Era Global, Zaman Kultural: Dakwah Kaki Lima
Sebagai salah satu rumpun abrahamic religion, Islam menyandarkan sumber otoritasnya kepada kalam ilahiah melalui proses pewahyuan. Secara verbal dapat kita jumpai diktum-diktum dalam al Quran dan Hadis yang menganjurkan kepada orang muslim untuk berdakwah kepada diri pribadi, umat Islam dan sesama manusia. Kerangka paradigmatik yang berbeda dalam menyingkap makna tekstualitas kedua sumber diatas memunculkan pemahaman-aplikatif yang beragam. Ini terjadi karena adanya dialektika hermeneutis; teks, konteks dan realitas. Dialektika ini mempengaruhi perfomance Islam, baik pada tingkat aplikatif-praktis maupun pada konfigurasi relasi Islam dengan agama lain. Konsep dan strategi dakwah pula akan banyak ditentukan oleh keragaman paradigmatik.
Misi penyebaran sebuah agama sering kali bergandengan dengan kepentingan politik dan dominasi penguasa. Karena kekuasaan yang dibangun diatas otoritas agama dan hegemoni politik memiliki daya hisap yang luar biasa. Ini terjadi karena agama sebagai sumber moralitas ditundukan kepada kepentingan politik yang metafor. Fanorama ini menempatkan agama sebagai kuda tunggangan kekuasaan.
Ajaran Islam bersifat universal dan diperuntukan bagi semua umat manusia dari berbagai belahan bumi (lih. Q.S. al Hujurat: 13). Postulasi membawa Islam masuk ke dalam semua lapisan golongan masyarakat dengan keragaman latar sosio-kulturalnya. Islam seharusnya bukan barang mewah yang hanya berhak di klaim oleh sekelompok masyarakat sebagai satu-satunya yang absah memonopoli identitas muslim. Misalnya, priyayi, santri, abangan, eksekutif, karyawan, sarjana/pelajar, gelandangan pengemis, pedagang, petani dan kuli buruh, memiliki hak yang sama untuk masuk dalam payung Islam tanpa harus dipersoalkan basis sosio-kultural serta kadar kesalehan individualnya.
Dalam al Quran, ajakan untuk berdakwah diisyaratkan harus melalui metode dan strategi yang bijak .Sebagaimana firman Allah, “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang cara baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. An Nahl : 125). Dalam ayat lain dikemukakan bahwa penyampaian ajakan tersebut harus memakai “bahasa” (lisan) yang dapat dimengerti oleh komunitas yang menjadi audiens dakwah. Secara semoitis, bahasa pada kerangka ini dimaknai pendekatan sosio-kultural sesuai latar empirik lokalitas audiens (mustami`)..
Globalisasi informasi dan komunikasi meniscayakan rontoknya bilik-bilik budaya seiring berhamburannya nilai-nilai modernitas (Barat) masuk ke dalam cagar tradisi dan budaya Timur. Agama sudah selayaknya memainkan peran sebagai spirit vitalitas dan sumber moralitas yang memproteksi limbah-limbah modernitas. Dan Islam harus bisa menyapa semua strata sosial dengan basis ideologi yang plural. Implikasinya, Islam tampil dalam racikan selera dan cita rasa strata sosial yang beragam. Selama ini Islam nampak menjadi agama elite (ekonomi, politk) yang jauh dari jangkauan rakyat awam. Tegasnya, Islam nampak menegasikan diri sebagai agama rakyat. Ini dipahami berbeda dengan istilah folk religion dalam kasus di Amerika.
Saat ini sudah seyogyanya Islam melakukan pendekatan kaki
No comments:
Post a Comment