Tuesday, February 20, 2007

LIBERASI ISLAM:Dialektika Identitas Islam dan Sejarah

Oleh : Fajar Riza Ul Haq *

“The Quran must be re-read and re-interpeted in today`s contex as the classical jurists read and interpreted it in their own context. No reformation possibel without such re-reading and re-interpreting the Quranic verses”
(Ashgar Ali Engineer, 2002).


Memasuki abad ke-20 fenomena modernitas merupakan akselerasi global. Gejala ini membawa dampak multidimensional dalam sendi-sendi kehidupan. Tidak terkecuali tradisi agama-agama. Respon yang mencuat ke permukaan, gejala modernitas dan globalisasi ini dsikapi secara ambivalen oleh kalangan agamawan. Isu demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, penegakan HAM, egalitarianisme, perdamaian global, non-violence, emansifasi dan gender serta pemisahan otoritas agama dan kedaulatan negara menjadi bahan utama perdebatan di kalangan pemeluk agama-agama. Ambivalensi ini mengemuka seiring adanya struktur dan pola pandang yang berbeda dalam menyikapi relasi tradisi (teks/nash keagamaan) dan modernitas.1 Satu sisi ada sekelompok agamawan yang tanpa sungkan memetik dan menikmati “buah” modernitas diatas disertai proses kontektualisasi tradisi dalam masa kini, dan disisi lain muncul kelompok agamawan yang menghadirkan tradisi demi masa lalu dalam masa kini disertai resistensi terhadap segala bentuk produk modernitas Barat-sekular. Belakangan ini kelompok pertama banyak diidentifikasi sebagai gerakan modernis/liberal yang terlanjur (direkayasa) dihadapkan dengan kelompok kedua, revivalis/fundamentalis. Yang pasti, Islam tidak bisa luput dari gelombang pergumulan dengan isu-isu kontemporer tersebut.2

Dalam kerangka tantangan modernitas ini, Hasan Hanafi merintis jalan setapak oksidentalisme (al mustaghrab) sebagai counter discourse dan kritik terhadap orientalisme yang dirasa telah menghegemoni budaya dan state of mind umat Islam. Hanafi berupaya agar “the other” (Islam) berada pada posisi psikologis yang sama dengan “ego” (Barat).3

Muhammadiyah dan NU: Gerakan Pemikiran, Quo Vadis ?
Pergulatan pemikiran keislaman dalam wacana keindonesiaan sendiri memiliki irama cukup rancak. Ketegangan kreatif (creative tension) ini tidak jarang menimbulkan suhu yang memanas dalam percaturan isu-isu sosial keagamaan. Dikotomi Islam tradisionalis dan Islam modernis seperti yang disinyalir Deliar Noer (1985) merepresentasikan dua kutub pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia pada dekade 1940-an.4 Perkembangan sosio-politik dan wacana kebangsaan di tanah air, khususnya dasawarsa terakhir ini, menyeret konstruksi masyarakat muslim Indonesia diatas kedepan meja pertanggungjawaban sejarah. Karena konstruksi itu sedikit banyak berimbas pada pasang surutnya harmonisasi hubungan kedua paham keagamaan tersebut. NU yang mengidentifikasi diri sebagai cagar tradisi selalu diperhadapkan secara diametral dengan organisasi Islam modernis seperti Persis, al Irsyad dan Muhammadiyah. Namun pada aras sosio-politis nampaknya yang terakhir menjadi pasangan oposisi biner yang tepat bagi NU.5

Namun tarik ulur kedua organisasi diatas tidak banyak melahirkan dampak yang positif bagi perkembangan pemikiran dan gerakan Islam Indonesia kedepan. Bahkan pada tingkat tertentu menjadi faktor yang dapt mengikis kekebalan jaring-jaring sosio-kultural masyarakat sehingga menjadi rentan ketika dihadapkan dengan isu-isu politik daan kenegaraan. Kasus penggusuran K. H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kedua organisasi ini dalam menata hubungan kedepan. Refleksi kritis atas peran dan kiprah kedua organisasi Islam tersebut dalam wacana keindonesia memunculkan pandangan-pandangan rekonsiliatif, inklusiv dan akomodatif dalam menyikapi relasi tradisi dan modernitas. Perkembangan menggembirakan ini pada tingkat tertentu mulai memudarkan garis demarkasi Islam tradisionalis dan Islam modernis. Dan nampaknya dominasi isu-isu sosial keagamaan kedua gerakan Islam ini dalam pentas keislaman lndonesia (untuk sementara) tergeser oleh dua mainstream pemikiran keagamaan (baca: Islam) global; yaitu fundamentalisme Islam dan Islam liberal.6 Setidaknya pada tingkat isu-isu Islam kontemporer dalam konteks lokal maupun global.

Fundamentalisme Islam vis a vis Islam Liberal
Gejala modernitas yang menyeret umat manusia dalam dunia impian yang hampa dan penuh disorientasi serta tumbuh suburnya “masyarakat sekular” telah merangsang lahirnya fundamentalisme keagamaan. Bagi Karen Armrstrong, fundamentalisme adalah bentuk kesalehan yang militan yang muncul di semua kepercayaan atau agama besar di abad 20. Fenomena tersebut merepsresentasikan menyebarluasnya penolakan terhadap modernitas sekuler.7 Di seluruh dunia, orang ingin melihat hukum Tuhan terefleksikan dengan jelas dalam pemerintahan atau negara. Mereka khawatir masyarakat yang yang liberal dan sekuler akan menyingkirkan agama dari kehidupan manusia. Sehingga mereka ganti “menyerang’ dan menciptakan budaya tandingan (counter cultur).
Ketidakpuasan sebagian masyarakat Muslim Indonesia terhadap pemerintah dan ormas-ormas Islam formal yang ada dalam menyikapi masalah sosial keagamaan, khususnya masalah keumatan, memunculkan fundamentalisme Islam yang mewujud dalam harakah-harakah alternatif. Seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (Surakarta) dan Majelis Mujahidin Indonesia merupakan bagian dari sekian banyak gerakan Islam alternatif di Indonensia. Penegakan syariat Islam, solidaritas Muslim Internasional, memerangi segala bentuk pemurtadan dan anti Barat menjadi bagian isu-isu penting dalam perjuangannya.
Di sisi lain berbanding berbalik, muncul gerakan Islam liberal yang tanpa ragu mengambil buah modernitas Barat seperti demokrasi, HAM, egalitarianisme dan emansifasi gender . Gerakan ini meletakan Islam dalam ranah historis yang tidak lepas dari intervensi manusia. Kritik dan kontekstualisasi doktrin-doktrin agama adalah mata tombak dari gerakan ini dalam membedah otentisitas Islam. Islam liberal komitmen terhadap perjuangan Islam yang toleran, ramah, anti kekerasan, demokratis, emansipatoris, humanitarianistik, egaliter dan pluralis. Charles Kurzman memdudukan wacana Islam liberal (liberal Islam) ini dalam akar tradisi intelektual Muslim8. Sehingga Islam liberal bukan saja lahir secara sah dari rahim tradisi intelektual Muslim klasik namun juga berhak hidup dan berkembang bersama tradisi keagamaan Muslim klasik lainnya9. Dalam hal ini fundamentalisme Islam.

Dalam bingkai mutual understanding dan tasammuh adalah urgen untuk memberi ruang publik pendapat (public sphere opinion) terhadap salah satu pihak, dalam kontek ini Islam liberal, untuk membeberkan hujjah-nya sehingga menjadi accountable di hadapan masyarakat banyak.

Islam Liberal, a Contradiction in Terms ?
Istilah liberal pada mulanya dipakai dalam dunia politik. Doktrin politik liberal mengajarkan bahwa kesepakatan demi kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunakan wacana rasional. Liberalitas politik mengasumsikan adanya komunitas yang majemuk, keanggotaan yang tidak permanen dan kepedulian terhadap penetapan kebaikan bersama.10 Haru biru perkembangan sosial mendorong istilah liberal untuk merambah wilayah-wilayah sosial budaya, termasuk agama. Untuk memahami adjective ataupun label liberal dalam wilayah sosial keagamaan harus dipahami dalam ruang waktu dan konteknya tersendiri. Konsekwensinya, ketika kita membicarakan liberalisme pada saat ini menjadi tidak mungkin kita memakai terminologi yang berlaku pada abad ke-19 ataupun dekade 50-an. Kita juga tidak bijak untuk memahami terms tersebut menurut aliran ekonomi ala Smith dan Keynes, ataupun konsep partai liberal bahkan konsep filsafat Sartre. Justru konsep tersebut harus dipahami sebagai suatu yang lahir dari proses perjalanan sejarah yang tumbuh menjadi fenomena dalam dunia pemikiran.11
Bagi Binder, liberalisme dalam konteks Islam (Timur Tengah) identik dengan wacana rasional, keragaman pendapat, toleransi, agama sebagai pemahaman dan meyakini bahwa al Quran tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan maka diperlukan interpretasi berdasarkan kata-kata, namun yang tidak terbatasi oleh kata-kata dan mencari apa yang sesungguhnya hendak diungkapkan atau diwahyukan melalui bahasa.12 Menurut Aliya Harb, liberalisme tidak dapat dilihat sebagai kriteria dalam satu bangunan masyarakat tertentu, satu masyarakat tertentu, atau perkembangan budaya tertentu. Seperti halnya dalam masyarakat modern terdapat model struktur sebagaimana dalam masyarakat tradisional. Yang terpenting dalam liberalisme bukanlah dahsyatnya pencetusan beribu gagasan, melainkan bagaimana gagasan itu diungkapkan dengan tepat serta bagaimana ia diterapkan untuk menghasilkan sesuatu. Inilah perubahan terpenting dalam dunia pemikiran.13

Pada view point inilah penulis menarik hipotesis bahwa substansi liberasi Islam adalah liberalisasi pemikiran yang memadukan secara seimbang dimensi pemikiran dan metodologi. Dengan begitu adjective liberal dalam kata Islam bukan suatu kerancuan karena pertama, secara akademik ekspresi kebebasan memahami serta berpendapatnya ditopang oleh sebuah bangunan metodologi yang mapan. Kedua, secara sosiologis itu menjadi ekspresi natural dari pergulatan Islam dengan modernitas;isu-isu kontemporer. Sehingga liberal Islam bukan semata-mata a contradicton in terms.

Jaringan Transmisi Intelektual Islam Liberal di Indonesia
Senyatanya kita tidak bisa melahirkan sebuah pemikiran dalam ruang hampa yang imune dari segala bentuk kontaminasi dan intervensi kemanusiaan namun justru sebuah pemikiran lahir dibidani oleh intervensi kesejarahan manusia dan dibentuk oleh ragam corak kepentingan sosial kultural komunitas tertentu. Setumpuk ajektivitas Islam mulai Islam tradisional dan Islam modernis, Islam neo-revivalis dan Islam neo-modernis, Islam radikal dan Islam sekuler sampai Islam Fundamentalis dan Islam liberal merupakan rujukan faktual preposisi diatas. Hemat penulis, ajektivitas aliran pemikiran tertentu terbangun oleh dua hal, yaitu karaktristik artikulasi gerakan pemikiran tersebut dan penilaian subjektif dari komunitas masyarakat yang tidak jarang memiliki keterkaitan kepentingan dengan gerakan pemikiran diatas.

Dalam khazanah sejarah pemikiran Islam, liberasi Islam bukanlah anak haram ataupun lahir prematur dari rahim wacana pergulatan pemikiran keislaman dalam realitas kesejarahan. Sebaliknya, liberasi Islam tumbuh kembang dalam tempaan historitas yang establish. Secara historis afinitas the moral values and spirit resources14 gerakan ini dapat kita temukan benih dan akarnya dalam tradisi jurisprudensi hukum Islam.15 Penulis tidak bermaksud memaparkan sejarah dan jaringan intelektual (isnad) Islam liberal secara deskriptif, dari Timur Tengah hingga nusantara16. Namun penulis akan menekankan asfek heritage of the moral values and spirit resources dalam tradisi liberasi Islam ini.

Geneologi gerakan liberasi Islam ini dapat dilacak pada gerakan pembaharuan Islam. Mulai Rifa`ah at Tahtawi, M. Abduh, Rasyid Ridha, Ali Abd. Raziq, sampai Hasan Hanafi, M. Arkoun dan Fazlur Rahman adalah avent gard gerakan pembaharuan/liberasi Islam ini. Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge memetakan sejarah pembaharuan Islam dalam rentang dua abad mutaakhir dalam empat klasifikasi. Pertama, gerakan revivalis diakhir abad ke-18 dan awal abd ke-19 dalam representasi gerakan Sanusiyah di Afrika utara. Kedua, gerakan modernis. Di Timur Tengah gerakan ini dimotori Jalaludin Al Afghani dan M. Abduh, dan di India di motori Ahmad Khan. Ketiga, neo-revivalis, gerakan relatif modern ini diimami Maududi dengan Jama`ah Islam-nya di Pakistan. Keempat, neo-modernisme dimana Rahman dikelompokan kedalamnya. Gerakan ini membangun sintesa progresifitas modernitas dengan tradisi melalui ijtihad.

Spirit dan moral ijtihad aktivitas pembaharuan pemikiran Islam di tanah air yang mulai berdenyut pada dekade 70-an menyiratkan adanya relasi ideologis-historis dengan gerakan neo-modernisme Islam. Bahkan secara personal relasi geneologi intelektual ini diwakili oleh Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi`i Ma`arif dan Amien Rais. Karena ketiga pemuka intelektuktal ini pernah merasakan bimbingan langsung Rahman di Chicago University. Pendekatan khas gerakan ini memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Substansi gerakan neo-modernisme Islam di Indonesia merupakan gerakan intelektual yang progresif dan pluralistik. Dengan menggunakan paradigma Fazlur Rahman, gerakan ini mempriortaskan perhatian pada pembentukan metodologi yang univesal dan permanen terhadap tafsir al Quran; tafsir rasional yang peka terhadap kontek historitas dan budaya.17

Adalah bukan suatu keraguan lagi, gerakan pemikiran ini pada akhirnya menginspirasi munculnya gerakan Islam liberal secara kolektif.18 Sehingga Islam liberal di Indoensia dewasa ini merupakan metaformosa atau transformasi dari gerakan neo-modernisme Islam. Seperti sudah dikemukakan diatas, liberalisasi harus ditopang oleh metodologi yang mapan. Tanpa itu liberalisasi pemikiran akan dianggap sebagai racauan di siang bolong. Dalam perspektif filsafat ilmu, metodologi ataupun kerangka teoritik merupakan unsur terpenting dalam wilayah kerja keilmuan/ijtihad karena basis rasionalitas keilmuan terletak di situ. Gejala sosial kontemporer yang makin sulit diterka dan pesatnya perkembangan.social saences dan social humanities memaksa dirasah islamiyah / islamic studies untuk mengkaji ulang bangunan epistemologi keilmuannya sekaligus membangun metodologi pemikiran Islam yang integrated19. Pada tahap inilah kalangan intelektual Islam harus melakukan refleksi-kritis terhadap bangunan metodologi yang ada. Kreativitas dan kreasi para pemikir Islam kontemporer, seperti Arkoun yang menyajikan Kritik Nalar Islam, Al Jabiri yang meretas kebangkitan Islam Arab melalui Kritik Nalar Arab, Rahman dan Farid Esack yang menawarkan hermeneutika Al Quran dan Amin Abdullah yang meramu At Ta`wiil Al Ilmi sebagai paradigma baru merupakan aktualisasi jihad intelektual untuk membangun metodologi pemikiran Islam yang acceptable, compatible dan integrated.20
Islam Liberal, Ditengah Badai Kritik
Beberapa media massa melansir secara besar-besaran bahkan secara intens sebuah komunitas Islam yang mengusung wacana liberasi Islam. Mereka di tuding berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Kampanye kelompok ini baik melalui media cetak maupun elektronik (internet) yang pada isu-isu tertentu berseberangan dengan kelompok Islam tertentu cukup membuat gerah. Akibatnya, intelektual-intelektual yang mengusung wacana liberasi Islam menjadi sasaran tembak berbagai kritik pedas dari kelompok terakhir ini. Mereka divonis sebagai dari agen-agen imperialis-zionis yang menusuk jantung umat Islam dan berkonspirasi untuk meruntuhkn aqidah Islam.
Pergumulan kedua mainstream wacana Islam diatas dalam ruang keberagamaan (baca: fastabiqul khairat/excel each other in good deeds) adalah suatu yang sah. Bahkan ini bisa menjadi modalitas sosial dalam membangun masyarakat otonom. Ini terkait dengan perbedaan mendasar dari kedua mainstream ini. Keduanya bertemu pada keyakinan akan otentisitas dan sakralitas makna pewahyuan. Faktor manusiawilah, dalam hal ini pemahaman dan interpretasi serta kondisi sosial-politik-ekonomi yang beragam, yang memaksa mereka mengambil jalan dan sikap yang berbeda. Bijak penulis disamping sense of mutual understanding dan rasa tasammuh yang harus ditanamkan dalam benak kita semua, tidak kalah penting adanya pengakuan terhadap prinsip agree in disagreement (meminjam bahasa Mukti Ali). Anak-anak sungai yang berasal dari pancaran mata air kaki gunungpun akan sampai jua bermuara di laut.


* Penulis Ketua Kader DPD IMM Jawa tengah periode 2002-2004 dan Staf Pusat Studi Budaya & Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta
1 Tarik ulur tradisi dan modernitas selayaknya ditempatkan dalam relasi simbiotik;menempatkan tradisi dalam perspektif modernitas dan modernitas dalam perspektif tradisi, lih. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Mizan, 1999.
2 Lih. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (terj), Jakarta: Paramadina, 2001; Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan (The Battle for God), Bandung: Mizan, Jakarta: Serambi, 2001; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (terj), Jakarta: Paramadina, 2000; Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998.
3 Lih. Hasan Hanafi, Oksidentalisme : Sebuah Pengantar (al mustaghrab), Jakarta:Paramadina, 2000; untuk elaborasi kritik struktur dominasi-subordinasi lih. Leela Gandhi, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Qalam, 2001.
4 Lih. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985. Dewasa ini konstruksi ini mendapat gugatan dan kritikan karena dirasa kurang relevan dengan perkembangan realitas kontemporer, lih. Nur Kholik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar:Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002. Hemat penulis, buku ini juga bias dan sarat dengan nuansa “kolonial” (poscolonial theory perspectif) yang merupakan tujuan awal penulisan buku tersebut.
5 Rekaman seputar ini di era Orde Baru dan Orde Reformasi (masa transisi) dapat dilihat dalam Robert Hefner, Civil Islam (terj), Jakarta: ISAI dan Ford Foundation, 2001.
6 Trauma global atas tragedi World Trade Center 11 September 2001 yang dikaitkan dengan kelompok militan agama tertentu ikut menyulut friksi-friksi diantara kedua mainstream baru gerakan keagamaan tersebut.
7 http//www. info@mizan.com; Karen Armstrong, 2001.
8 Lih. Charles Kurzman, 2001. Sikap Kurzman ini berbeda dengan Binder yang menilai Islam dalam frame liberalisme Barat kaitannya dengan liberalisme politik, lih. Leonard Binder, Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies, Chicago:University of Chicago Press, 1988.
9 Ini penting ditegaskan ditengah derasnya gugatan bahkan intimidasi psikis terhadap Islam liberal, fenomena ini dapat dibaca dalam pemberitaan beberapa media seperti Tabloid Sabili, Majalah Media Dakwah, Tabloid Laskar Jihad dan Majalah Bunyan.
10 Lih. Leonard Binder, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, pp. 4.
11 Lih. Aliya Harb, Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog (terj), Yogyakarta:IRSiSoD, 2001,pp. 188.
12 Lih. op. cit. Pp.6. Pada konteks wahyu apa yang diungkapkan Binder paralel dengan pemikiran beberapa intelektual muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman dan Arkoun.
13 Lih. Aliya Harb, 2001, pp. 199.
14 Istilah ini dipinjam dari Mahmoud M. Ayoub, lih. Religious Pluralism and the Challenges of Inclusivism, Exclusivisma and Gobalism : An Islamic Perspektif dalam Commitment of Faiths: Identity, Plurality and Gender, T.H. Sumartana dkk (ed), Yogyakarta: Dian/Interpidei, 2002, pp.153.
15 Lih. Ashgar Ali Engineer, Islam, Women and Gender Justice dalam T.H. Sumartana dkk (ed), 2002, pp. 224-234.
16 Untuk mengetahui detail isnad liberasi Islam dapat diikuti dalam Leonard Binder, 1988; David Sagiv, Islam Otentisitas Liberalisme, Yogyakarta: LKiS, 1997; Albert Hourani, Arabic Thought in Liberal Age 1798-1939, London:Oxford University Press, 1962; juga karya Charles Kurzman dan Greg Barton (sda).
17 Untuk lebih lengkap dapat ditelusuri dalam Greg Barton, 2000.
18 Kalangan muda Islam yang segaris dengan spirit liberasi Islam ini membangun jaringan dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), lih. Sukidi, Metodologi Islam Liberal, Harian Republika, 6 April 2002.
19 Lebih rinci, lih. Amin Abdullah, Al Ta`wil Al Ilmu : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, dalam Jurnal Media Inovasi, No. 2 Th. XI/2002.
20 Lih. Arkoun, Al Fikr al Islami: Naqd wa Ijtihad, Beirut: Markaz al Inha al Qaumi, 1990; Muhammad Al Jabiri, Bunyah al Aql al Araby, Beirut: Markaz Dirasah al Wihdah al Arabiyah, 1993.

No comments: