paradigmatik yang berbeda dalam menyingkap makna tekstualitas kedua sumber diatas memunculkan pemahaman-aplikatif yang beragam. Ini terjadi karena adanya dialektika hermeneutis; teks, konteks dan realitas. Dialektika ini mempengaruhi perfomance Islam, baik pada tingkat aplikatif-praktis maupun pada konfigurasi relasi Islam dengan agama lain. Konsep dan strategi dakwah pula akan banyak ditentukan oleh keragaman paradigmatik.

Misi penyebaran sebuah agama sering kali bergandengan dengan kepentingan politik dan dominasi penguasa. Karena kekuasaan yang dibangun diatas otoritas agama dan hegemoni politik memiliki daya hisap yang luar biasa. Ini terjadi karena agama sebagai sumber moralitas ditundukan kepada kepentingan politik yang metafor. Fanorama ini menempatkan agama sebagai kuda tunggangan kekuasaan.

Ajaran Islam bersifat universal dan diperuntukan bagi semua umat manusia dari berbagai belahan bumi (lih. Q.S. al Hujurat: 13). Postulasi membawa Islam masuk ke dalam semua lapisan golongan masyarakat dengan keragaman latar sosio-kulturalnya. Islam seharusnya bukan barang mewah yang hanya berhak di klaim oleh sekelompok masyarakat sebagai satu-satunya yang absah memonopoli identitas muslim. Misalnya, priyayi, santri, abangan, eksekutif, karyawan, sarjana/pelajar, gelandangan pengemis, pedagang, petani dan kuli buruh, memiliki hak yang sama untuk masuk dalam payung Islam tanpa harus dipersoalkan basis sosio-kultural serta kadar kesalehan individualnya.

Dalam al Quran, ajakan untuk berdakwah diisyaratkan harus melalui metode dan strategi yang bijak .Sebagaimana firman Allah, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang cara baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. An Nahl : 125). Dalam ayat lain dikemukakan bahwa penyampaian ajakan tersebut harus memakai “bahasa” (lisan) yang dapat dimengerti oleh komunitas yang menjadi audiens dakwah. Secara semoitis, bahasa pada kerangka ini dimaknai pendekatan sosio-kultural sesuai latar empirik lokalitas audiens (mustami`)..

Globalisasi informasi dan komunikasi meniscayakan rontoknya bilik-bilik budaya seiring berhamburannya nilai-nilai modernitas (Barat) masuk ke dalam cagar tradisi dan budaya Timur. Agama sudah selayaknya memainkan peran sebagai spirit vitalitas dan sumber moralitas yang memproteksi limbah-limbah modernitas. Dan Islam harus bisa menyapa semua strata sosial dengan basis ideologi yang plural. Implikasinya, Islam tampil dalam racikan selera dan cita rasa strata sosial yang beragam. Selama ini Islam nampak menjadi agama elite (ekonomi, politk) yang jauh dari jangkauan rakyat awam. Tegasnya, Islam nampak menegasikan diri sebagai agama rakyat. Ini dipahami berbeda dengan istilah folk religion dalam kasus di Amerika.

Saat ini sudah seyogyanya Islam melakukan pendekatan kaki lima dalam proses dakwahnya. Islam kaki lima merepresentasikan Islam yang sarwa wajah (multifaces). Orientasi dakwahnya tidak terjebak kepada bidang dan kepentingan yang terkotak-kotak. Pendekatan ini menyadari modalitas sosial berbagai dimensi non-politik sekaligus mengakomodasi kekuatan politik sebagai sarana aksentuasi moralitas agama. Yang pertama populer dengan istilah gerakan kultural sebagai counter balance bagi pendekatan kedua, struktural. Islam dengan wajah kaki lima mengharuskan Islam sebagai way of life yang memayungi segala asfek sosial sekaligus sumber kritisisme terhadap relasi masyarakat dan negara.

Karakteristik kaki lima yang biasa kita jumpai pada pedagang-pedagang kecil mengaksentuasikan bahwa Islam diperuntukan bagi selera semua lapisan masyarakat. Dengan begitu, Islam mampu menjadi agama yang memasok, menusuk sekaligus meresap ke semua lini kehidupan dus menembus heterogenitas strata sosial. Penyadaran dan pencerahan moralitas masyarakat yang menjadi beban historis Islam relatif cepat menemukan momentumnya. Karena Islam akan tumbuh menjadi kekuatan sosial–sejarah yang tangguh kalau dibangun diatas kesadaran masyarakat kelas bawah.



# Tulisan ini dimuat di Harian Umum SOLOPOS pada tanggal 6 September 2002.

No comments: