Oleh : Fajar Riza Ul Haq *
Kajian ini mengacu pada dua asumsi. Pertama, secara imaginatif, struktur sosial dan sistem kognisi publik masyarakat muslim diciptakan dalam konsfigurasi hegemoni kolonial sehingga respon dan ekspresi resistensi Muhammadiyah terhadap wacana kolonial berjalan pada latar poskolonial. Kedua, pergulatan dan pertarungan identitas religio-nasionalism Muhammadiyah dengan modernitas kolonial melahirkan respon kreatif bahkan apresiasi kritis untuk kepentingan gerakan pembebasan serta kebangsaan. Kedua asumsi ini merupakan pijakan dalam membangun pembacaan kritis interaksi Muhammadiyah dengan modernitas kolonial pada konteks pergulatan identitas kebangsaan.
Kajian ini mengacu pada dua asumsi. Pertama, secara imaginatif, struktur sosial dan sistem kognisi publik masyarakat muslim diciptakan dalam konsfigurasi hegemoni kolonial sehingga respon dan ekspresi resistensi Muhammadiyah terhadap wacana kolonial berjalan pada latar poskolonial. Kedua, pergulatan dan pertarungan identitas religio-nasionalism Muhammadiyah dengan modernitas kolonial melahirkan respon kreatif bahkan apresiasi kritis untuk kepentingan gerakan pembebasan serta kebangsaan. Kedua asumsi ini merupakan pijakan dalam membangun pembacaan kritis interaksi Muhammadiyah dengan modernitas kolonial pada konteks pergulatan identitas kebangsaan.
Tafsir hermeneutik atas historisitas gerakan liberasi pada ranah keindonesiaan menempatkan Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan. Analisis kritik kesejarahan terhadap respon dan apresiasi kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial, disamping tradisionalisme Islam dan jawaisme, ditekankan pada siasat kebudayaan Muhammadiyah dalam proses pembentukan identitas nasionalitas dan perjuangan merebut kemerdekaan.
Gerakan kebangkitan intelektual Islam pada abad ke-20 menjadi sangat fenomenal ketika kekuatan dominasi politik negara-negara Eropa begitu melesak ke dalam jantung kesadaran masyarakat di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tidak heran, banyak para pengkaji dunia Timur (orientalis) yang merasa penting untuk mengungkap sebab, motivasi, implikasi, bahkan pararelitas kebangkitan tersebut dengan kolonialisme.[1] Tidak terkecuali fenomena kemunculan gerakan Muhammadiyah. Bagi para indonesianists maupun sejarawan domestik, menyusuri pencarian dan perdebatan identitas kebangsaan Indonesia, terutama pada masa pergerakan kolonial dan kemerdekaan, tidak bisa mengabaikan variabel Islam dan Muhammadiyah.[2]
Muhammadiyah dan Wacana Kolonial
Sepanjang abad ke-19, diskursus kolonial Hindia Belanda berusaha menaturalisasi obsesi superioritas ras beserta peranakannya di atas struktur sosial masyarakat pribumi. Sejalan dengan itu, ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan telah ditahbiskan untuk menjadi perangkat ideologis rejim kolonial yang berfungsi untuk menamakan serta mengklasifikasikan penciptaan hirarki tipologi ras. Arsitek sistem tanam paksa menciptakan pembagian universal antara orang Jawa dan ras Belanda dalam rumusan: “bahasa, warna, agama, moral, dan catatan sejarah, semua berbeda antara Belanda dan Jawa. Kita (colonial) yang mengatur, dan mereka (pribumi) yang diatur”.[3] Ekspresi diskriminasi politik ini menemukan bentuknya dalam kebijakan hukum, diskursus aktivitas misionaris, termasuk dalam topografi.
Studi sejarah pergerakan Islam di kawasan Asia Tenggara telah mencatat bahwa gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah memberikan andil penting bagi penyemaian sekaligus tumbuhnya benih-benih gerakan nasionalisme dalam proses de-kolonialisasi bangsa Indonesia. Komitmen dan kontribusi Muhammadiyah bagi pemupukan cita-cita sosial dan politik pada awal abad ke-20 di Jawa adalah satu dari sekian sumber pemikat studi ketimuran.[4] Kemunculan gerakan sosial keagamaan ini di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti penting, yaitu menandai titik balik kesadaran (the turning point of consciousness) masyarakat muslim Indonesia dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang mengunjam dunia Islam pada saat itu, dan meletakan landasan kebudayaan (cultural) sebagai basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.
Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai medium siasat dan strategi kalangan pribumi ketika dihadapkan dengan realitas pergulatan identitas, resistensi, akomodasi, dan negosiasi dengan modernitas kolonial. Preposisi ini mengukuhkan kebudayaan pada posisi penting sebagai salah satu kekuatan yang mendorong proses mobilitas politik dan solidaritas sosial organik dalam membangun jaring-jaring nasionalisme, merebut bola api kemerdekaan, serta menegakan cita-cita sosial bangsa. Dengan begitu, perjuangan kebangsaan melalui jalur kebudayaan ini memiliki lanscape pergerakan yang terbentang luas, mulai dari wilayah sosial, ekonomi, keagamaan sampai pendidikan.
Konsistensi kiprah persyarikatan Muhammadiyah dalam komitmennya sebagai gerakan kebudayaan telah menorehkan kontribusi pemikiran sekaligus peran aktif dalam proses mencerahkan kehidupan beragama, mencerdaskan dan menyadarkan harga diri umat, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Latar belakang sosio-historis tersebut mendaulat Muhammadiyah sebagai salah satu medan penelitian yang eksotik. Sehingga cukup banyak sarjana baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berupaya menyingkap interaksi dan dialektika Muhammadiyah dengan realitas-realitas keindonesian yang kompleks; mulai dari James L. Peacock, Mitsuo Nakamura, Harry J. Benda, A. Mukti Ali, Deliar Noer, Alfian, Sirajudin Sjamsudin, Kuntowijoyo, Achmad Jainuri, Munir Mulkhan, Irwan Abdullah dan Alwi Shihab.
Beberapa teori dan perspektif sudah banyak dipakai untuk mengurai alasan-alasan heremeneutis yang memotivasi berdirinya gerakan Muhammadiyah. Para pakar telah mencoba untuk menjelaskan tafsir historis terhadap historical background dan historical reasoning-nya untuk menjelaskan eksistensi Muhammadiyah pada awal dekade abad ke-20. Dan tentunya setiap temuan diperkaya serta diperkuat oleh berbagai fakta yang diyakini merupakan faktor pendorong utama berdirinya Muhammadiyah.[5] Namun satu yang pasti bahwa kelahiran gerakan ini secara jelas terkait erat dengan dinamika sejumlah faktor yang kompleks dimana faktor yang terpenting masih diperdebatkan.
Perdebatan yang mengemuka, menyarikan dua pandangan besar menyangkut faktor determinan kelahiran organisasi ini. Pandangan pertama menyatakan bahwa Muhammadiyah berdiri didorong oleh kuatnya arus penyebaran gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia.[6] Pandangan ini akan diikuti oleh asumsi bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah memberi kontribusi penting dalam membidani kelahiran Muhammadiyah. Dengan demikian, jaringan intelektual Muhammadiyah memiliki relasi geneologis dengan corak pemikiran modernis di Timur Tengah.[7] Pandangan kedua, menekankan kenyataan bahwa keberadaan Muhammadiyah merupakan respon terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Pandangan ini lebih melihat aspek domestik dalam tubuh budaya Jawa sebagai determinan utama yang memunculkan gerakan ini.[8] Meskipun kedua faktor diatas memainkan peran penting, justru Alwi Shihab melihat bahwa faktor penetrasi Kristen di negeri ini, dan ini hampir luput dari analisis para sarjana, merupakan faktor terpenting dari semua faktor yang telah mendorong K. H. Ahmad Dahlan untuk mendirikan persyarikatan ini pada tahun 1912.[9]
Ada dua catatan yang harus diberikan menyangkut tesis Alwi ini, terutama dalam kerangka pergulatan state of mind identitas Islam Muhammadiyah awal dengan modernitas kolonial. Pertama, pembacaan tesis terakhir ini harus dilihat dalam kerangka gerakan protes kalangan muslim modernis terhadap konspirasi mutual kolonialisme dengan misionarisme. Dengan begitu, pembacaan geneologis ini tidak menjadi kontra produktif dengan dokumentasi awal gerakan Muhammadiyah yang dikenal toleran, inklusif, dan pluralis.[10] Kedua, agama dan gerakan misionaris telah dipakai sebagai salah satu perangkat wacana kolonial Hindia Belanda untuk menciptakan garis demarkasi identitas Belanda/Hindia Belanda dan (Islam) pribumi. Ini dapat ditelusuri pada Regeeringsreglement (Undang-undang Klasifikasi Rasial) yang disahkan pada tahun 1854.[11]
Sebagaimana dicatat Takashi Shiraisi, geliat kesadaran politik “bumiputra” mulai mengemuka pada awal abad ke-20. Fenomena gerakan rakyat dalam bentuk surat kabar, jurnal, pertemuan rakyat, serikat buruh, pemogokan, novel, sastra bahkan pemberontakan merupakan corong ekspresi dan alat perjuangan. Dengan panggung inilah, Sarekat Islam dan Muhammadiyah mengartikulasikan peran sebagai organisasi pergerakan yang bercorak Islam; Budi Utomo dan Indishe Partai adalah gerakan bercorak nasionalis; dan ISDV serta PKI menjadi pendahulu bagi gerakan-gerakan yang berhaluan komunis.[12]
Dalam kerangka pergerakan kebangsaan, basis sosial Muhammadiyah dan Sarekat Islam lebih mencerminkan aspirasi (politik) kelas menengah pribumi. Seperti halnya Budi Utomo dan organisasi priyayi lainnya, Muhammadiyah dan SI mengadopsi gagasan-gagasan kemajuan (modernitas) sebagai battle cry pergerakan. Tafsir sosial identitas Islam Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial yang ambigu merupakan akar intelektual bagi resistensi dan siasat kebudayaan Muhammadiyah. Inilah yang disebut –meminjam terminologi Amin Abdullah- sebagai social hermeneutic al Quran yang merupakan paradigma intelektual praksis sosial K.H. Ahmad Dahlan.[13]
Nasionalitas, Modernitas dan Politik Kebudayaan
Gerakan nasionalis di Hindia Belanda sepanjang tahun 1930-an mengalami intimidasi kebijakan-kebijakan kolonial, sehingga sebagian besar pemimpin gerakan pembebasan dan kebangsaan dipenjarakan. Politik kolonial ini menggiring sebagian gerakan-gerakan nasionalis untuk memilih jalur kultural sebagai alternatif gerakan. Pergeseran siasat perlawanan anti kolonialisme yang terjadi di kalangan organisasi-organisasi pribumi ini memaksa G.H. Bousquet untuk mengingatkan pemerintah Belanda yang memandang sebelah mata gerakan-gerakan keagamaan modernis. Bousquet mengatakan, “memang betul Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik namun anggota-anggotanya (memainkan peran aktif)”. Lebih dari itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah bak ladang subur bagi indoktrinisasi sentimen anti kolonialisme secara efektif.[14]
Parthe Chatterjee dalam The Nation and Its fragments mengajukan pendapat bahwa nasionalisme anti kolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri di dalam masyarakat kolonial, jauh sebelum ia memulai pertempuran politiknya dengan kekuasaan penjajah. Ini mengimplikasikan bahwa selain wilayah materi dari nasionalisme politik, terdapat juga wilayah spiritual di dalamnya, tempat identitas budaya otonom dipelihara.[15] Inilah yang mendasari pernyataan di awal bahwa identitas kebangsaan Muhammadiyah adalah nasionalisme keagamaan (religio-nasionalism).
Di sisi lain, modernitas bukan sesuatu yang dapat di hapus dari tanah jajahan, karena terjalin erat dengan kehadiran Hindia Belanda. Perusahaan Barat berusaha membuka pasar-pasar kolonial baru untuk memasarkan produk-produk industri sekaligus secara eksplisit menganjurkan gaya hidup modern. Iklan-iklan kapitalisme Barat merangsang hasrat modernisasi gaya hidup yang bersifat konsumtif. Identitas Modernitas pribumi direduksi dalam atribut-atribut industri kapitalisme. Bagi rejim kolonial, modernisasi Indonesia ada batasnya; mereka dilarang untuk membaca segala sesuatu yang ingin mereka pelajari dan ketahui.[16] Pada titik ini, modernitas kolonial ditangkap sebagai bagian dari westernisasi. Lebih dari itu, pemerintah Hindia Belanda mengajarkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa diimbangi dengan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan pemerintah. Kolonialisasi pada aras state of mind inilah yang akan memenjarakan kebebasan berpikir dan kemerdekaan berpendapat, lebih dari sekedar merdeka secara simbolik. Dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan oleh Muhammadiyah merupakan jawaban kreatif dalam menangkal gerakan imperialime budaya Barat.
Kebijakan penguasa kolonial Belanda yang tidak netral terhadap Islam dan perlakuan istimewa menyangkut bantuan finansial pendidikan terhadap misionaris Kristen membuat berang kalangan Muslim. Secara terang, sikap diskriminatif rejim kolonial mengarah pada rasialisme identitas keagamaan karena pihak kolonial Belanda menyatakan secara terbuka bahwa Pemerintah Hindia Timur merupakan representasi sebuah negara Kristen.[17] Terlebih secara politis, masyarakat Islam dikategorikan dalam kasta “bumiputra”; sebuah klasifikasi politik kolonial yang memasung hak politik warga pribumi serta mengubur identitas kebangsaan. Pemerintah kolonial membatasi mobilitas sosial dengan memberi kualifi kasi tertentu pada orangtua calon pelajar untuk memperoleh pendidikan. Politik pendidikan kolonial ini mengakibatkan kemandulan mobilitas sosial yang hanya menghasilkan kaum terpelajar yang elitis.[18]
Intervensi pemerintah dalam bidang pendidikan ini berdampak pada peningkatan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan Kristen sekaligus berbanding terbalik dengan nasib pendidikan Islam yang sekarat. Kepentingan mendasar untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan masyarakat muslim pribumi, sekaligus membangun kekuatan perlawanan yang bersifat kultural merupakan alasan mengapa Muhammadiyah berorientasi pada pembaharuan sosial, reformasi sikap keberagamaan dan me-reformasi sistem pendidikan Islam. Secara substansial, inilah semangat dasar gagasan sosial Muhammadiyah. Menjadi tidak berlebihan bila lembaran sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa mencatat nama organisasi ini sebagai salah satu pelopor dan penggerak kebangsaan yang terlibat dalam proses perumusan identitas nasionalitas dan kemerdekaan hak politik warga bangsa yang berdaulat.
Nomenklatur historis tersebut menyebabkan Alfian mengambil kesimpulan bahwa peran-peran Muhammadiyah dalam proses pembaharuan, setidaknya pada kurun kolonialisme, membawa dampak positif pada tiga wilayah, yaitu wilayah pembaharuan keagamaan, perubahan sosial dan politik.[19] Maka tidak mengejutkan jika Alwi Shihab berpendapat bahwa secara luas gerakan pembaharuan Muhammadiyah berdampak politis meskipun pada aras konsep strategi gerakan berada pada jalur pendidikan yang merupakan salah satu soko guru gerakan kebudayaan Muhammadiyah.
Dalam kaca mata posmodernisme dan cultural studies, relasi gerakan kebudayaan dengan politik tidak semata bersifat implikatif namun juga bersifat mutual karena kebudayaan memiliki muatan politis sehingga disebut cultural politics; yaitu budaya merepresentasikan kekuatan yang menegasikan ancaman dan hegemoni sekaligus mengafirmasi dimensi penguatan dan opoposional. Dengan kata lain, kebudayaan bukan merupakan praktek yang otentik sebuah masyarakat ataupun bagian dari manipulasi kepentingan kapitalisme, jutru ia menjadi locus perjuangan kelompok-kelompok lokal dan marjinal. [20]
Dan perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme dengan memasuki wilayah budaya menjadi salah satu tema penting dalam gagasan Amircal Cabral. Pemikiran Cabral mengenai teori nasionalisme revolusioner dan gerakan pembebasan nasional telah memberikan kontribusi yang berharga bagi gerakan-gerakan anti kolonialisme di Dunia Ketiga. Secara umum, ada empat gagasan terpenting Cabral bagi perkembangan teori kolonialisme/poskolonialime, yaitu konsepsi mengenai kolonialisme dan imperialisme; konsep sejarah yang menempatkan perjuangan kelas sebagai kekuatan menentukan; konseps borjuasi kecil yang dipandang menentukan transformasi hubungan-hubungan produk dan prilaku politik revolusi di Afrika; dan gerakan kebudayaan merupakan siasat perlawanan terhadap dominasi asing.[21]
Dalam konteks tesisnya yang terakhir, ia mensinyalir bahwa realitas kolonial ditentukan oleh kondisi keterbelakangan ekonomi kita. Hubungan antara kebudayaan dan kondisi ekonomi menghasilkan pembebasan nasional sebagai tindakan kebudayaan. Dengan begitu, kebudayaan berfungsi sebagai sarana untuk melawan dominasi kolonialisme. Kebudayaan merupakan manisfestasi yang sangat mengakar, baik pada tingkat ideologi maupun idealisme, dari realitas material dan historis masyarakat yang didominasi.[22]
Tesis Cabral tidak sepenuhnya tepat dalam frame dialektika Muhammadiyah dengan modernitas kolonial Belanda. Faktor kemiskinan dan keterbelakangan memang banyak disebabkan oleh kebangkrutan sistem ekonomi pribumi namun faktor kebodohan mendorong Muhammadiyah menggarap pendidikan sebagai lahan krusial bagi penanaman kesadaran akan cita-cita sosial masyakat pribumi yang berdaulat. Dekolonisasi tatanan politik kolonialisme dan imperialisme Eropa tidak hanya sebatas pada upaya dekonstruksi pada ranah perjuangan politik namun harus dibarengi dekonstruksi pemikiran (state of mind) muslim yang selama ini dihegemoni oleh paradigma Barat. Karenanya, menurut Abdel Kadir Khatibi, kolonialisme Barat tidak semata menciptakan penjajahan politik, bahkan lebih jauh menanamkan pandangan subversif terhadap state of mind masyarakat terjajah.[23]
Sejalan dengan reformasi pada aras state of mind, tafsir sosial Muhammadiyah terhadap modernitas kolonial menampilkan wajah baru komunitas pribumi yang lebih dinamis, dimana urbanisme dan etos ekonomi menjadi ciri yang melekat, sebagaimana tesis Kuntowijoyo.[24] Fenomena sosial ini tentunya mematahkan asumsi wacana kolonial bahwa komunitas pribumi yang terjajah identik dengan sifat primitif, barbar, dan tidak berperadaban sehingga kolonialisme menjadi tindakan legal.[25] Secara paralel, Ernst Gellner meyakini bahwa kemunculan nasionalisme terkait erat dengan perubahan dari ekonomi praindustri ke ekonomi industri. Karena bentuk-bentuk organisasi sosial semakin konfleks sehingga merangsang kebutuhan mendasar terhadap negara dan daya kerja yang lebih kooperatif. Jadi masyarakat industri melahirkan kondisi ekonomis untuk kesadaran nasional.[26] Menarik benang merah gagasan yang terdapat dalam kedua tesis di atas mengukuhkan asumsi bahwa gerakan Muhammadiyah adalah gerakan nasionalis keagamaan modern yang berbasis pada gerakan kebudayaan dengan bertumpu pada etos ekonomi urban yang dinamis dan kosmopolit.
Fase generasi Muhammadiyah awal, yaitu 1912–1923, merupakan tonggak landasan Muhammadiyah sebagai organisasi keindonesiaan yang memperjuangkan cita-cita sosial warga bangsa pribumi. Periode ini menunjukkan vitalitas dan dinamisasi sebagai gerakan religio-nasionalism sekaligus mulai tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap masa depan bangsa ditengah–tengah suasana kolonial. Peletakan landasan gerak yang kokoh disertai pewarisan tradisi keilmuan yang mapan mendorong Muhammadiyah memasuki pusaran arus bangsa, yaitu fase 1923 – 1945. Hal ini ditandai dengan bertaburnya kader– kader persyarikatan yang berkiprah dalam pentas nasional. Prestasi kebangsaan tersebut merupakan buah dari konsistensi Muhammadiyah memilih dan menerapkan siasat politik kebudayaan yang kritis, akomodatif, kosmopolit, hibrid, dan inovatif ketika berhadapan dengan tantangan realitas modernitas kolonial.
Paparan ini ingin menunjukan bahwa nasionalisme Muhammadiyah yang berporos pada gerakan sosial keagamaan lahir dari rahim siasat politik kebudayaan Muhammadiyah vis a vis modernitas kolonial. Dengan demikian, resistensi tidak dirmaknai sebagai tindakan apriori, memendam sikap apresiatif, dan mengunci pintu dialog, tapi justru sebaliknya. Ini merupakan jejak kesejarahan Muhammadiyah awal yang harus dibaca secara hermeneutis serta direkonstruksi untuk ditransformasikan pada konteks tantangan Muhammadiyah kekinian.
* Penulis adalah Staf Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Ketua DPD IMM Jawa Tengah
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation. 2000
Achmad Jainuri. Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000
Alfian. The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1989
Alwi Shihab. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (terj). Bandung : Mizan. 1998
Amin Abdullah. Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11–12 Agustus 2001
Ahmad Syafi`i Ma`arif. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES. 1996
Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. 1996
Chris Barker. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage Publication. 2000
Cristian W. Troll. Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology. New Delhi: Vikas Publishing House. 1978
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. 1985
Edward Said. Orientalism. London: Routledge. 1978
Henk S. Nordholt. Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia (terj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002
Kuntowijoyo. Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya. Surakarta: PSB-PS UMS & MTPPI Muhammadiyah. 2003
Kuntowijoyo. Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu. http//www.kmnu.org
Leela Gandhi. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat (terj). Yogyakarta: Qalam. 2001
Leong Yew. On Categorizing Postcolonial Theorists. http//www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists
Mitsuo Nakamura. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1983
MT. Arifin. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta : Bumi Aksara. 1987
Muhammad Hisyam. Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942. Jakarta: INIS. 2001
Nikki R. Keddie. An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani. Barkeley: University of California Press. 1968
Ronald H. Chilcote. Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj). Jakarta: Sahe Study Club dan Yayasan HAK Dili. 1999
Simon Philpott. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme (terj). Yogyakarta: LkiS. 2003
Takashi Shiraisi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj). Jakarta: Grafiti. 1997
[1] Untuk sekedar menyebut, Nikki R. Keddie, An Islamis Response to Imperialism: Political and Religious Writings of Sayyid Jamal al Din al Afghani, Barkeley: University of California Press, 1968; Cristian W. Troll, Sayyid Ahmad Khan: An Reinterpretasion of Muslim Theology, New Delhi: Vikas Publishing House, 1978.
[2] Beberapa karya yang terkait, Mukti Ali (1957) memaparkan introduksi bibliografi bagi studi Muhammadiyah; Alfian (1969) memberi gambaran detail menyangkut keterlibatan gerakan Islam Modern Muhammadiyah dalam percaturan politik; Noer (1973) melakukan studi survey terhadap gerakan-gerakan Islam modern, termasuk Muhammadiyah, sampai akhir kolonial Belanda; Palmier (1954) melaporkan proses awal rekonstruksi Muhammadiyah pasca kemerdekaan; Federspiel (1970) menyodorkan ikhtisar seputar ideologi Muhammadiyah; Peacock (1978) meneropong gerak Muhammadiyah dalam perspektif Weber; Benda (1958) menyajikan laporan luas kedudukan politik Islam pada masa kolonial Jepang, lih. Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983, footnote hlm. 4. Dan secara khusus, Jainuri ( 1997) menyusuri proses pembentukan ideologi Muhammadiyah serta Alwi Shihab (1995) memperlihatkan pola resistensi gerakan ini terhadap Kristenisasi, lih. Jainuri, Pemikiran Keagamaan dalam Muhammadiyah: Identifikasi Tema Penelitian dalam Akademika Univeritas Muhammadiyah Surakarta No. 02/Th. XVIII/2000.
[3] Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, Yogyakarta: LkiS, 2003, hlm. 67.
[4] Untuk konteks ini, penulis membedakan studi ketimuran dengan orientalisme karena istilah terakhir bernada peyoratif dan mengandung bias superiority complex Barat vis as vis imperiority complex Timur. lihat, Said, Orientalism, 1978, London : Routledge; sebagai wacana tanding Hassan Hanafi mengkampanyekan Oksidentalisme sebagi kritik nalar kesadaran Barat. Walaupun mendapat sorotan kritis karena tawarannya dinilai belum sampai pada landasan dan konstruksi epistemologi yang jelas.
[5] Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan, 1998, hlm. 125.
[6] Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 –1942, Jakarta : LP3ES, 1985, hlm.17.
[7] Arbiyah Lubis dalam penelitian disertasinya membandingkan pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh sampai pada kesimpulan bahwa ada beberapa persamaan corak pemikiran namun juga memiliki sisi corak pemkiran yang berbeda.
[8] Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta : Bumi Aksara, 1987,hal: 73.
[9] Shihab, 1998, hal. 143; bandingkan dengan pernyataan Amry Vandenbosch yang melihat kebangkitan Muhammadiyah buka semata reaksi terhadap arus misi Kristen yang progresif di Jawa Tengah, lih. Ahmad Syafi`i Ma`arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1996, hlm. 66.
[10] Indegenousitas karakteristik Muhammadiyah diatas dapat dikaji dalam Alwi Shihab, 1998; Hisyam, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882 – 1942, Jakarta: INIS, 2001; Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta: Bentang Budaya dan The Ford Foundation, 2000.
[11] Lih. Philpott, 2003, hlm. 260.
[12] Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (terj), Jakarta: Grafiti, 1997, hlm. xii.
[13] Abdullah, Nursi Movement and Muhammadiyah, Makalah dalam The International Conference of Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11 – 12 Agustus, 2001.
[14] Ma`arif, 1996, hlm. 65.
[15] Nordholt, Kriminalitas, Modernitas, dan Identitas dalam Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 218-219
[16] ibid., hlm. 254
[17] Shihab, 1998, hlm.142.
[18] lih. Kuntowijoyo, Mitos, Pengetahuan, dan Ilmu, http//www.kmnu.org
[19] Alfian, The Muhammadiyah Political Behavior of a Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989, hlm. 178
[20] Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London Sage Publication, 2000, hlm. 312
[21] Chilcote, Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral (terj), Jakarta: Sahe Study Club dan Yayasan HAK Dili, 1999, hlm. 69.
[22] Cabral, 1999, hlm.74
[23] Azra, Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 92
[24] Kuntowijoyo, Malin Kundang, Jangan Jadi Lebai Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal dalam Zakiyuddin dan M. Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS UMS dan MTPPI PP Muhammadiyah, 2003, hlm 16-17.
[25] Leong Yew, On Categorizing Postcolonial Theorists, www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists
[26] Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 139
No comments:
Post a Comment