Tuesday, February 20, 2007

Islam dan Wacana Kritik: Apresiasi Poskolonial Islam

Oleh: Fajar Riza Ul Haq*

Abstraksi
Tulisan ini berusaha mengkaji apresiasi kalangan intelektual muslim terhadap wacana-wacana kritik dalam tradisi kritis Barat; Teori Kritik Sosial Mazhab Frankfurt, poststrukturalisme/posmodernisme, Marxis dan poskolonialisme (cultural studies). Latar belakang kolonial kawasan-kawasan dunia Islam, dominasi kebijakan politik global dan imperialisme budaya Barat menempatkan apresiasi dunia Islam merepresentasikan resistensi-kritis dengan sudut pandang poskolonial. Pada aras ideologis, apresiasi kritis ini mendekonstruksi “brain image” bahwa Islam sebagai entitas the other, subordinat, peripheral dan marjinal. Dan secara politis, gerakan ini merupakan palu godam yang meruntuhkan buhul-buhul relasi kuasa Barat vis a vis dunia Islam. Pada tingkat tertentu, preposisi ini membangun jembatan konvergensi antara gerakan kritisisme dalam tradisi Barat dengan apresiasi dan resistensi-kritis intelektual muslim terhadap paradok-paradok humanisme modernitas, ketidakadilan (hak) identitas kultural dan politik, serta decentering kuasa hegemonik Barat terhadap entitas Timur/Islam.

Kritik Atas Prasasti Historis Modernisme[1]
Orde globalisasi mementaskan alur narasi kolosal dalam panggung kesejarahan manusia muta`akhir. Paradoks, chaos, ironi, parodi, satiris, maya, dan imajiner merupakan bagian karakteritik menonjol dalam segmentasi periodesasi kemanusiaan pasca zaman pencerahan dan modernitas.[2] Cita-cita humanisme Aufklarung tenggelam oleh dominasi “rasionalitas instrumental” modernisme.[3] Impian “pencerahanpun”[4] lenyap ditelan mitos absoluditas nalar.[5] Kontan, fenomena ini mengundang perdebatan filosofis dalam kawah intelektualisme Barat untuk kepentingan proses pencapaian emansipasi peradaban manusia. Nama Mazhab Frankfurt serta beberapa pemikir lain, seperti Anthony Giddens, Scott Lash dan Ulrich Beck,[6] mengemuka tampil dalam perdebatan ini sebagai pembela proyek modernitas. Jurgen Habermas menilai bahwa disorientasi modernisme terjadi karena faktor rasionalitas modernisme yang tidak memberi ruang terhadap proses komunikasi interkoneksi subjek.[7] Namun dalam pandangan Michel Foucault, side dark efect dari kekaisaran modernisme tidak urung menyeret absoluditas subjektivisme sebagai “rejim kebenaran” (the regimes of truth).[8] Kuasa the regimes of truth tersebut bertanggungjawab terhadap proyek penggusuran otentisitas dan kekuatan-kekuatan kreasi lokal yang peripheral dalam wacana-wacana biner modernisme. Bagi kalangan posmodernisme, jejaring modernisme “berhasil” menyedot manusia modern memasuki pusaran emansipatoris yang absurd sehingga mengalami disorientasi.[9] Maka tidak heran, Foucault mengklaim bahwa subjektivitas modernisme merupakan metafora dari narasi the end of man dalam grand narrative modernisme. Panorama yang mengemuka dalam periodesasi ini ialah lenyapnya penghargaan terhadap keragaman historisitas (lokalitas) budaya, ras, etnik, ideologi politik dan identitas kultural keagamaan.

Dalam kaca mata cultural studies,[10] fenomena ini menunjukan adanya pembungkaman secara sistematis terhadap vokalitas kultur lokal, minoritas, marjinal, ras, etnik, jender, nasionalitas dan tumbuhnya kolonialisasi baru. Dengan begitu, toleransi dan semangat pluralisme-demokratik[11] dalam ruang publik harus tergusur dalam proses relasi dan interaksi pada semua level wilayah sosial. Padahal prasyarat tegaknya sebuah tatanan demokratik adalah tumbuh kembangnya semangat toleransi dan apresiasi terhadap keragaman realitas. Karena keduanya merupakan saudara kembar dari simbol kebebasan (freedom`s twin).[12] Ruang publik yang mengakomodasi toleransi dan demokratisasi relasi-relasi sosial (pluralisme dan multikulturalisme) merupakan prasyarat penting untuk memasuki perdebatan isu-isu kemanusiaan kontemporer.
Klaim Amerika sebagai polisi dunia, Wisnu modernitas yang menabur dharma demokrasi sekaligus penjelmaan reinkarnasi Rama dalam menyemaikan pencerahan dan perdamaian, tidak lebih dari aksesoris mitos modernisme. Supremasi “kulit putih”[13] mampu meneguhkan wacana dominasinya di atas realitas pluralitas suku, ras, etnik, bangsa, ideologi dan identitas kultural agama tanpa menyisakan ruang toleransi dan arena dialog berimbang. Syahdan, rejim globalisasi menancapkan kuku hegemoni tepat di jantung kesadaran politik negara-negara pasca kolonial, idealitas emansipasi, keadilan, egalitarinisme bahkan kesejahteraan global pun terbelenggu. Belakangan bermunculan intelektual dan cendekiawan yang mengkritik kecacatan dan kerancuan epistimologi peradaban Barat. Dalam mata rantai kritisisme tradisi social-humanism sciences, kemunculan ragam mainstream yang bercorak kritis bukan suatu hal yang tabu. Justru sejarah pohon filsafat ilmu pengetahuan Barat berkembang subur dibawah siraman hujan keraguan, gugatan dan kritik dari sesama kaum intelektual.
Mata rantai kritisisme dibangun dengan asumsi mendasar bahwa pencarian kebenaran sains merupakan sebuah proses pencarian tanpa mengenal batas jeda dan sekat identitas kultur. Dan kritik Mazhab Frankfurt terhadap dominasi paradigma kaum positivistik yang mendewakan netralitas dan obyektivitas nilai sains merupakan bentuk falsifikasi terhadap validasi bangunan teori-teori modernisme.[14] Seolah pembuka gerbang, gerakan kritik sosial ini membuka jalan besar bagi kelahiran mainstream-maintream wacana kritis setelahnya; poststrukturalisme/posmodernisme dan cultural studies.[15]

Narasi Mahabharata Wacana-wacana Kritik[16]
Adalah Edward W. Said dalam karya provokatifnya, Orientalism (1978), yang memperkenalkan cara pandang radikal-kritis terhadap imajinasi hegemoni Barat. Ia membongkar citra-citra kolonial dan Eurosentrisme dalam relasinya dengan negara-negara Timur (untuk konteks ini baca: Islam). Culture and Imperialism dan Covering Islam adalah dua karya susulan yang mengokohkan buah pena Said sebagai the founding texs of postcolonialism theory.[17]

Sebagai studi kritis ketimuran, perspektif poskolonial membangun daya resistensi-kritis terhadap konstruksi wacana dan otoritas ”rejim kebenaran” yang terus memproduksi dan mendefiniskan power/knowledge. Kuasa wacana demikian tumbuh subur dan pada akhirnya menggurita menjadi bentuk “imperialisme” dalam ruang memori publik negara-negara berpenduduk muslim; Timur identik dengan nativism, primitif, barbar dan uncivilized sehingga menjadi dasar legitimasi kolonialisme Barat.[18] Wilayah kajian wacana poskolonial mencakup discourse nasionalitas, etnis, ras, gender, agama, sosial, budaya, sastra dan literatur. Isu center-peripheri, dominasi-subaltern, hibriditas-kreolisasi serta mimikri-wacana tanding menjadi sajian wacana utama dalam kajian kritis humaniora baru ini (new humaniora critics).[19] Poskolonial sendiri merupakan bagian penting dalam payung besar cultural studies disamping multikulturalisme, feminisme dan ethnic studies.

Gerakan kritis pasca gerakan new left di Inggris yang telah menobatkan cultural studies tersebut merupakan bentuk pergeseran paradigma di tengah dominasi wacana postmodernisme vis a vis modernisme pada aras perdebatan teori-teori berwawasan emansipatoris. Tidak pelak lagi, kelahiran cultural studies dalam ranah studi-studi kritis mewarnai perdebatan isu-isu kontemporer global di berbagai belahan kawasan. Maroko, Nigeria, Afrika Selatan, Uganda, Kenya, India, Singapura, Taiwan, Amerika, Amerika Latin dan Australia adalah contoh negara yang tidak dapat mengelak dari dampak penetrasi pergulatan wacana-wacana kritik, tidak terkecuali cultural studies .

Hemat penulis sebagaimana dikemukakan dimuka, bahwa ada garis paralel yang dapat ditarik dalam kemunculan aneka mainstream kajian kritis ini. Kehadiran cultural studies dalam ranah perdebatan teori-teori kritis belakangan ini tidak dapat dilepaskan dari proses pewarisan, falsifikasi dan validasi terhadap wacana-wacana kritik sebelumnya. Teori Kritik Sosial Mazhab Frankfurt serta kapal besar postmodernisme dengan ragam variannya adalah mainstream-mainstream wacana kritis dalam narasi “Mahabharata wacana kritik”.

Secara epistemologis, Stuart Hall mendefinisikan cultural studies sebagai “It constructed by a number of different methodological and theoritical positions. All of them in contestion”.[20] Basis teoritik ini mendaulat cultural studies sebagai sebuah studi kritik culture (global) yang mengapresiasi aneka perangkat metodologi dan teori. Untuk menggambarkan anatomi cultural studies, kita harus menyebut Marxisme, culturalism, strukturalisme, neo-Marxis, pyschoanalisis, poststrukturalisme/postmodernisme serta politik identitas (politic difference), yaitu feminisme, teori ras/etnis dan teori poskonial. Secara terang, pemetaan ini menjelaskan wilayah isu-isu yang menjadi identitas politik cultural studies; ras, etnik, class, jender, nasionalitas, subjektivitas, power, dominasi dan subordinat, center dan peripheri serta hibriditas dan kreolitas.
Konstruksi cultural studies merupakan language game yang memproduksi sistem makna dalam permainan sistem tanda. Maka, bahasa bukanlah medium yang netral bagi pembentukan makna dan knowledge, justru peran bahasalah yang membentuk sebuah sistem makna. Bagi cultural studies, sistem tanda dalam proses pembentukan makna itu melahirkan konsep-konsep kunci, yaitu artikulasi, representasi, power, populer culture, subjekvitas dan identitas.[21] Konsep artikulasi merupakan salah satu konsep paling general dalam cultural studies kontemporer. Dan artikulasi merupakan perangkat kritik untuk memahami bagaimana background kultural seorang teoritisi mengintervensi pandangan dunia, kemudian menganalisisnya serta ikut terlibat di dalamnya. Secara teoritik, artikulasi dapat dioperasikan sebagai panduan untuk mengkarakterisasi formasi-formasi sosial tanpa harus terjebak ke dalam reduksionisme dan esensialisme.[22]
Seperti wacana kritik pendahulunya, cultural studies mendedahkan komitmen intelektualnya untuk proses emansipasi kemanusiaan dan pencerahan. Proyek liberasi historis ini diawali dengan reformulasi peran intelektual, baik di dalam maupun di luar lingkungan universitas. Gramsci adalah sosok intelektual terpenting dalam terminologi politik. Bagi Gramsci, wilayah tugas kaum intelektual bukan semata di atas kertas ataupun sekedar mentransmisikan ide dan gagasan di ruang kuliah. Intelektual harus memerankan diri sebagai mediator, legitimator serta memproduksi gagasan untuk sekaligus dibumikan. Ia membedakan intelektual organik radikal (radical organic intellectuals) dengan intelektual konservatif (conservative intellectuals). Intelektual organik mempersembahkan moral dan kepemimpinan intelektualnya untuk menggugat relasi kuasa dan dominasi kelas. Ia adalah agen perubahan yang anti kemapanan. Secara khusus, intelektual organik mengembangkan political skill dan pendekatan pedagogik untuk membangkitkan kesadaran politik kelas subordinat. Ini merupakan langkah awal untuk menggalang kekuatan dan perlawanan kolektif. Analisis Gramsci terhadap peran kesejarahan kaum intelektual organik yang emansipatoris memberi kontribusi penting bagi salah satu inti tujuan cultural studies, yaitu resistensi intelektual (resisting intellectuals). [23]
Sebagai identitas politik cultural studies, doktrin resistensi beroperasi dalam medan relasi-relasi politik (power), baik dalam lingkungan akademik maupun ruang publik. Kaum intelektual harus melakukan gerakan empowering terhadap individu dan kelompok-kelompok kepentingan dengan tetap melakukan oposisi terhadap domain-domain publik. Pada kenyataannya, ruang advokasi kaum intelektual organik adalah public sphere dimana relasi-relasi struktural berinteraki dan saling mempengaruhi dalam proses pencarian ataupun peneguhan identitas.
Sejalan dengan basis dialektika yang dibangun, komunikasi yang terjadi dalam cultural studies tidak bertolak dari asumsi yang mengidealkan titik awal dialog yang setara dan berimbang. Ini terkait erat dengan kehadiran power dalam setiap proses-proses relasi dan interaksi. Dalam kerangka ini, Teori Kritik Sosial Mazhab Frankfurt, postmodernisme dan cultural studies adalah bagian dari upaya untuk membangun kritik di atas kritik terhadap proses pencapaian tatanan emansipatoris dalam lanskap sejarah kemanusiaan. Bagi kalangan akademisi Barat, mata rantai kritisisme ini merupakan wujud oto-kritik (self critism) terhadap konstruksi-konstruksi intelektualitas yang lahir dan berkembang dalam setting lokalitas-historis masyarakat Barat.
Ambivalensi, hegemoni bahkan imperialisme dunia pertama terhadap dunia ke tiga yang meng-atasnamakan modernitas dan globalisasi telah menstimulasi kemunculan wacana radikal-kritis yang berusaha mendekonstruksi imajinasi “minor”, marjinal serta primitif realitas-realitas di luar lingkaran Barat. Isu “difference”, minoritas dan pluralisme yang sudah bersemi dalam kajian kritik modernisme dan postmodernisme menjadi pijakan penting untuk meretas wacana multikulturalisme, post-feminisme dan poskolonialisme.

Politik Identitas Poskolonial
"Poskolonial" (post-colonial) adalah konsep kunci untuk memasuki kancah wacana kritik (critical discourse) yang mulai mencuat pada akhir 1970-an. Konstruksi teoritik dan orientasi praksis resistensi poskolonial terfokus kepada proses liberasi kolonialisme. Diantara deretan intelektual yang diakui sebagai generasi perintis poskolonial (avant la lettre) ialah Franz Fanon, Albert Memmi serta beberapa intelektual kritis Amerika yang dapat digolongkan dalam katagori ini. Terminologi poskolonial dipahami sebagai sikap dan gerakan resisten terhadap otoritarianisme kolonialisme militer maupun politik serta rejim-rejim wacana yang terus menerus dibangun oleh penguasa kolonial. Pemaknaan ini memperlihatkan pengaruh kuat teori (linguistik) post-strukturalisme yang kemudian dielaborasi lebih jauh oleh tiga tokoh kritik poskolonial berpengaruh, yaitu Edward Said, Gayatri Spivak, dan Homi Bhabha. Beberapa pemikir geneologi poskolonial, termasuk Bhabha, memberi catatan penting kepada Orientalisme (1978), karya Said, sebagai the founding texs of postcolonialism theory.[24]

Robert Young memberi gambaran cukup gamblang menyangkut geneologi postcolonialism sebagai gerakan anti kolonial. Pada mulanya, benih gerakan ini muncul di Eropa seiring ekspansi penjajahan berlangsung. Kemunculan gerakan-gerakan lokal yang mengusung gerakan anti kolonialisme diinspirasi oleh ekspansi imperialisme Barat, Rusia Bolshevik pada kala itu. Pada dasarnya, karakteristik gerakan anti kolonial tersebut merupakan kombinasi dari kritik kolonialisne Marxis dengan kultur serta realitas kondisi sosial lokal. Gerakan anti kolonial di India menampilkan corak yang berbeda dengan corak gerakan sejenis di tanah kolonial lain. Daya pikat luar biasa aktivis anti kolonial, Mahatma Gandhi, menorehkan nuansa tersendiri bagi pertumbuhan gerakan resistensi intelektualisme India. Perbedaan situasi dan latar kesejarahan ini menjadi salah satu determinan kunci yang memompa kawasan anak benua India menjadi pusat persemaian teori-teori poskolonial kontemporer yang subur. Sejarah perkembangan gerakan resistensi kolonialisme di India mencatat prestasi istimewa dengan kemunculan sekaligus peran aktif aktifis perempuan subaltern.[25]

Berpandu kepada konteks ruang dan lokalitas yang plural, Teori Poskolonial menyimpulkan keakuratan perangkat untuk memahami konteks-konteks khusus dalam wilayah-wilayah tertentu. Dengan begitu, konstruksi teori akan tumbuh kembang dalam batas wilayah tradisi-tradisi lokal. Sehingga, pembacaan teori poskolonial di Afrika Barat akan berbeda dengan proses pembacaan poskolonial di India ataupun kawasan Karibia. Kemunculan narasi-narasi resistensi anti kolonial bahkan Teori Poskolonial dapat dilacak pada geliat resistensi sosial, politik budaya serta disiplin akademik poskolonialisme; Amerika Latin, Asia dan Afrika mengalami kolonialisasi Prancis, Inggris serta negara Eropa lainnya pada abad ke-18. Pada rentang ruang pergulatan identitas itulah pemikiran anti kolonial mulai bersemi. Asumsi ini menggiring Young pada satu kesimpulan bahwa akar geneologi teori poskolonial berujung pada kiprah perjuangan Fanon, Nkrumah, Cesaire dan lainnya. Sedangkan Edward Said, Gyatri Spivak, dan Homi Bhabha ditahbiskan sebagai The holy trinity of postcolonial studies; tiga pemikir garda depan yang mengokohkan tradisi teori poskolonial.[26]

Terminologi postcolonial mendapat identifikasi yang mapan dalam The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989) yang ditulis Bill Ashcroft dkk. Mengacu kepada Bill Ashcroft dkk, pemakaian istilah “post-colonial” dimaksudkan untuk men-cover semua dimensi culture yang telah terinfeksi oleh proses panjang imperialisme, baik pada saat kolonialisme militer maupun dominasi wacana dewasa ini. Preposisi ini dibangun di atas asumsi, proses inisiasi historis imperialisme Barat terhadap ruang-ruang kesadaran warga eks-kolonial terus berlangsung dalam alur waktu kolonialisme militer maupun pasca kolonialisme (kemerdekaan tanah air).

Kebangkitan kesadaran identitas-identitas etnis lokal memicu percepatan perkembangan teori poskolonial. Literatur-literatur poskolonial menjamur subur di negara-negara kawasan eks-koloni; Afrika, Australia, Bangladesh, Canada, negara-negara kawasan Karibia, India, Malaysia, Malta, New Zealand, Pakistan, Singapura, negara-negara kawasan Pasifik Utara dan Sri Lanka. Term “literatur poskolonial” dipakai untuk mengakomodasi kemunculan wacana-wacana tanding di kawasan-kawasan yang pernah mengalami kolonialisasi negara-negara Eropa. Dalam perspektif ini, teori poskolonial menyajikan eksplorasi kritis terhadap wacana poskolonial dalam relasinya dengan isu-isu ras, nasionalitas, subjektivitas, power, subalterns, hibriditas dan power, subalterns, hibriditas dan kreolitas.[27]
Gagasan sastra poskolonial berawal dari tidak memadainya teori yang diproduksi kalangan pemikir Eropa untuk memahami kompleksitas dan variasi-variasi budaya dalam tulisan-tulisan poskolonial. Teori-teori Eropa dikonstruksikan dari tradisi-tradisi budaya yang partikular sehingga tidak tepat untuk diklaim bersifat universal. Gaya dan genre teori yang mengasumsikan universalitas bahasa, epistimologi dan sistem nilai dipertanyakan secara radikal oleh tulisan-tulisan poskolonialisme. Karena pada dasarnya, teori poskolonial wujud aktualisasi dari kebutuhan untuk memberi ruang pada realitas perbedaan. Maka beralasan, jika teori-teori yang bercorak indigenous dibentuk untuk mengakomadasi perbedaan-perbedaan dalam tradisi-tradisi budaya yang bervariatif. Disamping itu, teori-teori tersebut mengutarakan kepentingan penjabaran melalui pendekatan komparatif sehingga bersifat lintas tradisi. Dengan kata lain, proses alienasi dunia ke tiga (poskolonial) hingga ke sudut margin realitas telah mengalami titik bahkan serangan balik (uncentred, pluralistic, and multifarious).[28]
Secara elaraboratif, Homi Bhabha meletakan posisi penting studi poskolonial dengan kajian-kajian yang memiliki keterkaitan erat secara geneologis. Bagi Bhabha, keterkaitan poskolonial dengan literatur kolonial berada pada satu jalur. Inter-relasi dan proses saling mempengaruhi antara postmodern dan poskolonial menstimulasi tumbuhnya benih-benih kultur hibrid serta penerimaan terhadap nilai pluralisme. Postmodern sendiri mendiseminasikan ruang toleransi-maksimum yang dalam bahasa Lyotard disebut small narratives, berbeda dengan totalitas narasi modernitas. Pada titik inilah dapat ditemukan garis penghubung postmodernisme dengan wacana feminisme, multikulturalisme dan poskolonialisme. Konvergensi wacana multikulturalisme dengan postmodernisme dielaborasi oleh Jean Francois Lyotard dan Charles Taylor. Secara mengalir pula wacana postmodern menyentuh isu cultural diversity, penguatan minoritas, bahasa dan gaya hidup.
Feminisme dan multikulturalisme merupakan sisi lain dari wajah wacana emansipatoris Barat. Sedangkan teori dan praktik poskolonial berakar dari realitas Dunia Ketiga, seperti kawasan Afrika Selatan. Dengan kata lain, poskolonial mewarisi wacana anti kolonial pada dekade-dekade awal abad ke-20. tulisan Frant Fanon, A Dying Colonialism (1965) merupakan karya penting dalam lingkup pandangan konsep postmodern negara-negara Barat. A Dying Colonialism membuktikan bahwa Teori Poskolonial dibangun oleh kalangan intelektual yang berasal dari negara-negara kolonial dimana mereka sekarang justru mengajar dibeberapa universitas terkemuka di Barat, khususnya Amerika Utara; Edward Said, Gayatri Chakravorty Spivak dan Homi Bhabha.[29]

Altar Sosio-politik Poskolonial Dunia Islam
Dalam sejarah pembebasan dunia ke tiga,[30] setidaknya ada tiga peristiwa penting yang menandai perlawanan “the other” terhadap rejim kolonial untuk merebut kebebasan bangsa dan negara. Pertama, revolusi di Cina pada tahun 1949. Gerakan revolusioner ini merupakan sebuah peristiwa historis yang penting, terutama untuk gerakan radikal di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak partai Komunis dan kelompok radikal lainnya yang dilhami oleh teori-teori Mao. Dan "Revolusi Kebudayaan" tahun 1960-an juga menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan mahasiswa kiri bahkan sampai kini. Kedua, revolusi Iran pada tahun 1979 yang menggulingkan rejim Syah Pahlevi. Pada dekade 70-an, rejim Syah adalah ikon westernization di Timur Tengah. Pada akhirnya, sokongan kekuatan militer dan patronase Amerika tidak mampu menahan gelombang gerakan pembebasan rakyat Irak dibawah komando kalangan mullah dan intelektual. Dan yang ketiga adalah revolusi Kuba beserta fenomena Fidel Castro yang gigih menentang imperialisme dan dominasi kebijakan politik Amerika.[31]
Bagi dunia Islam sendiri, lembaran sejarah menjadi fakta bahwa lompatan inovasi intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan dengan peradaban lain. Perjumpaan Islam dengan warisan intelektual Yunani menorehkan karya-karya monumental. Kualitas produksi intelektual Islam menunjukan karya kreasi terbaik. Gairah intelektual Islam saat itu justru ditopang oleh pergumulan intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir Muslim Arab-Persia khususnya. Historical stage ini menjadi dasar legimitasi Hassan Hanafi bagi pentingnya membangun studi oksidentalisme sebagai wacana tanding (counter discourse) terhadap rejim pemaknaan realitas Islam oleh orientalisme.[32]
Pasca kemunduran Islam pada abad ke 13, ritme sejarah di atas kembali terulang. Perjumpaan Islam dengan realitas modernitas (kolonial) pada awal abad ke-20 melahirkan gejolak baru pembaharuan pemikiran Islam. Menurut Akhbar S. Ahmed, modernisme muslim dilahirkan oleh kolonialisme Eropa. Berbeda dengan kalangan muslim konservatif yang menutup diri, kaum modernis mau menerima dan mengambil elemen-elemen peradaban Barat serta berusaha melakukan sintesis dan mencari keselarasan antara Barat dan Timur. Meminjam kerangka akar modernisme muslim-nya Ahmed,[33] relasi intelektualisme Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Ali Jinnah dan Muhammad Iqbal dengan modernitas kolonial Inggris pada pertengahan abad ke-19 meninggalkan jejak geneologis pertarungan identitas poskolonial kalangan intelektual Islam dengan peradaban Barat. Sedangkan akar identitas poskolonial melalui jaringan transmisi ulama dapat dirunut pada figur Rifa`ah al Tahtawi (1801-1873). Basis pendidikan Al Azhar yang mumpuni serta keakrabannya dengan wacana Barat modern membuka jalan baginya untuk membangun kerangka intelektual yang mengintegrasikan doktrin-doktrin Islam dengan modernisme.[34] Pada fase ini, resistensi-kritis poskolonial Islam belum terlihat secara mencolok. Sikap akomodatif terhadap ide dan gagasan kemajuan serta usaha untuk melakukan transkulturasi mutual antara modernitas kolonial dengan keterbelakangan intelektual kawasan colonye,[35] lebih mewarnai corak tahapan awal apresiasi poskolonial Islam.[36]
Di penghujung abad ke-20, pola relasi Islam vis a vis Barat menampilkan corak-corak baru. Pada fase inilah, arus wacana dan teori kritis dalam tradisi keilmuan Barat bersua dengan pencarian identitas kultural Islam. Intensitas perjumpaan, pertarungan serta dialog kalangan muslim dengan masivitas perangkat-perangkat analisis wacana kritis Barat merentangkan jalan setapak poskolonial Islam yang dalam kerangka pemikiran Ahmed disebut dengan istilah “posmodernisme Islam”. Teori Kritik Sosial (social critical theory), postmodernisme, Marxis/post-Marxisme sampai teori poskolonial menjadi bagian perangkat metodologis wacana keislaman dalam menerjemahkan dan merekonstruksi makna teks, terutama dalam merancang agenda-agenda pembaharuan yang bersifat resisten-kritis terhadap kuasa wacana peradaban Barat. Meskipun bagi mayoritas pemikir muslim, konstruksi wacana-wacana ini (dianggap) tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari paradigma westernisme-modernisme.[37]

Berdasar analisis Komaruddin Hidayat, respon dunia Islam terhadap Barat lebih nampak bercorak politis-ideologis. Setidaknya karya John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (1992), secara apik mencoba menjelaskan hubungan Barat dan Islam yang selalu ditandai konflik. Imperialisme kultural terhadap dunia Islam yang dilakukan Barat adalah upaya hegemoni dan penaklukan yang bersifat budaya dan politis. Bagi Esposito, image kolonialisme ini telah merontokkan konstruksi tata nilai dan kelembagaan yang telah beratus tahun tegak dalam komunitas muslim. Dengan begitu, kesadaran identitas kultural agama masyarakat Muslim menjadi inti sensitivitas nyali untuk bangkit dan melakukan resistensi kultural terhadap imajinasi-imajinasi dominasi Barat. Dan para pemikir Islam modern lahir ditengah-tengah iklim kolonialisme sekaligus pernah menghirup atmosfere imperialistik.
Titik balik kebangkitan kesadaran dunia Islam mulai terlihat pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kemunculan kalangan pemikir Islam yang berpandangan liberal terhadap interpretasi otoritas keagamaan klasik (ijtihad, taqlid dan otoritas akal terhadap wahyu) menandai kesadaran pentingnya melakukan reformasi sikap dan mental keagamaan ditengah realitas keterkuburan “cahaya Islam” oleh kolonialisme. Gerakan intelektual dan perbaikan sistem pendidikan menjadi bagian penting alternatif untuk membebaskan masyarakat Muslim dari kebodohan dan keterbelakangan. Pilihan kalangan liberal ini menentukan basis institusi pergerakan liberasi Islam untuk mendongkel cengkraman dominasi Barat. Institusi pendidikan Islam yang dimodernisasi, media jurnalistik yang kritis dan jaringan intelektual internasional yang mapan adalah perangkat-perangaket sosial yang mengantarkan kebangkitan kesadaran identitas kultural keagamaan di kawasan-kawasan Muslim.[38]
Babak ini diawali oleh penarikan diri negara-negara Eropa dari kawasan-kawasan kolonial seiring mulai melemahkannya kontrol sosial-politik. Atmosfere ini merangsang lahirnya ideologi negara-negara dunia ketiga di Afrika, Asia dan Amerika Latin seperti Negroisme, Intuitifisme, Pan-Islamisme, Nasionalisme Arab, Sosialisme Arab, Sosialisme Afrika, Teologi Pembebasan serta jenis ideologi tandingan lainnya.[39] Disamping mulai menjamurnya ideologi tanding atas dominasi ideologi Barat, marak pula kemunculan gerakan-gerakan pembebasan yang berbasis identitas kultural keagamaan, etnis, ras dan nasionalitas. Kolektivitas gerakan-gerakan pembebasan diatas semakin mengeras dengan dicetuskannya organisasi untuk menyalurkan perjuangan kepentingan kawasan, seperti Gerakan Non Blok, Persatuan Afrika, ASEAN, Liga Arab, Organisasi Konfrensi Islam. Cita-cita perjuangan organisasi-organisasi diatas mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi dunia ketiga yang selama ini dibungkam. Pun masyarakat Muslim yang hidup di kawasan negara-negara pasca kolonial memiliki ruang publik untuk menyuarakan dan memperjuangkan identitas kultural, hak politik dan sipil, egalitarianisme ras dan etnik sampai kepentingan nasionalisme.
Pada fase inilah, transformasi isu-isu posmodernisme yang disertai pergeseran paradigma dalam wacana-wacana kritik menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangkaian pergulatan, pencarian dan peneguhan identitas Islam. Realitas tekstur Islam kontemporer-global tersebut tidak mengecualikan keberadaan asumsi bahwa wacana posmodernisme bahkan mungkin cultural studies tidak lebih dari pewaris modernisme Barat yang bersifat destruktif, anarkis, nihilis, Eurosentris dan kolonialis.[40]

Relasi dan Interaksi Poskolonial
Jiwa perlawanan intelektualisme negara-negara pasca kolonialisme, dimana nominal Islam adalah komunitas mayoritas, tidak bisa diceraikan dari lanskap kesejarahan (Islam) lokal-partikular. Narasi-narasi sosio-kultural sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari perjuangan masyarakat dalam mencapai harkat dan martabatnya. Tidak mungkin kalau ukuran keberhasilan kaum intelektual/agamawan hanya dipatok berdasar pada etika riset dan metode. Bila mereka bergabung sebagai partisan atau fungsionaris partai dan kelompok kepentingan lebih memerankan diri secara profesional, apakah berfungsi sebagai seorang ideolog atau perekayasa sosial. Sementara jika berada dalam mesin pemerintahan mereka biasanya akan berbuat semaksimal mungkin dengan kemampuan ilmiahnya untuk meningkatkan technical knowledge, tanpa mempertanyakan tentang siapakah yang diuntungkan dengan perannya itu berkaitan dengan relasi kekuasaan yang adil.
Padahal ciri intelektual yang kritis ialah yang selalu peka dan mampu berbicara dan menulis tentang realitas ketidakadilan dalam lingkup publik, mengutarakan ketertindasan, sekaligus menjadi saksi. Bahkan melalui episteme intelektual kritis, mereka melakukan kritik terhadap dosa-dosa sosial demi advokasi kemanusiaan.[41] Meminjam kerangka Gramcian, prototipe intelektual kritis yang memiliki komitmen terhadap advokasi kemanusiaan berada dalam koridor intelektualitas organik; Sebuah komitmen untuk mengartikulasikan dan bertindak demi kepentingan politik masyarakat terpinggirkan dalam frame new social movement . ini sebagai bagian upaya pembangunan wacana tanding dan counter hegemoni dalam proses transformasi sosial.[42]

Bagi dunia muslim, epidemi kolonialisme yang merajalela pada akhir abad ke-19 merupakan target sekaligus agenda ekspansi untuk kepentingan modernisasi negara-negara Eropa/Barat. Setali tiga uang, gelombang propaganda budaya populer yang membanjiri media komunikasi-elektronik dianggap sebagai serangan postmodernisme. Asumsi ini menggiring aksentuasi respon resisten kalangan inteletual muslim terhadap realitas Barat.[43] Dalam konteks ini, Ahmed memetakan taksonomi kesarjanaan muslim dalam tiga bagian, yaitu tradisionalis, radikal, dan modernis. Agak berlainan dengan mainstream pemilahan taksonomi intelektual muslim, Ahmed memasukan nama Ali Syari`ati, Fazlur Rahman, dan Ismail Al Faruqi dalam tipologi tradisionalis, berada satu baris dengan Seyyed Hossein Nasr. Kritik Ziauddin Sardar, Shabbi Akhtar, dan Parvez Manzoor terhadap orientasi pemikiran serta upaya penyelerasan Islam dengan non muslim/Barat yang didengungkan kalangan tradisionalis mengidentifikasikan mereka dalam tipologi radikal. Sedangkan figur kontroversial Salman Rusdhie, Hanif Qureishi, dan Tariq Ali dikatagorikan dalam kelompok modernis ekstrem.[44]

Secara filosofis maupun kultural, posmodernisme Islam dipahami berbeda dengan referensi posmodenisme Barat. Bagi Ahmed, posmodernisme Islam merupakan proses pergulatan dan peralihan identitas dari uniformitas wacana peradaban Barat menuju pengakuan eksistensi kemajemukan identitas kultural, etnis dan agama.[45] Dari segi ini, pemahaman posmodernisme sebagai periodisasi historis peradaban manusia tidak memadai untuk menjelaskan fenomena-fenomena keberagamaan Islam.[46] Walaupun begitu, menurut Muqtedar Khan gejala posmodernisme dalam dunia Islam tidak bisa dipisahkan dengan definisi postmodernisme pada umumnya. Ia mengatakan,

Postmodernism, I believe, may not have a universally applicable definition, Lyotard’s famous claim “postmodernism is an expression of incredulity at grand narratives” not withstanding; but it is most certainly is a universal phenomenon. I think that postmodernism as a reaction and even a rejection of the constitutive elements of post-enlightenment modernity, it is a widespread collection of phenomena. In a postindustrial society, like that of Western Europe, postmodernism manifests as a rejection of modern institutions such as marriage, traditional family structure, gender roles and even nationalism. In the Muslim World postmodernism manifests in the form of religious resurgence which rejects modernist institutions such as secularism and nationalism and instead advocates a different moral/political ethic and a different political unit (Ummah)”.[47]

Paralel dengan kerangka teoritik posmodernisme Islam Ahmed, penolakan Islam terhadap isu-isu modernitas yang dianggap berseberangan ataupun bagian dari sisi gelap modernitas melahirkan gejolak pemikiran keagamaan yang relatif baru. Isu sekularisme, nasionalisme, relativitas moral/etika serta diferensiasi komunitas sosial muslim menyulut pergesekan, pertarungan, termasuk peneguhan identitas muslim dengan supremasi wacana globalisme. Untuk menangkar efek pandora globalisasi, Nasr Hamid Abu Zayd menyeru kepada semua pemuka agama untuk menggalang solidaritas moral melawan hukum pasar globalisme. Nasr mengingatkan, secara tersembunyi globalisme ekonomi menyertakan globalisme politik dan budaya. Globalisme politik ini terkait erat dengan tesis akhir sejarah Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992) bahwa sejarah ideologi modern berpuncak pada kapitalisme dan demokrasi. Agenda globalisme budaya berkorelasi dengan tesis Samuel Huntington (1996) yang menyatakan bahwa supremasi peradaban Barat akan mendapat wacana tanding dari peradaban Islam dan Timur Jauh. Dengan demikian, globalisme berupaya mentahbiskan peradaban global Barat sebagai sistem sosial dunia yang tunggal tanpa menyisakan ruang hidup untuk pandangan kultural lain, “the other”.[48]
Secara argumentatif, Fisher dan Mehdi Abedi dalam Debating Muslim: Cultural Dialogues in Postmodernity and Tradition (1990), menegaskan bahwa posmodernisme memang banyak mencerminkan dominasi Amerika. Namun sejatinya, geneologi historis posmodernisme sendiri berasal dari kawasan “poskolonial” Afrika Utara; Aura posmodernitas dan posmodernisme bersumber dari pergolakan sosial, politik, dan intelektual pasca Revolusi Aljazair. Bahkan generasi awal intelektual posmodernisme di Prancis banyak yang lahir di Aljazair, seperti Jacques Derrida, Jean Francois Lyotard, serta Peirre Bourdieu.[49] Kemunculan kalangan intelektual psikologi dependensi yang mengkampanyekan gerakan anti kolonialisme, seperti Franz Fanon, Albert Mememi dan O. Manomi telah membangun jaringan geneologis wacana poskolonial.
Sebagaimana dipaparkan di muka, isu kolonial dan dekolonisasi, dominasi dan subordinat/subaltern serta wacana tanding merupakan konsentrasi kritik teori poskolonial. Dekolonisasi tatanan politik kolonialisme dan imperialisme Eropa tidak hanya sebatas pada upaya dekonstruksi pada ranah perjuangan politik namun harus dibarengi dekonstruksi pemikiran (state of mind) muslim yang selama ini dihegemoni oleh paradigma Barat. Karenanya menurut Abdel Kadir Khatibi, kolonialisme Barat tidak semata menciptakan penjajahan politik, bahkan lebih jauh menanamkan pandangan subversif terhadap state of mind masyarakat terjajah.[50]
Dalam kerangka apresiasi poskolonial, figur Ali Syari`ati (1933-1977) memiliki kelayakan historis untuk ditempatkan sebagai ikon kritisisme intelektual muslim terhadap jubah hegemoni peradaban Barat, sekaligus simbol pemberontakan agama terhadap otoritarianisme rejim Pahlevi, pemerintahan boneka Amerika. Mengusut akar intelektualisme Syari`ati, akan kita temukan Franz Fanon, Jean Paul Sartre, Emile Durkheim, Max Weber dan Karl Marx disamping tokoh-tokoh keagamaan penting Syiah. Panggung Revolusi Iran dimana ia merupakan salah seorang ideolog terpenting, berhasil mematahkan asumsi ketidakberdayaan agama ketika harus dihadapkan dengan gerakan revolusi sebagaimana diyakini beberapa profesor Marxis di Prancis kala itu.
Sehingga berdasar analisis Moeslim Abdurrahman, sumbangan terbesar Ali Syari`ati bagi percaturan pemikiran kritis Islam ialah kejeniusannya membangun sintesa bahwa gerakan revolusi tidak semata lahir dari kesadaran kelas namun kesadaran agama yang radikal mampu menjadi basis kesadaran kolektiv bagi gerakan revolusi.[51] Syari`ati telah menjelma sebagai “artefak kesadaran imajinatif” revolusi Islam yang (harus) terus hidup dalam aras imajinasi-liberasi dan kritisisme dunia Islam. Ia berhasil mengubah wajah mesianik Syi`ah menjadi ideologi gerakan keagamaan yang radikal revolusioner.
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syariati ialah kredo agama dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan masyarakat tertindas, baik secara kultural maupun politik. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa Islam merupakan kekuatan ideologi yang mampu membebaskan dunia ketiga dari dominasi kolonialisme politik, ekonomi, termasuk imperialisme kultural Barat. Baginya, dunia ketiga telah dihinggapi penyakit imperialisme global yang mengejawantah dalam konstruksi politik rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan supremasi Barat.[52]
Untuk kawasan dunia Arab, Mesir tidak bisa dipungkiri sebagai salah negara yang melahirkan figur-figur intelektual muslim yang kontribusinya tidak bisa kita abaikan untuk kepentingan interaksi dan kontinuitas mata rantai kritisisme Islam terhadap penunggalan wacana ideologis Barat. Hassan Hanafi satu dari sekian sosok intelektual Mesir yang konsisten menyuarakan perlunya Islam menentukan sikap kritis terhadap tradisi (turast) sebagai basis identitas wacana tanding (counter discourse) vi a vis realitas modernitas Barat.[53] Iapun mencetuskan pentingnya dunia Islam mengkonstruksi studi (kritis) Oksidentalisme sebagai wacana tanding Orientalisme. Tokoh kiri Islam ini memandang urgen adanya ruang-ruang kesadaran dalam memori kolektiv masyarakat Islam akan realitas-realitas yang dihadapi; realitas tradisi, realitas Barat dan realitas kekinian.[54] Kristalisasi kesadaran ini merupakan titik pijak untuk melakukan tahapan resistensi Islam terhadap hegemoni dan imperialisme Barat. Sebagaimana dikemukakan Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme (1993), Barat sekarang ini secara sadar dan gencar melakukan imperialisme kultural terhadap dunia Islam sehingga proyek modernisme Barat yang dikenalkan pada dunia Islam tak lain dari sebuah penaklukkan dan dominasi.

Al yasar al Islam merupakan daya resistensi intelektual kritis Hanafi terhadap imperialisme budaya dan dominasi politik Barat. “Kiri” dalam idiomatik ini merupakan simbol ketertindasan, kelompok marjinal, subordinat, the other sekaligus simbol wacana tanding dan perlawanan. Aqidah tidak hanya kredo tanpa praksis pembebasan, justru landasan teologis ini merupakan pangkal untuk melakukan revolusi. Wacana kiri menawarkan antitesis terhadap pemahaman keagamaan yang tidak memihak kaum lemah dan marjinal. Dalam perspektif demikian, wacana kiri akan selalu hadir dalam kondisi di mana masyarakat berada di bawah kekuasaan yang hegemonik, menindas dan otoriter. Kehadiran wacana kiri paling tidak membawa empat misi penting: pertama, mengobarkan semangat perlawanan terhadap apa saja yang dianggap menindas; Kedua, berupaya membebaskan manusia dari keterkungkungan; Ketiga, memberi landasan paradigmatik terhadap berbagai gerakan perlawanan; Keempat, pemihakan terhadap masyarakat kecil, tertindas, lemah dan terpinggirkan.[55]
Di belahan kawasan Afrika, kebangkitan “kesadaran kaum hitam”[56] membongkar black image tanah tandus Afrika, dari sekedar ladang emas imperialisme Eropa menjadi rahim subur bagi intelektualisme poskolonial. Setidaknya, perjuangan politik dus pergumulan intelektual di Afrika Selatan dan Afrika Utara menjadi barometer pertarungan identitas kalangan pribumi dengan dominasi politik kolonial. Persinggungan dan pergulatan intelektual kawasan Afrika dengan wacana-wacana kritis tradisi keilmuan Barat adalah salah satu faktor determinan akselerasi intelektualisme poskolonial Afrika.[57]
Politik diskriminatif Apartheid yang diterapkan pemerintah kulit putih Afrika Selatan terhadap mayoritas masyarakat kulit hitam telah menggerakkan Maulana Farid Esack untuk melakukan pembebasan (liberation), perlawanan terhadap segala bentuk kebijakan opresif, rasial dan diskriminatif. Bagi Esack, pendekatan hermeneutik yang dikonfrontasikan dengan realitas ketidakadilan hak politik warga negara yang dibarengi perampasan identitas etnik merupakan basis teologis untuk menggalang kesadaran solidaritas membebaskan diri dari belenggu penjajahan politik. Setidaknya, butir-butir pemikirannya yang terangkum dalam “The Emergence of Qur`anic Hermeneutic and Hermeneutical Notions Within the Contex of Inter-Faith Solidarity Againts Apartheid” menyiratkan pandangan keagamaan pluralis bahkan multikultural. Memakai perspektif poskolonial, paradigma hermeneutika yang digagas Farid Esack mengungkapkan kekuatan intelektualisme yang sarat dengan muatan-muatan politik.[58]
Dalam wilayah kajian poskolonial, term politik dimaknai sebagai bentuk manifestasi dari relasi-relasi kekuasaan pada semua level interaksi sosial; tindakan subjektivitas seseorang senantiasa berada dalam relasi-relasi kepentingan, maka pengetahuan dan kekuasaan membangun relasi yang mutual;[59] Relasi-relasi politis dalam kerangka gerakan pembebasan Esack ialah kepentingan untuk melakukan pemihakan kepada kelompok/masyarakat subordinat, marjinal dan terpinggirkan (must`adhafin). Subordinasi atau marjinalisasi ini mencakup hak-hak sipil dan politik, otentisitas budaya lokal (ras dan etnis) serta identitas kultur agama.
Perkembangan dan dialektika wacana kritik di Eropa, terutama di Universitas Birmingham Inggris dimana Esack menyelesaikan tahapan doktoralnya, mengindikasikan keterpengaruhan corak kritisisme dan pola resistensinya terhadap politik Apartheid, diskriminasi etnik dan ras di Afrika Selatan. Tema-tema yang diangkat dalam setiap tulisan Esack akan kita temukan satu garis paralel dengan isu-isu yang diusung oleh para pemikir poskolonial; tema perlawanan etnik, ras, pengukuhan identitas kultural demi keadilan dan pembebasan dengan mudah kita jumpai dalam setiap serakan tulisannya.[60]
Kepekatan corak posmodernisme dalam wacana keislaman akan kita temukan dalam pemikiran Mohamed Arkoun. Seorang intelektual muslim kelahiran Aljazair yang tinggal di Perancis. Ia banyak mengenyam pendidikan di Sorbonne Perancis. Dan ia terlibat secara langsung dengan isu dan gerakan posmodernisme di Eropa. Oleh karena itu, berbagai karya Arkoun menyiratkan kecanggihan perangkat–perangkat analisis posmodernisme dan poststrukturalis.[61] Pendekatan historisisme yang dipakai Arkoun dalam Islamologi terapan-nya adalah bagian dari formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh pemikir-pemikir poststrukturalis Perancis.
Metodologi studi keislaman yang dibangun Arkoun secara jelas menampakan pengaruh pentolan-pentolan poststrukturalis/posmodernisme; De Saussure (linguistik), Levi Strauss (antropologi), J. Lacan (psikologi), Roland Barthes (semiologi), Michel Foucault (analisis wacana) dan Jecques Derrida (dekonstruksi). Analisis-analisis teoritik ini diramu sebagai landasan epistimologis untuk melakukan "kritik nalar Islam" (critique dela raison islamique, 1987). Secara tipologis, concern kajian Arkoun berbeda dengan konsentrasi wilayah kajian intelektual muslim di muka. Mata kritisisme intelektual Arkoun dominan menjelajahi aras filosofis konstruksi epistimologis Islam. Pada dataran aplikasi sosiaI, politik dan kultural, ia melakukan domestifikasi isu-isu modernitas, seperti demokrasi, HAM, nation state dan pemerintahan parlementer.[62]
Adalah Abdullah Laroui dan Abdel Kadir Khatibi, dua orang intelektual terkemuka Maroko, yang menebarkan aroma tajam teori poskolonial Maroko. Laroui mengawali buku berpengaruhnya, Arab ideology (1973) dengan pembahasan subjektivitas dan the other (baca: Barat). Leonard Binder pun memberi ruang sajian yang cukup bagi pemikiran Laroui ketika mengkaji pemikiran-pemikiran liberal-politis di kawasan Timur Tengah.[63] Sedangkan tanggapan Khatibi terhadap pemikiran anti kolonialisme Fanon menjadi pembuka Maghreb Pluriel (1983). Secara tegas ia berujar, "Allons, comrades, the European game is definitively over. We've got to find something else." [64]
Menurut Mohamed Jouay dari Universitas Kaddi Ayyad Maroko, frase “Something else” dalam ungkapan di atas mengisyaratkan Teori Kritik Ganda (theory of double critique) Khatibi, yaitu kritik terhadap kebutaan dekolonisasi dan dekonstruksi. Dekonstruksi dalam pemikiran Khatibi menyingkap garis geneologinya dengan dialektika “I-Other” Laroui. Kerangka intelektual ini tidak hanya cukup di tarik dari Antonio Gramci, George Lukacs maupun secara langsung pada Fanon, akan tetapi bagaimana kerangka penjajah (colonizer) dan terjajah (colonized) Fanon direkonstruksi dalam dialektika majikan-buruh Hegelian. Alegori ini merupakan permentasi dari imajinasi-imajinasi poskolonial.[65]

Akhirnya, sosok-sosok intelektual seperti Abdellatif Laabi, Abdelkarim, Abdullah Ahmad An Naim, Amina Wadud Muhsin, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernissi, Malik Bennabi, Ghallab, Mohamed Berrada, Mohamed Zefzaf, Mohamed Choukri, Nasr Hamid Abu Zaed, Muhammad Syahrur, Abdul Karim Soroush sampai Tahar Ben Jelloun merupakan generasi pemikir muslim kontemporer yang secara positif mengapresiasi perangkat dan analisis kritis dari tradisi pemikiran Barat.
Secara jujur harus kita akui, Perangkat metodologis, kecanggihan teori dan analisis wacana kritis yang dipergunakan generasi kritis Islam dalam membedah realitas perjumbuhan Islam dengan pergulatan peneguhan identitas kultural pasca kolonial sebagian besar dipelajari dan diapresiasi kritis dari ranah tradisi pemikiran Barat, mulai dari posmodernisme, Marxis sampai cultural studies. Fenomena ini dalam sejarah perkembangan (filsafat) ilmu bukanlah suatu yang aneh apalagi tabu. Karena disinilah sisi otentisitas, daya kritis dan spirit emansipatoris sebuah teori/wacana akan teruji.
Latar belakang kolonialisme wilayah-wilayah dunia Islam dus imperialisme kebudayaan Barat menempatkan nalar kritis kalangan intelektual muslim berbasis poskolonialisme. Perangkat teori berikut analisis wacana yang diapresiasi dari tradisi pemikiran Barat akan senantiasa bersinggungan dengan “sentimen” kritis poskolonial. Meminjam argumentasi Schuon, bagi intelektual muslim, respon sentimental ideologis tumbuh bukan karena alasan menggunakan simbolisme perasaan, pemakaian bahasa yang kurang atau bahkan terlalu emosional melainkan motif sentimental ini menjadi akar bagi totalitas apresiasi dan peneguhan identitas kultural.[66]
Fenomena poskolonial Islam meretas jalan setapak baru bagi relasi-relasi Islam dan Barat. Bahkan pada tahapan tertentu, telah membentangkan ikatan konvergensial gerakan kritisisme dalam wacana kritik Barat dengan semangat kritisisme dan resistensi Islam terhadap paradok-paradok humanisme modernitas, ketidakadilan politik identitas, decentering wacana dominan Barat serta universalitas identitas kultural. Pada aras ideologis, ini merupakan upaya untuk mendekonstruksi brain image Barat yang mencitrakan Islam sebagai entitas the other, subordinat dan marjinal. Dan pada aras politis, gerakan ini menjadi palu godam yang akan merontokan buhul-buhul relasi kuasa Barat (dominasi kepentingan ideologis, kekuasaan, politik, hegemoni kesadaran dan imperialisme budaya) vis a vis realitas Islam.

Psikologi poskolonial (perasaan terancam dan luka sejarah) dunia Islam akibat keganasan imperalisme dan kolonialisme pada masa penjajahan hendaknya tidak menutup bagi terciptanya relasi-relasi wacana yang jujur, setara dan berimbang antara Barat dan Islam. Lebih-lebih dalam konteks multikulturalisme, peradaban-peradaban harus membangun jembatan konsensus global sebagai etika komunikasi dan basis asumsi meniti dialog yang setara dan berimbang. Tinjaun kritis atas realitas global mengajarkan bahwa lokalitas kawasan, identitas kultural etnik, ras serta pandangan keagamaan memiliki genialitas masing-masing. Mereka menganut sistem nilai dan pandangan hidup yang beragam. Pada titik inilah, komunikasi dan dialog antar tradisi dan budaya niscaya mampu menyantuni pluralitas makna dan kepentingan budaya sekaligus kuasa membukakan nalar dan emosi untuk membentuk tatanan pluralitas dan multikultural yang beradab. Relasi inter-koneksi budaya dan tradisi (akademik) sudah selayaknya menjadi jalan besar peradaban (hall way of civilization) untuk dilalui bersama.

Penutup Wacana
Sudah menjadi catatan sejarah, kaum intelektual senantiasa diberi amanah untuk menjadi penarik gerbong pencerahan dan pembebasan dalam gerak kereta anak zaman. Kritisisme yang lahir dan terwacanakan dalam tradisi-tradisi pemikiran sejarah dinisbahkan kepada komitmen untuk melakukan kritik, protes dan resistensi terhadap segala bentuk tindak opresif, tiranik, kedhaliman, ketidakadilan, diskriminasi, peminggiran hak-hak sipil dan politik, dominasi dan hegemoni budaya. Siapapun aktor yang merekayasa melanggengkan itu semua, tanpa memandang ras, etnik, ideologi, penguasa bahkan atas nama agama, kaum intelektual (muslim) harus bangkit untuk merobek setiap jahitan konspirasi untuk reka cipta ketidakadilan dan kekerasan.

Tidak berlebihan jika nalar kritisisme posmodernisme dan cultural studies (baca: poskolonial) terhadap relasi-relasi kuasa Barat merupakan “hikmah” (intelektual) Islam yang nyaris terlupakan. Hemat penulis, apresiasi kritis Islam terhadap realitas pergumulan identitas kultural pada aras global dengan basis poskolonial bukan berarti dunia Islam harus larut dalam psyco-postcoloniality complex; sindrom mental/kognisi komunitas terjajah yang dihantui perasaan imperior, defensif, reaktif dan apriori. Justru nalar kritis poskolonial menjadi pintu untuk memasuki dunia kesadaran empati-kritis dalam setiap upaya gerakan-gerakan pembebasan terhadap marjinalisasi identitas kultural.

Inilah konstruksi identitas intelektual muslim generasi hibrid yang tangkas mengartikulasikan ragam tradisi pemikiran kritis untuk cita-cita emansipasi. Dengan begitu, apresiasi kritis intelektual Islam berada dalam kanal-kanal pensejarahan nilai-nilai profetis yang bersifat perennial, yaitu menjungjung tinggi hak kemerdekaan sipil dan politik, mengakui persamaaan derajat dan martabat serta mengakomodasi ruang publik untuk berekspresi.

* Penulis Staf Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (2002-2006) dan Koordinator Program Pengembangan Kajian Islam MAARIF Institute (2006).
[1] Modernisme diinterpretasikan sebagai tahapan sejarah yang ditandai dengan dominasi kepercayaan pada sains, perencanaan, sekularisme dan ide kemajuan. Simetris, tertib, keseimbangan dan otoritas merupakan karakter yang menonjol dalam periodesasi ini. Mesin, industri, besi, baja serta listrik diyakini sebagai alat-alat vital untuk mencapai tujuan. Lih. Akhbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam (terj), Bandung: Mizan, 1996, hlm. 22
[2] Untuk paparan detail, lih. Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Bandung: Mizan, 1999.
[3] Rasionalitas modernisme yang terbit pada era Renaisans abad ke-16 M memiliki dua karakter mendasar, yaitu sebagai rasionalitas instrumental dan rasionalitas nilai. Karakter pertama berwatak formal, karena hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan (means) dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai intisari kesadaran. Karakter kedua mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak substantif, karena lebih mementingkan komitmen rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara pribadi. Lih. Medhy Aginta Hidayat, Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baulliard, http/www.vibrasi.net/artikel/postmodernisme/htm#2
[4] isu “what is Aufklarung” (pencerahan) menjadi pusat simbolik perdebatan intrepretasi cita-cita humanisme Barat. Jawaban Immanuel Kant yang menekankan aktor rasionalitas universal subjek (Barat) mewakili garis awal modernisme. Tanggapan balik Michel Foucault atas universalitas rasio modernisme mengawali garis posmodernisme.
[5] Subjektivitas nalar (rasio) modernisme menjadi faktor memicu penting proses reifikasi world view modernisme.
[6] lih. Ulrich Beck, Anthony Giddens, Scott Lash, Reflexife of Modernization, California: Stanford University Press, 1984.
[7] Lih. F. Budiman Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas (terj), Yogyakarta: Kanisius,1993.
[8] Chris Barker, Culture Studies: Theory and Practice, Sage Publication London, 1999, hal 145-146.
[9] Perdebatan Jurgen Habermas dan Francois Lyotard yang melegenda menjadi rujukan representasi pertikaian kritis Mazhab Kritik Sosial Frankfurt dengan posmodernisme. Pada dasawarsa 70-an substansi perdebatan ini mendapat kritik dari Stuart Hall, tokoh terkemuka cultural studies. Lih. David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds), Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies, Routledge, 200, hal. 131-135.
[10] Cultural Studies adalah gerakan kritis yang lahir dari kalangan pemikir British Center for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham. Gerakan ini merupakan upaya mendobrak kemandulan kritisisme gerakan New Left di Inggris. Tercatat Raymond Williams, Richard Hoggart dan Stuart Hall sebagai peletak dasar tradisi cultural studies.
[11] Istilah ini penulis pinjam dari Abdulaziz Sachedian, lih. The Islamic Roost of Democratic Pluralism, Oxford University Press, 2001.
[12] Walter Homolka, The End of Tolerance dalam Susan Stern dan Elisabeth Seligmann (eds), The End of Tolerance, Nicholas Berkeley Publishing, 2001, hal. 15
[13] Secara simbolik, terminologi supremasi kulit putih (white supremacy) dipakai untuk mengidentifikasi kuasa hegemonik yang selalu berupaya mendiskreditkan eksistensi entitas-entitas lain. Lih. Peter McLaren, Revolutionary Multiculturalism, Boulder CO: Westview Press, 1997, hlm. 8.
[14] Kritik Theodo Adorno dan Hokheimer serta Habermas terhadap hegemoni nalar instrumental lebih menyuarakan pematangan pembumian idealitas Renaissance.
[15] Pada dasarnya, sulit untuk menggeneralisasi kemunculan wacana-wacana kritis ke dalam dua atau tiga kelompok. Pemilihan fokus terhadap wacana posmodernisme dan cultural studies dalam kajian ini tidak bermaksud meniadakan posisi dan kontribusi penting wacana lain. Hemat penulis, kehadiran cultural studies pada tingkat tertentu mampu menempatkan diri sebagian kajian multidisipliner yang menaungi serta meramu teori-teori kritis dalam studi budaya terkini.
[16] Dalam sejarah Barat, istilah kritik muncul di Eropa pada zaman Renaisans yang digunakan oleh kaum humanis dalam bidang filologi. Selanjutnya dipergunakan sebagai kritik sastra dalam bidang estetika yang masih dipakai sampai saat ini. Kritik akan menjadi sebuah tuntutan manakala terjadi kontradiksi-kontradiksi yang menyebabkan ketidakseimbangan sebuah tatanan sosial yang sudah ada dalam suatu komunitas. Kondisi ketidakseimbangan ini kemudian disebut dengan krisis. Tanpa krisis maka sebetulnya kritik juga tidak di butuhkan. Hubungan antara krisis dan kritik dalam konteks ini, kritik bukan sekedar keputusan pilihan, melainkan lebih-lebih merupakan usaha untuk mengatasi krisis. Oleh karena itu, kritik adalah usaha-usaha rasional yang kesahihannya bukan hanya ditentukan oleh ketajaman pikiran seseorang dalam menganalisis situasi, melainkan juga oleh sukses mewujudkan kritik itu dalam praktik untuk mengatasi krisis. Lih. Nano Warsono, Kritik Seni Emansipatoris, makalah diskusi 2 Bulanan YSC–Kritik Seni (Rupa) #3, Urip Danu Wijoyo & Nano Warsono, 5 Februari 2001, Galeri Embun, Yogyakarta.
[17] Setidaknya, pengakuan ini datang dari Homi Bhabha, seorang poskolonialis terkemuka. Lih. Postcolonial and Transnational Theories, http://www.wsu.edu/~amerstu/tm/poco.html#TOP
[18] Leong Yew, On Categorizing Postcolonial Theorists,
www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/theorists_note.html
[19] lih. Leela Gandhi, 2001, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Barker, 1998, Cultural Studies: Theory and Practice; David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds), Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies Routledge, 2001; Paryanto, Muhammadiyah, Akomodasi Budaya dan Poskolonial dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Muthahharun Jinan (ed), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS UMS, The Ford Foundation dan Majelis Tarjih dan PPI Muhammadiyah, 2002, hal. 65.
[20] Jon Stratton dan Len Ang, On The Impossibility of a Global Cultural Studies dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds), Routledge, 2001, hal. 361.
[21] Lih. Chris Barker, 1998: 8-12.
[22] Jenniver Daryl Slack, The theory and method of articulation in cultural studies dalam David Morley dan Kuan-Hsing Chen (eds), 2001, hlm. 112.

[23] Henry Giroux, David Shumway, Paul Smith, and James Sosnoski, The Need for Cultural Studies: Resisting Intellectuals and Oppositional Public Spheres, http://eserver.org/theory/need

[24] lih. Postcolonial and Transnational Theories, http://www.wsu.edu/~amerstu/tm/poco.html#TOP
[25] Dalam poskolonialisme, subaltern dipahami sebagai objek yang tertekan yang berada pada tingkat inferior. Lih. Leela Gandhi, Teori Poskolonial (terj), Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm.1
[26] lih. Young, Robert, Postcolonialism: An Historical Introduction. Oxford: Blackwell Publishers, 2001.
[27] Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice, London Sage Publication, 2000, hlm. 219. Dalam kerangka ini, Deepika Petraglia-Bahri menginventarisasi kalangan poskolonialis yang berada dalam frame sastra poskolonial, yaitu Chinua Achebe, Ama Ata Aidoo, Peter Abrahams, Ayi Kwei Armah, Aime Cesaire, John Pepper Clark, Michelle Cliff, Jill Ker Conway, Tsitsi Dangarembga, Anita Desai, Assia Djebar, Marguerite Duras, Buchi Emecheta, Nuruddin Farah, Amitav Ghosh, Nadine Gordimer, Bessie Head, Merle Hodge, C.L.R. James, Ben Jelloun, Farida Karodia, Jamaica Kincaid, Hanif Kureishi, George Lamming, Dambudzo Marechera, Rohinton Mistry, Ezekiel Mphahlele, V. S. Naipaul, Taslima Nasrin, Ngugi Wa Thiong'o (link to Jennifer Margulis page), Flora Nwapa, Grace Ogot, Molara Ogundipe-Leslie, Gabriel Okara, Ben Okri, Michael Ondaatje, Salman Rushdie, Simone Schwarz-Bart, Allan Sealy, Shyam Selvadurai, Leopold Senghor, Vikram Seth, Bapsi Sidhwa, Wole Soyinka, Sara Suleri, Moyez Vassanji, Derek Walcott.
[28] Lih. Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures, London and New York: Routledge, 1989.
[29] lih. Paul Michael Lützeler (St. Louis), From Postmodernism to Postcolonialism On the Interrelation of the Discourses, http://www.inst.at/trans/11Nr/luetzeler11.htm
[30] Terminologi dunia ke tiga dan dunia pertama merupakan dua kata kunci dalam Teori Poskolonial yang dielaborasi oleh Homi Bhabha, lih. Interview with Homi K. Bhabha By Christian Hoeller, Don't Mess With Mister In-Between" , http://www.translocation.at/d/bhabha.htm
[31] Lih. Tiga Revolusi di Dunia Ketiga, http://arts.anu.edu.au/suarsos/duniaketiga
[32] lih. Hassan Hanafi, 2000, hlm. 59.
[33] Lih. Akhbar S. Ahmed, 1996, hlm. 44-45.
[34] Lih. Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Fundamentalis, Modernitas dan Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. ix
[35] Merujuk pada Oxford English Dictionary, term colonye pada mulanya dipakai untuk mengidentifikasi negara-negara jajahan imperium Romawi sampai pertengahan abad ke-14. Pada abad ke-19, terminologi kolonialisme me-reifikasi imperialisme dalam tatanan global. Disamping itu, kolonialisme menjadi sebuah kata bermakna pejoratif; deskripsi eksploitasi budaya Barat terhadap populasi pribumi seiring imperialisme militer. Sehingga menjadi penting untuk digaris bawahi oleh poskolonilisme bahwa identitas kolonialisme mengisyaratkan bentuk perjuangan politik (the term "colonialism" is a matter of political struggle). Lih. Leong Yew, Notes on Colonialism, http://www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/colonialismnotes.html
[36] Preseden pendirian lembaga pendidikan Islam di India dengan mengacu model pendidikan modern Inggris menjadi agenda dan perangkat penting dalam gerakan-gerakan pembaharuan Islam dikemudian hari. Lih. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: (terj), Jakarta: Paramadina, 2000.
[37] Lih. Komaruddin Hidayat, Melampaui Nama-nama: Islam dan Posmodernisme, Jurnal Kalam, Edisi 1-1994.
[38] Charles Kurzman, Islam Liberal: Wacana Kontemporer (terj), Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. xxiii-xxiv.
[39] Lih. Hassan Hanafi, 2000, hlm. 33.
[40] Lih. Akhbar S. Ahmed, 1996, hlm. 43.
[41] Moeslim Abdurrahman, Masyarakat Akademis sebagai Masyarakat Madani, makalah dipresentasikan dalam rangka hari jadi 30 tahun Universitas Surabaya.
[42] lih. Roger Simon, Gagasan Politik Gramci (terj), Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999; Beilhazh, Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Para Filosof Terkemuka (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002; Mansour Fakih dalam Muhammad Hidayat (ed.), Menuju Masyarakat Terbuka, Yogyakarta: Insist dan Ashoka Indonesia, 1999.
[43] Pemakaian istilah intelektual dan sarjana tanpa klasifikasi yang jelas bukanlah tanpa masalah. Ahmed memakai istilah sarjana untuk membelah taksonomi respon kalangan terpelajar muslim. Sejalan dengan Ahmed, Luthfi Asy Syaukani membedakan kedua tipologi ini berdasarkan wilayah cakupan tanggungjawab keilmuan seorang pemikir; seorang intelektual tidak hanya bergulat pada aras filosofis semata namun ia melibatkan diri dengan masyarakat dan berinteraksi dengan mereka. Figur seperti 'Ali Syari'ati Muththahhari, Abu `Ala Mawdudi dan al-Afghani adalah tipologi intelektual. Sedangkan para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih menonjol wajah kesarjanaannya. Lih. Luthfi Asy Syaukani, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Paramadina, 1998. Untuk keperluan kajian ini, penulis menyajikan pemakaian istilah intelektual sepadan dan sinonim dengan pemaknaan sarjana.
[44] Lih. Ahmed, hlm. 166-176. Sebagian besar literatur perkembangan pemikiran Islam mengelompokkan Fazlur Rahman dalam tipologi modernis/neo-modernis; lih. Greg Barton, Gagasan Pemikiran Islam Liberal di Indonesia (terj), Jakarta: Paramadina, 1999; Kurzman menginisiasi Rahman dalam mata rantai Islam liberal, lih. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal (terj), Jakarta: Paramadina, 2000.
[45] Lih. Ibid. hlm. 47.
[46] Lih. Azyumardi Azra, 1996, hlm. 97
[47] Muqtedar Khan, Islam, Postmodernity and Freedom, http://www.ijtihad.org/discourse.htm

[48] Lihat Nasr Hamid Abu Zayd,”Islam, Barat dan Benturan Peradaban: Islam Phobia vs Barat Phobia, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 11 Tahun 2001, hlm. 84-93.
[49] Lih. Azyumardi Azra, 1996, hlm. 92.
[50] ibid. ,
[51] Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Ide Revolusi. Kompas, 29 November 2002.
[52] Lih. Azyumardi Azra, 1996, hlm. 70-75.
[53] lih. Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid: Sikap Kita Terhadap Turas Klasik (terj), Yogyakarta: Titian Illahi Press dan Pesantren Pasca Sarjana , 2001. hal. 264.
[54] Ulasan rinsi tentang ketiga realitas tersebut dapat dilhat dalam, Hassan Hanafi, Oksidentalisme (terj), Jakarta: Paramadina, 1999.
[55] Rumadi, Agama dan Wacana Kiri. Kompas, 19 Mei 2000.
[56] Istilah ini dipakai oleh Farid Esack untuk sebuah parodi atas ego kesadaran superioritas kulit putih di Afrika Selatan dalam konteks politik Apartheid.
[57] Relasi dan interaksi intens kedua kawasan ini dengan kebudayaan Eropa, baik pada masa kolonial maupun pasca kolonialisme, ibarat mata air yang menyuburkan intelektualisme Afrika. Dalam hal ini, transformasi bahasa memainkan peranan yang sangat besar.
[58] Politik dalam terminologi modernisme konvensional dipahami sebagai sebuah mekanisme untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan sifatnya sentralistik (what, who and when to get). Tapi makna dan ruang lingkup politik dalam poskolonial mengalami desentralisasi dimana realitas power menjadi bagian tak terpisahkan dalam relasi-relasi sosial. Dengan pengertian ini, isu pendidikan, lingkungan, kesejahteraan sosial, konservasi alam dan isu pinggiran lainnya yang tidak disentuh oleh struktur kekuasaan negara justru menjadi agenda penting yang bersifat politis. Lih. Farid Esack, On Being Muslim, Oxford: Oneworld Publishing, 2000, hlm. 88.
[59] Lih. Chris Barker, 2000, hlm. 388-390.
[60] Lih. Farid Esack, Qur`an, Liberation and Pluralism, Oneworld Publications Oxford England, 1997; Muslim in South Africa, The Quest for Justice, Buletin On Islam and Christian Muslim Relations in Africa, April 1987, Vol. 5; The Exodus Paradigm in The Qura`an in The Ligth of Re-Interpretative Islamic Thought in South Africa, ISLAMOCHRISTIANA, 1991, 83-97; Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Qur`anic Hermeneutical Notios, I.C.M.R, Desember, 1991, Vol. 2. No. 2; Quranic hermeneutics: Problems and Prosfetcs, The Muslim World, April, 1993, Vol.LXXXIII, No.2.
[61] Karya lain, lih.Mohamed Arkoun, Al Fikr al Islami: Naqd wa Ijtihad, Beirut: Markaz al Inha al Qaumi, 1990; idem, Nalar Islam dan Nalar Modern : Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. S. Rahayu, Jakarta : INIS, 1994.
[62] Deskripsi pemikiran Arkoun menyangkut isu-isu modernitas dapat dibaca dalam, Putro Suadi, Metamodernisme: Studi Pemikiran Mohamed Arkoun, Jakarta: Paramadina, 199
[63] Lih. Leonard Binder, Islamic Liberalism:a Critique of Development Ideologies, Chicago:University of Chicago Press, 1988.
[64] Lih. http://www.scholars.nus.edu.sg/landow/post/poldiscourse/casablanca/jouay1.html
[65] ibid.,

[66] Lih. Frithjof Schoun, Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Perennialis (terj), Yogyakarta: Qalam, 2002, hal. 15.

1 comment:

Ambros Edu said...

Bgmn pandangan Bpk ttg keluarga sbg penyimpan nilai-nilai tradisi kini telah menjadi institusi periferi? Apa ada hub dg kolonialisme? Kalo ada, bgmn dijelaskan dari sudut pandang poskolonialisme?