MENCARI WAJAH SPRITUALITAS GERAKAN SOSIAL BARU*
A. Teori Sosial Kritis: Titik Pandang Kritik Ideologi
Diskursus ideologi merupakan salah satu tema sentral dalam perdebatan studi-studi filsafat, sejarah, sosial, politik, bahkan dalam perkembangan kontemporer ideologi menjadi unsur dominan dalam studi budaya (cultural studies). Secara geneologis, studi ideologi biasanya berangkat dari pembahasan konsep ideologi menurut Karl Marx dan Karl Mannheim,[1] karena keduanya dianggap memiliki kontribusi penting dalam menginspirasi perdebatan-perdebatan konsep ideologi pasca Marx. Namun menurut Douglas Kellner, adalah Frederick Engels, sahabat Karl Marx, yang kali pertama memfokuskan perhatian pada perbedaan-perbedaan antara masyarakat pra modern dan modern serta peran formatif kapitalisme dalam menciptakan dunia modern baru. Sehingga sesungguhnya gagasan-gagasan Engels-lah yang telah memberi inspirasi pada Marx untuk memahami nilai penting kapitalisme dalam masyarakat modern.[2]
Dalam German Ideology (1846), Marx dan Engels mengemukakan bahwa ideologi pada dasarnya merupakan kesadaran yang melenceng atau keliru atas dunia, kesadaran yang menyembunyikan hubungan riil orang-orang dengan dunia mereka. Menurut mereka, ini terjadi karena ideologi-ideologi yang tersebar dan banyak dianut dalam suatu masyarakat mencerminkan serta mereproduksi kepentingan-kepentingan kelas-kelas sosial yang dominan.[3] Dengan kata lain, ideologi merepresentasikan realitas semu (kesadaran palsu) yang menutupi realitas sebenarnya, yaitu eksplotasi, kekerasan dan penindasan, dari kelas-kelas pekerja ataupun kelas sosial yang dihisap oleh sistem borjuasi. Oleh karena itu, studi ideologi mulai mendapat tempat penting pada aras ekonomi dan budaya ketika kapitalisme berada pada posisi terdepan dalam mempraktikkan sistem ekonomi yang eksploitatif sekaligus mengarsiteki relasi-relasi sosial yang hegemonik. Ada dua tesis Marx yang selalu dirujuk oleh generasi pasca Marx, yaitu “the dominant ideas in any society are the ideas of the ruling class”, dan “what we perceive to be true character of social relations within capitalism are in actuality the mytifications of the market”.[4]
Sejalan dengan postulasi Marx, Karl Mannheim dalam ideology and Utopia (1936), menggambarkan ideologi lebih tampak sebagai battle cry atau propaganda perang dari kelompok, partai atau sekte tertentu yang berusaha membentuk opini dan gerakan mengenai isu-isu tertentu yang diperdebatkan, yang dengan cara ini mereka dapat memobilisasi massa untuk berjuang demi atau menentang mereka. Dari segi proses, Mannheim menghubungkan ideologi dengan utopia dan mendorong para pembacanya untuk mengakui ideologi sebagai manipulasi sikap dan kepercayaan yang bersifat partisan. Definisi dan konsepsi ideologi menurut Marx dan Mannheim mencerminkan pemaknaan ideologi yang dibangun di atas realitas timpang bahwa kapitalisme telah melakukan proses eksploitasi sistemik terhadap nilai-nilai surplus ekonomi kalangan proletar melalui penguasaan alat-alat produksi. Ideologi lebih dilihat sebagai seperangkat gagasan dan tata nilai dominan kalangan borjuis-kapitalis.
Analisis Marx terhadap kapitalisme berporos pada dua postulasi, yakni hubungan antara ekspansi divisi pekerja/buruh pada satu sisi, dan polarisasi struktur kelas pada sisi lain. Kemunculan kapitalisme di Eropa Barat berakar pada proses kesejarahannya yang secara sepihak mengontrol alat-alat produksi. Esensi realitas ideologi kapitalisme adalah keharusan eksistensi kelas borjuis ataupun pemilik modal yang mensyaratkan adanya kelas-kelas pekerja-subordinat yang tidak memiliki alat-alat produksi.[5] Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa kapitalisme merupakan mesin ideologi penguasa maupun pemilik modal untuk mengontrol, mendisiplinkan sekaligus menghisap nilai surplus ekonomi kelas-kelas sosial pekerja yang ditempatkan dalam relasi majikan-buruh (hegel).
Dalam konteks neoliberalisme seperti dewasa ini, ideologi kapitalisme penguasa/birokrasi mencerminkan keberadaan kapitalisme negara (state capitalism) yang bernapsu menguasai sekaligus menguras sumber-sumber (daya) ekonomi dan alat-alat produksi publik tanpa mempertimbangkan aspek public service negara terhadap warganya. Adapun ideologi kapitalisme pemilik modal menyimpulkan kehadiran kapitalisme global atau rejim neoliberalisme yang mendewakan liberalisasi pasar dan privatisasi sumber-sumber ekonomi masyarakat. Analisis terhadap struktur dasar masyarakat kapitalis modern (mode of productions dan relations of productians) menghasilkan pandangan-pandangan kritis yang kemudian ditarik menjadi tesis besar Marxisme, termasuk derivasinya seperti sosialisme dan komunisme.
Tesis ini menyimpulkan bahwa konstruksi masyarakat kapitalis modern dibangun seiring dengan kesenjangan ekonomi dan konflik kelas. Untuk mencapai peradaban pencerahan, konflik kelas antara kelas borjuis-penguasa dan kaum proletar yang tertindas akan bisa diselesaikan dengan modus kemenangan kaum pekerja dalam menciptakan tatanan sosial yang egaliter, adil, dan demokratis.[6] Menurut Kellner, artikulasi historis Marx dan Engels membuka transisi historis dari kapitalisme menuju sosialisme.[7] Di samping itu, studi Marx dan Engels terhadap perbedaan tajam masyarakat kapitalis dan pra kapitalis memberikan dasar penting bagi wacana modernitas.
Sosialisme mulai mendapat bentuk pada teoritisasi Lenin dan Trotsky (komunisme). Menurutnya, modus kemenangan kaum pekerja dalam masyarakat kapitalis modern yang eksploitatif hanya bisa dipelopori kelas pekerja melalui revolusi kaum sosialis. Ini berbasis pada peran para pekerja dalam produksi, dan kenyataan bahwa partisipasi dalam produksi kolektif, berarti bahwa kelas pekerja sendirian membangun sebuah kesadaran sosialis (kolektifis). Melalui pengalamannya, kaum proletariat belajar untuk memahami organisasi kolektif dan disiplin. Inilah hasil dari sekolah keras produksi dan eksploitasi kapitalis, yang mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi perjuangan kelas.[8]
Untuk melampuai transisi kapitalisme ke sosialisme, Lenin meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah tatanan sosial-politik kaum pekerja, yaitu:
Pertama, pemilihan umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat;
Kedua, tidak ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang pekerja yang ahli;
Ketiga, tidak ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai;
keempat, secara bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di atas basis yang bergilir.
Menurut postulasi sosialisme, hanya dengan basis-basis di ataslah masyarakat dapat bergerak untuk melakukan revolusi kolektif. Tidak sempat terlintas dalam benak ketiga punggawa pengusung ideologi sosialisme ini bahwa kelas pekerja kali pertama muncul sebagai kekuatan justru di sebuah negara terbelakang bahkan dengan varian ideologi sosialisme-nya.
Eksperimentasi ideologi sosialisme yang dilakukan negara-negara Eropa Timur mencapai anti klimaks mulai dekade 70-an sampai 80-an. Krisis perekonomian yang melanda negara induk komunisme, Uni Soviet, menandai awal rontoknya ideologi sosialisme sebagai ideologi alternatif. Menurut Fukuyama, ada empat variabel yang mendongkrak kemenangan besar ideologi kapitalisme dengan demokrasi liberal-nya atas sosialisme/komunisme,[9] yaitu: runtuhnya asumsi bahwa sosialisme merupakan ideologi alternatif, bangkrutnya negara-negara penganut komunisme, tidak terbuktinya tesis bahwa kelas pekerja meruapakan kekuatan inti politik perubahan sosialisme/komunisme, dan munculnya gerakan-gerakan sosial yang mengusung isu-isu sosial minoritas yang justru selama ini diabaikan sosialisme. Di kemudian hari, variabel terakhir ini menjadi cikal bakal bagi tumbuhnya ideologi-ideologi perlawanan yang berangkat dari lokalitas dan berbasis solidaritas sosial. Habermas dan Alan Tourine menyebutnya new social movement.
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya dalam teori kritis, ideologi diabstraksikan dengan asumsi-asumsi yang berbeda, bahkan tidak sedikit pemikir-pemikir post-Marxism melakukan dekonstruksi terhadap konsep Marxisme, seperti yang dilakukan Ernesto Laclau dan Mouffe. Meski begitu, pemikiran Marx dan Engels mengenai studi masyarakat modern dan ekonomi politik kapitalisme merupakan fondasional bagi teori kritis. Diskursus teori kritis mengantarkan kita untuk memasuki “aras baru” perdebatan dalam studi ideologi-ideologi. Kebaruan itu nampak dari dekonsentrasi konsep ideologi dan perluasan wilayah ideologi itu sendiri.
Gagasan-gagasan ideologi yang dilontarkan Lukas, Althusser, Gramsci, dan Foucalt mencoba membangun definisi berbeda terhadap ideologi. Misalnya, Althusser merestorasi konsep, cakupan, dan mekanisme ideologi; dialektika ideologi mendorong Gramcsi merumuskan konsep ideologi dan hegemoni; dalam pandangan Foucalt, ideologi dan hegemoni bukanlah suatu yang baku apalagi statis dan dominan, namun struktur pengetahuan (discourse) melalui sistem pengetahuan yang memproduksi kebenaran. Secara garis besar, tesis keempat pemikir pasca Marx tersebut dapat disimpulkan dalam pernyataan bahwa ideologi sangat terkait dengan sistem hegemoni, power dan knowledge. studi ideologi, hegemoni, power, dan knowledge inilah yang melahirkan sebuah studi humaniora baru, yaitu cultural studies;[10] sebuah studi interdisipliner pasca posmodernisme dan Madhab Franfurt (untuk menyebut dua arus dalam perdebatan filosofis). Jadi, ideologi akan sangat terikat pada budaya dan power sebagaimana termanifestasi dalam budaya massa/populer.
Dalam studi kritik ideologi gobal, teori sosial kritis dan wacana gerakan sosial baru (new social movement) merupakan alternatif prioritas dari hegemoni globalisasi. Adalah Habermas salah seorang pemuka teoritisi sosial kritis menulis gerakan sosial baru untuk menggeser dominasi (bahkan mitos) kebangkitan kaum proletar. Diinspirasi teori Marxis tentang perjuangan kelas dan perspektif pasca Marxis tentang gerakan sosial, Habermas merevisi pandangan Marxis atas aksi sosiopolitis transformasional melalui perubahan terhadap wilayah ortodoks sayap kiri (baca: Marxis tradisional). Sehingga teorisasi gerakan sosial pasca Marx mencakup gerakan perempuan, gerakan masyarakat kulit berwarna, gerakan sosial poskolonial, gerakan lingkungan, gerakan nuklir, dan gerakan pembebasan nasional.[11] Bagi tokoh generasi kedua Mazhab Frankfurt ini, teori sosial kritis harus menghargai sekaligus mengakomodasi keragaman gerakan perlawanan lokal terhadap dominasi. Bagi Habermas, gerakan sosial harus ditempatkan pada posisi dan peran sebagai gerakan resistensi melawan dominasi sistemik secara praktis. Dan jika agama diyakini sebagai kekuatan pembebas dan berpihak pada keadilan sosial, lalu bagaimana relasional gerakan sosial tersebut dalam framing spirit pembebasan agama?
B. Framing Progresivitas Agama
The majority of organized religion is focused on individual salvation. But, you can find a minority that is involved in social action--- whether on the "religious right" or "religious left" all over the world. While the "right" tries to "get back to traditional values", the "left" is "fighting for social justice."[12]
Spirit kehadiran agama, khususnya dalam tradisi semitik, mengartikulasikan visi dan gerakan pembebasan, yang dalam term teori sosial kritis disebut gerakan politis.[13] Artikulasi politik agama pada saat itu merupakan sikap penolakan terhadap penindasan sistem sosial maupun dominasi budaya. Namun, fungsi sosial agama dalam realitas empirik lebih mengedepankan fungsi integratifnya, dan pada saat yang sama, fungsi disintegratif agama selalu ditutupi. Fungsi integratif menuntut agama untuk dijadikan instrumental demi mendukung sistem sosial ekonomi yang berlangsung.[14] Dari sinilah Marx melancarkan kritik terhadap fungsi agama yang disebutnya sebagai “candu rakyat”.
B. Framing Progresivitas Agama
The majority of organized religion is focused on individual salvation. But, you can find a minority that is involved in social action--- whether on the "religious right" or "religious left" all over the world. While the "right" tries to "get back to traditional values", the "left" is "fighting for social justice."[12]
Spirit kehadiran agama, khususnya dalam tradisi semitik, mengartikulasikan visi dan gerakan pembebasan, yang dalam term teori sosial kritis disebut gerakan politis.[13] Artikulasi politik agama pada saat itu merupakan sikap penolakan terhadap penindasan sistem sosial maupun dominasi budaya. Namun, fungsi sosial agama dalam realitas empirik lebih mengedepankan fungsi integratifnya, dan pada saat yang sama, fungsi disintegratif agama selalu ditutupi. Fungsi integratif menuntut agama untuk dijadikan instrumental demi mendukung sistem sosial ekonomi yang berlangsung.[14] Dari sinilah Marx melancarkan kritik terhadap fungsi agama yang disebutnya sebagai “candu rakyat”.
Argumentasi Marx terhadap agama yang cenderung didominasi pesimisme berbuntut apriori di kalangan Marxis terhadap peran dan tanggungjawab sosial agama. Tidak kurang profesor dan guru besar Marxis Prancis di era Ali Syariati meragukan kekuatan Islam sebagai sumber inspirasi revolusi. Berakar pada kritiknya terhadap materialisme dan rasionalitas Barat, Syari`ati menemukan gagasan-gagasan Syiah dalam konteks revolusioner.[15] Ideologisasi Islam Syiah sebagai kekuatan pembebas dari tirani telah memicu arus revolusi Iran. Dalam konteks ini, menurut Moeslim Abdurrahman, sumbangan terbesar Syari`ati adalah kejeniusannya membangun sintesa bahwa gerakan revolusioner tidak semata lahir dari kesadaran kelas namun kesadaran agama yang radikal mampu menjadi basis kolektif gerakan revolusi.[16]
Belakangan, Jaringan Muslim Progresif (progressive muslims networking) di Amerika mengintrodusir ideologi Islam progresif. Awalnya, beberapa gerakan kekiri-kirian menggunakan terminologi itu secara khusus sebagai ideologi kelompok untuk membangun kritik radikal terhadap masyarakat sekaligus ketidakadilan yang berbasis struktural, seperti masalah kelas dan gender. Progresivitas diarahkan untuk melampaui permasalah itu dan dominasi patriakhi dalam realitas sosial serta sistem ekonomi. Maka dalam logika Islam progresif, harus ada pemimpin masyarakat dimana mereka (di)miskin dan selamanya tergantung pada kalangan kaya. Dalam wacana Islam, biasanya istilah “progresive” dipakai dalam berbagai konteks dan untuk beberapa hal tertentu yang merepresentasikan sikap anti otoritarianisme atau anti wacana Islam konservatif.[17]
Progresivitas, atau dalam istilah Kyai Dahlan disebut “berkemajuan”, merupakan artikulasi dari kesadaran imajinatif yang akan menggerakkan setiap gerakan sosial maupun keagamaman dalam mencapai perubahan-perubahan untuk keadilan sosial melalui proses transformasi sosial. Kesadaran imajinatif (cita-cita sosial) yang transformatif dan diskursus keadilan sosial (al `adalah almujtama`) adalah dua faktor determinan terhadap aktualitas, relevansi, serta ketepatan gagasan-gagasan progresif bagi sebuah tata sosial masyarakat, misalnya seperti Indonesia yang majemuk.
Setidaknya ada tiga hal penting yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan landasan ideologis progresif. Pertama, sensitivitas sosial untuk mencandra akar-akar problem kemanusiaan kontemporer; kedua, kesadaran kolektif atas dasar kesamaan visional untuk memperjuangkan keadilan sosial, budaya, ekonomi, dan politik; ketiga, rumusan sosiologis masyarakat yang berbasis lokalitas-pluralistik. Progresivitas berpijak pada keberanian untuk maju (forward) bahkan melampaui (beyond) konstruksional wacana-wacana mapan (status quo) yang diinstitusikan dalam lembaga-lembaga formal. Gerakan progresif mengaksentuasikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti kesetaraan (al isawah/egalitarianism), kebebasan (al hurriyah/freedom), dan keadilan. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam sebagaimana dibahas Yusuf Qardhawi dalam al Ibadah fi al Islam.
Penjelasan Zia Ul Haq dalam Wahyu dan Revolusi menegaskan bahwa misi kenabian adalah semangat pembebasan dan perlawanan terhadap segala modus tirani penguasa yang melanggar hukum-hukum Tuhan yang universal, seperti kemerdekaan, keadilan, dan penghargaan terhadap hak-hak kemanusiaan. Kehadiran para nabi berperan untuk merevolusi struktur sosial yang tidak berpihak kepada kemanusiaan. Dalam moda interpretasi kader progresif, wahyu dan agama ditempatkan sebagai sumber inspirasi progresivitas gerakan, karena itulah wahyu diyakini bersifat progresif. Artinya, pemaknaan teks-teks keagamaan tidak berhenti apalagi membeku pada satu periode historis tertentu, namun justru hidup bergerak (living tradition) dalam ruang-ruang kesejarahan yang kondisional. Dari sinilah proyeksi wacana Pos-ISLAM bergulir.
Sepintas, wacana Pos-ISLAM mungkin dianggap tergelincir pada pemahaman yang mengingkari kesaksian bahwa Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW adalah agama terakhir. Pendek kata, Pos-ISLAM akan banyak dipahami sebagai bentuk pemberontakan keimanan terhadap legalitas Islam. Oleh karena itu, penulis ingin mengklarifikasi bahwa wacana Pos-ISLAM dalam konteks wahyu dan gerakan progresif dimaknai sebagai bentuk de-centering terhadap narasi besar Islam dunia Arab yang otentik, dimana narasi besar itu menyingkirkan narasi-narasi kecil Islam yang tumbuh-bergulat di luar kawasan jazirah Arab. Pos-ISLAM menghadirkan resistensi identitas keislaman berbasis heteregenitas setting sosial serta desentralisasi tafsir otentik Islam. Dengan demikian, gerakan progresif harus melampaui determinasi lokalitas Islam Timur Tengah atau kawasan lain.
Ada dua implikasi paralel ketika wacana Pos-ISLAM diperkenalkan, yaitu adanya pergeseran rujukan orientasi keagamaan yang selama ini didominasi pandangan-pandangan puritan dari negeri seberang dan penemuan wilayah isu-isu serta fenomena sosial domestik yang relatif berbeda dengan struktur problem sosial masyarakat Timur Tengah. Ideologi progresif dan wacana Pos-ISLAM merupakan dua variabel yang bergerak simultan untuk membangun konsolidasi gerakan. Kemiskinan, kesenjangan ekonomi, sistem perekonomian yang eksploitatif, keterbelakangan pendidikan serta ketidakadilan gender adalah sejumlah identifikasi problem sosial yang membutuhkan sentuhan-sentuhan interpretatif progresif dalam koridor wacana Pos-ISLAM. Sejalan dengan implikasi paralel yang akan timbul, isu-isu yang diusung gerakan progresif harus membumi (down to eart) dan kontekstual dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat yang beragam. Gerakan progresif dalam frame Pos-ISLAM harus mulai mempertimbangkan asfek keunikan dan pluralitas lokalitas lanskap sosiologis dalam mengintrodusir setiap isu-isu sosial. Sebagaimana karakter dasarnya, gerakan progresif melampaui identitas-identitas yang dilembagakan untuk kemudian mendekonsentrasi kajian-kajian Islam yang teosentris.
Tentunya, cukup penting disini dikutifkan manisfesto Islam Progresif yang menurut Esack sebagai perwujudan Islamic New Social Movement:
Islam progresif memahami Islam dan sumber-sumber rujukannya sebagai sesuatu yang berasal dan terbentuk dalam komitmen untuk mentransformasikan masyarakat dari keadaan ketidakadilan, dimana mereka menjadi objek eksplotasi oleh peran pemerintah, lembaga-lembaga sosial-ekonomi, dan akibat hubungan-hubungan tidak setara. Tatanan masyarakat baru yang berkeadilan akan tercipta tatkala rakyat menjadi subjek sejarah. Merekalah yang menentukan takdir bagi dirinya……..[18]
C. Sintesa Gerakan Sosial Berbasis Spiritualitas
Nampaknya, latarbelakang keterbelakangan sosial serta ketimpangan ekonomi yang menimpa negara-negara di Tiga Benua (Asia. Afrika dan Amerika Latin) mendeterminasi pilihan ideologis perjuangannya. Meski ideologi sosialisme lahir di Eropa, tidak sedikit negara-negara Tiga Benua tersebut mengintrodusir sosialisme, tentunya melalui perkawinan maupun proses sintesa baru. Sebut saja, temuan Hamid Enayat yang membagi tafsir sosialisme Islam dalam tiga versi, yakni versi resmi, versi fundamentalis, dan radikal.[19] Pemerintah Mesir di bawah Gamal Abdul Nasser menggulirkan sosialisme Islam sebagai ideologi resmi negara; versi fundamentalis diwakili pemikiran keras Qutb yang menegaskan bahwa Islam adalah jalan keluar bagi masalah ketidakadilan sosial dan kemiskinan; kelompok sosialisme radikal banyak tercermin dari kalangan intelektual/pemikir Islam yang radikal, seperti Ali Syari`ati, Asghar Ali Enggineer, Hassan Hanafi, untuk kasus Indonesia misalnya Cokroaminoto, Miscbah, dan mungkin termasuk Tan Malaka.
Lebih luas, kemunculan gerakan-gerakan pembebasan di berbagai kawasan dunia yang diinspirasi teks-teks suci keagamaan menandai kesadaran lokalitas gerakan untuk mensintesiskan premis-premis dalam ideologi-ideologi besar dengan realitas dan basis sosial masyarakat di Tiga Benua. Fenomena teologi pembebasan di Amerika Latin, Afrika Selatan dan Asia merupakan contoh kemampuan tafsir agama mengadaftasi problem-problem struktural. Oleh karena itu, ideologi bisa lebih dipahami sebagai sistem nilai dan prilaku kolektif yang mengartikulasikan semangat resistensi kepada kekuatan-kekuatan dominan dan pemihakan pada isu-isu keadilan. Poin yang ingin saya sampaikan adalah diskursus ideologi tidak mesti dimonopoli oleh narasi-narasi besar ideologi global, namun juga “kekuatan diskursif” yang disuarakan oleh narasi-narasi kecil ideologi lokal/domestik.
Forum Sosial Dunia (world social forum) yang digagas kelompok-kelompok sosial (NGO) yang berserakan di berbagai belahan Tiga Benua merupakan artikulasi kolektif melawan hegemoni ideologi global, yaitu fundamentalisme ideologi kapitalisme neo-liberal dan modernisme materialistik. Slogan “Another World is Possibble” yang dikibarkan kekuatan-kekuatan gerakan sosial baru tersebut lahir dari satu imajinasi kolektif yang menyadari bahwa masa depan dunia tidak bisa dibiarkan berada dalam cengkeraman eksplotasi fundamentalisme ideologi pasar. Di tengah gemuruh homogenisasi globalisasi yang melindas kekuatan-kekuatan sosial-politik, termasuk intitusi negara, muncul secercah harapan dari berbagai kalangan aktivis sosial pada kekuatan spiritual agama (inner religions) untuk memainkan peran sebagai antidote (penawar) terhadap de-humanisasi globalisasi.
Baru-baru ini, telah di gelar pertemuan kalangan agamawan, pemuka/pemikir agama, serta aktifis-aktifis organisasi yang beridentitas/berafiliasi agama dari berbagai negara Asia dan Eropa di Kyoto, Jepang. Mereka membahasa perbincangkan kontribusi gerakan sosial berbasis agama/spiritualitas dalam rangka membendung arus eksploitasi globalisasi kapitalisme neo liberal. Darwis Khudori memilah gerakan sosial dalam kategori ini ke dalam tiga kelompok[20], yaitu:
1. Gerakan sosial yang berbasis satu agama; seperti kasus di Austria (organisasi Katolik yang menangani soal perubahan pola penggunaan waktu akibat globalisasi), Denmark (Young Women Christian Association), Perancis (organisasi Katolik yang menyantuni pendatang), Singapura (organisasi Katolik yang menyantuni pekerja asing), Thailand (organisasi perempuan Buddha, Mae Chee Dhamma).
2. Gerakan sosial berbasis multi agama; seperti kasus ICRP (Indonesian Conference of Religion for Peace) yang menangani masalah kekerasan di Indonesia
3. Gerakan sosial berbasis spiritualitas alternatif, yakni spiritualitas di luar agama-agama yang sudah mapan (terinstitusi). Spiritualitas alternatif ini tumbuh subur di Eropa, Afrika, juga di Asia, baik dalam bentuk penghargaan kembali kepada spiritualitas asli (sebelum datangnya agama- agama besar) maupun spiritualitas baru (sebagai hasil refleksi dari situasi masa kini). Hal ini tercermin di Finlandia (gerakan eko-spiritual dan eko-feminis), Jepang (OISCA-International/Organisation for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement-International), dan Filipina (gerakan sosial berbasis spiritualitas asli/lokal).
Agama, gerakan sosial dan spiritualitas nampaknya mulai menjadi tiga kata kunci dalam wacana agama dan humanisasi globalisasi. Spiritualitas sebagai ruh agama di yakini memiliki nilai-nilai genuin yang universal meski secara simbolik beragama. Diversitas spiritualitas namun mengartikulasikan nilai-nilai genuin inilah yang mendorong harapan besar pada agama dan gerakan sosial. Laporan dari The International Sharing “Roots and Wings” mewartakan bahwa spiritualitas merupakan inti dari nilai-nilai dasar budaya yang genuin.[21] Keunikan pengalaman personal, solidaritas, komunalitas, toleransi dan eksistensi identitas primer (agama, etnik, jender) adalah sumber inspirasi gerakan pembebasan sosial agama/spiritualitas.
1. Gerakan sosial yang berbasis satu agama; seperti kasus di Austria (organisasi Katolik yang menangani soal perubahan pola penggunaan waktu akibat globalisasi), Denmark (Young Women Christian Association), Perancis (organisasi Katolik yang menyantuni pendatang), Singapura (organisasi Katolik yang menyantuni pekerja asing), Thailand (organisasi perempuan Buddha, Mae Chee Dhamma).
2. Gerakan sosial berbasis multi agama; seperti kasus ICRP (Indonesian Conference of Religion for Peace) yang menangani masalah kekerasan di Indonesia
3. Gerakan sosial berbasis spiritualitas alternatif, yakni spiritualitas di luar agama-agama yang sudah mapan (terinstitusi). Spiritualitas alternatif ini tumbuh subur di Eropa, Afrika, juga di Asia, baik dalam bentuk penghargaan kembali kepada spiritualitas asli (sebelum datangnya agama- agama besar) maupun spiritualitas baru (sebagai hasil refleksi dari situasi masa kini). Hal ini tercermin di Finlandia (gerakan eko-spiritual dan eko-feminis), Jepang (OISCA-International/Organisation for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement-International), dan Filipina (gerakan sosial berbasis spiritualitas asli/lokal).
Agama, gerakan sosial dan spiritualitas nampaknya mulai menjadi tiga kata kunci dalam wacana agama dan humanisasi globalisasi. Spiritualitas sebagai ruh agama di yakini memiliki nilai-nilai genuin yang universal meski secara simbolik beragama. Diversitas spiritualitas namun mengartikulasikan nilai-nilai genuin inilah yang mendorong harapan besar pada agama dan gerakan sosial. Laporan dari The International Sharing “Roots and Wings” mewartakan bahwa spiritualitas merupakan inti dari nilai-nilai dasar budaya yang genuin.[21] Keunikan pengalaman personal, solidaritas, komunalitas, toleransi dan eksistensi identitas primer (agama, etnik, jender) adalah sumber inspirasi gerakan pembebasan sosial agama/spiritualitas.
* Tulisan pengantar Workshop Bidang Kader DPD IMM Jawa Tengah, 12 Juni 2004, di Purworejo.
[1] Williams F. O` Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2001, hlm. 31
[2] Douglas Kellner, Teori Sosial Radikal (Yogyakarta: Syarikat), 2003, hlm. 57-58
[3] Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (Yogyakarta: Bentang), 2003, hlm. 33
[4] Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London: Sage Publication), 2000, hlm. 55
[5] Anthony Giddens, Capitalism and Modern Social Theory (New York: Cambridge University Press), 1971, hlm. 239
[6] Kellner, 2003, hlm. 77
[7] ibid., hlm.78
[8] Ted Grant dan Alan, Marxisme dan Perjuangan Melawan Imperialisme, http://www.marxist.com/indonesia/imperialisme.htmlWoods
[9] Chris Barker, 2000, hlm. 125
[10] ibid., hlm. 65
[11] Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya (Yogyakarta: Kreasi Wacana), 2004, hlm. 146
[12] Spirituality and Social Action, http://home.earthlink.net/~rflyer/spirsocsub.html, diakses tanggal 8 Juni 2004
[13] Tariq Ali, The Clash of Fundamentalisms (New York-London: Verso), 2002, hlm. 24; bandingkan dengan Zia Ul Haq dalam Wahyu dan Revolusi (LkiS)
[14] Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia), 2003, hlm. 538
[15] Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga), 2003, hlm. 94
[16] Fajar Riza Ul Haq, Islam dan Wacana Kritik, Profetika, Vol.5, No.1 Januari 2003, hlm. 71
[17] Farid Esack, In Search of Progressive Muslims Beyond 9/11, Omid Safi (ed), Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (Oxford: Oneworld Publishing), 2003, hlm.79
[18] ibid., hlm. 80
[19] Usman Ks, Sosialisme Islam, Koran Tempo Minggu, 9 Mei 2004, hlm. B4
[20] Darwis Khudori, Menuju Globalisasi Yang Manusiawi; Kontribusi Gerakan-gerakan Sosial Berbasis Spiritualitas, HU Kompas, 31 Mei 2004
[21] When Social Activities Share their Life Story, Report on the International Sharing Roots and Wings, http://www.networkcultures.net/35_36/socialactivists.html, di akses tanggal 8 Juni 2004
No comments:
Post a Comment